Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (88)

Senin, 12 November 2012


Festival Mahakam Berlalu Tanpa Pesan dan Kesan

Pertama-tama saya harus minta maaf karena setelah tinggal di Kota Samarinda kurang lebih 10 tahun, pengetahuan saya tentang Festival Mahakam – yang entah sudah diselenggarakan berapa kali – ternyata nol besar. Persoalannya memang saya tidak pernah sungguh-sungguh meluangkan waktu untuk mencermati Festival Mahakam yang berlangsung pada suatu waktu. Terkadang saya tahu ada Festival Mahakam melalui berita atau baliho besar yang dipasang di pinggir jalan. Namun mohon maaf sekali lagi baliho besar itu ternyata tak mampu memancing minat saya untuk kemudian datang menyaksikannya.

Pada tahun 2003 saya pernah diberi sebuah buku yang judul persisnya saya lupa namun ada kata Mahakam-nya, juga cerita tentang ‘hantu banyu’ yang konon populer di daerah yang dilewati oleh sungai Mahakam. Hanya saja saya tak benar-benar membaca buku itu dengan cermat karena isinya ternyata puja-puji untuk keberhasilan program-program walikota yang memimpin Samarinda saat itu. Namun ada hal penting yang masih saya ingat yaitu keberhasilan penataan kawasan Citra Niaga, kawasan yang arsitekturnya mendapat penghargaan Aga Khan Awards.

Saya tidak tahu apakah ada satu buku atau tulisan yang cukup panjang tentang Festival Mahakam yang cukup komprehensif karena memuat latar belakang dan seluk beluk tentang Sungai Mahakam serta kebudayaan atau filosofi peradaban yang tumbuh di sekitarnya. Menurut saya penjelasan seperti ini penting karena bagaimana sebuah festival yang mengambil nama dari sungai besar yang melintas di kota ini akan menjadi tersohor kalau orang tak tahu apa sesungguhnya peran dan sumbangsih sungai Mahakam untuk eksistensi kota ini.

Festival sejauh pengertian dalam diri saya adalah sebuah perayaan dari masyarakat di suatu daerah atau kawasan untuk merayakan kebudayaan (paling tidak kesenian) secara komunal. Para penampil mempersiapkan diri secara serius bukan karena ingin dikenal, mendapat upah atau diberitakan melainkan karena ingin menjaga apa yang ditampilkannya sebagai khasanah kekayaan budaya daerahnya.

Sayangnya kebanyakan festival didesain dan dilaksanakan dalam konteks proyek pengembangan pariwisata yang dampaknya tak pernah dievaluasi secara serius namun terus rutin dilaksanakan. Soal ini saya ingat persis pengalaman ketika masih tinggal di Kota Manado, yang juga mengelar sebuah festival yang disebut dengan nama Festival Bunaken. Meski Bunaken adalah kawasan wisata yang tersohor hingga ke luar negeri, namun pengetahuan masyarakat Manado yang adalah pemilik Bunaken ternyata kebanyakan hanya sebatas nama Bunaken. Sesungguhnya tak banyak orang Manado pernah menginjakkan kakinya di pulau Bunaken, menyaksikan keindahan karang dan ikannya sekalipun hanya dengan perahu ‘bottom glass’.

Festival Bunaken kemudian pernah dirangkai menjadi Festival Bunaken Tondano (Fesbudaton), sebuah acara yang besar yang menghubungi laut dengan danau. Untuk melaksanakan festival ini dibangunlah sebuah kawasan pameran di samping Danau Tondano. Kawasan yang dimaksudkan kemudian menjadi lokasi menetap untuk kegiatan-kegiatan yang memamerkan khasanah kekayaan budaya Manado dan Minahasa serta daerah lainnya. Kala itu di Sulawesi Utara masih dikenal sebagai propinsi Bohusami (Bolaang Mongondow, Hulontalo, Sangihe dan Minahasa). Sebutan yang kemudian hilang ketika Gorontalo berpisah menjadi propinsi tersendiri.

Sama dengan Festival Mahakam, saat pelaksanaan Fesbudaton saya juga hanya melihat sekilas, memperhatikan keramaian dan hiruk pikuk pemberitaan. Festival yang dihadiri atau mungkin dibuka oleh BJ. Habibie justru menarik perhatian saya karena kisah yang disampaikan oleh teman-teman mahasiswa yang memakai kesempatan untuk berdemo menentang reklamasi di kawasan teluk Manado. Demo yang kemudian melahirkan seorang aktivis mahasiswa muda menjadi tokoh hingga kemudian menduduki jabatan anggota DPRD Propinsi Sulut dua kali berturut-turut di masa setelah reformasi.

Dari sisi catatan jelas bahwa tulisan atau buku tentang Bunaken jauh lebih banyak dan lebih lengkap dibanding dengan Sungai Mahakam atau Danau Tondano. Dokumentasi dalam bentuk lainnya seperti foto atau film juga jauh lebih banyak. Sejauh saya tahu ada beberapa fotografer dengan reputasi internasional tinggal berbulan-bulan dan berburu foto di Bunaken. Dan mungkin inilah yang menjadi kelemahan fatal dari Sungai Mahakam, yaitu dokumentasi tentangnya kurang atau bahkan tidak ada. Dokumentasi ini penting agar masyarakat Samarinda dan juga masyarakat lainnya mempunyai keterhubungan berdasar pengetahuan tentang Sungai Mahakam, atas dasar kekaguman maupun keprihatinan terhadap kondisinya saat ini. Keterhubungan inilah yang kemudian akan membangkitkan ghirah untuk menyambut dan berpartisipasi dalam Festival Mahakam baik sebagai pengisi, pengembira maupun penonton.

Namun sekali lagi apa yang saya tuliskan diatas hanyalah pemikiran atas dasar ketidaktahuan serta kedangkalan pengetahuan atas Festival Mahakam. Semoga tidak demikian adanya, satu hal yang ingin saya tegaskan adalah agar jangan sampai kita masyarakat Samarinda kehilangan jejak atas sungai yang luar biasa ini lantaran tak ada yang menorehkan jejak-jejak Sungai Mahakam dan peradaban yang tumbuh di sekitarnya secara sungguh-sungguh, serius dan didorong oleh kecintaan bukan karena upah dari proyek wisata yang terkesan ‘utopis’.

Pondok Wiraguna, 12 November 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum