Festival Mahakam Berlalu Tanpa Pesan dan Kesan
Pertama-tama saya harus minta maaf karena setelah tinggal di Kota
Samarinda kurang lebih 10 tahun, pengetahuan saya tentang Festival Mahakam –
yang entah sudah diselenggarakan berapa kali – ternyata nol besar. Persoalannya
memang saya tidak pernah sungguh-sungguh meluangkan waktu untuk mencermati
Festival Mahakam yang berlangsung pada suatu waktu. Terkadang saya tahu ada
Festival Mahakam melalui berita atau baliho besar yang dipasang di pinggir
jalan. Namun mohon maaf sekali lagi baliho besar itu ternyata tak mampu
memancing minat saya untuk kemudian datang menyaksikannya.
Pada tahun 2003 saya pernah diberi sebuah buku yang judul persisnya
saya lupa namun ada kata Mahakam-nya, juga cerita tentang ‘hantu banyu’ yang
konon populer di daerah yang dilewati oleh sungai Mahakam. Hanya saja saya tak
benar-benar membaca buku itu dengan cermat karena isinya ternyata puja-puji
untuk keberhasilan program-program walikota yang memimpin Samarinda saat itu.
Namun ada hal penting yang masih saya ingat yaitu keberhasilan penataan kawasan
Citra Niaga, kawasan yang arsitekturnya mendapat penghargaan Aga Khan Awards.
Saya tidak tahu apakah ada satu buku atau tulisan yang cukup panjang
tentang Festival Mahakam yang cukup komprehensif karena memuat latar belakang
dan seluk beluk tentang Sungai Mahakam serta kebudayaan atau filosofi peradaban
yang tumbuh di sekitarnya. Menurut saya penjelasan seperti ini penting karena
bagaimana sebuah festival yang mengambil nama dari sungai besar yang melintas
di kota ini akan menjadi tersohor kalau orang tak tahu apa sesungguhnya peran
dan sumbangsih sungai Mahakam untuk eksistensi kota ini.
Festival sejauh pengertian dalam diri saya adalah sebuah perayaan dari
masyarakat di suatu daerah atau kawasan untuk merayakan kebudayaan (paling
tidak kesenian) secara komunal. Para penampil mempersiapkan diri secara serius
bukan karena ingin dikenal, mendapat upah atau diberitakan melainkan karena
ingin menjaga apa yang ditampilkannya sebagai khasanah kekayaan budaya
daerahnya.
Sayangnya kebanyakan festival didesain dan dilaksanakan dalam konteks
proyek pengembangan pariwisata yang dampaknya tak pernah dievaluasi secara
serius namun terus rutin dilaksanakan. Soal ini saya ingat persis pengalaman
ketika masih tinggal di Kota Manado, yang juga mengelar sebuah festival yang
disebut dengan nama Festival Bunaken. Meski Bunaken adalah kawasan wisata yang
tersohor hingga ke luar negeri, namun pengetahuan masyarakat Manado yang adalah
pemilik Bunaken ternyata kebanyakan hanya sebatas nama Bunaken. Sesungguhnya
tak banyak orang Manado pernah menginjakkan kakinya di pulau Bunaken,
menyaksikan keindahan karang dan ikannya sekalipun hanya dengan perahu ‘bottom
glass’.
Festival Bunaken kemudian pernah dirangkai menjadi Festival Bunaken
Tondano (Fesbudaton), sebuah acara yang besar yang menghubungi laut dengan
danau. Untuk melaksanakan festival ini dibangunlah sebuah kawasan pameran di
samping Danau Tondano. Kawasan yang dimaksudkan kemudian menjadi lokasi menetap
untuk kegiatan-kegiatan yang memamerkan khasanah kekayaan budaya Manado dan
Minahasa serta daerah lainnya. Kala itu di Sulawesi Utara masih dikenal sebagai
propinsi Bohusami (Bolaang Mongondow, Hulontalo, Sangihe dan Minahasa). Sebutan
yang kemudian hilang ketika Gorontalo berpisah menjadi propinsi tersendiri.
Sama dengan Festival Mahakam, saat pelaksanaan Fesbudaton saya juga
hanya melihat sekilas, memperhatikan keramaian dan hiruk pikuk pemberitaan.
Festival yang dihadiri atau mungkin dibuka oleh BJ. Habibie justru menarik
perhatian saya karena kisah yang disampaikan oleh teman-teman mahasiswa yang
memakai kesempatan untuk berdemo menentang reklamasi di kawasan teluk Manado.
Demo yang kemudian melahirkan seorang aktivis mahasiswa muda menjadi tokoh
hingga kemudian menduduki jabatan anggota DPRD Propinsi Sulut dua kali
berturut-turut di masa setelah reformasi.
Dari sisi catatan jelas bahwa tulisan atau buku tentang Bunaken jauh
lebih banyak dan lebih lengkap dibanding dengan Sungai Mahakam atau Danau
Tondano. Dokumentasi dalam bentuk lainnya seperti foto atau film juga jauh
lebih banyak. Sejauh saya tahu ada beberapa fotografer dengan reputasi
internasional tinggal berbulan-bulan dan berburu foto di Bunaken. Dan mungkin
inilah yang menjadi kelemahan fatal dari Sungai Mahakam, yaitu dokumentasi
tentangnya kurang atau bahkan tidak ada. Dokumentasi ini penting agar
masyarakat Samarinda dan juga masyarakat lainnya mempunyai keterhubungan
berdasar pengetahuan tentang Sungai Mahakam, atas dasar kekaguman maupun
keprihatinan terhadap kondisinya saat ini. Keterhubungan inilah yang kemudian
akan membangkitkan ghirah untuk menyambut dan berpartisipasi dalam Festival
Mahakam baik sebagai pengisi, pengembira maupun penonton.
Namun sekali lagi apa yang saya tuliskan diatas hanyalah pemikiran atas
dasar ketidaktahuan serta kedangkalan pengetahuan atas Festival Mahakam. Semoga
tidak demikian adanya, satu hal yang ingin saya tegaskan adalah agar jangan
sampai kita masyarakat Samarinda kehilangan jejak atas sungai yang luar biasa ini
lantaran tak ada yang menorehkan jejak-jejak Sungai Mahakam dan peradaban yang
tumbuh di sekitarnya secara sungguh-sungguh, serius dan didorong oleh kecintaan
bukan karena upah dari proyek wisata yang terkesan ‘utopis’.
Pondok Wiraguna, 12 November 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar