Membangun Masyarakat Rasional

Kamis, 28 Juli 2011


Jika kita sedikit rajin menyaksikan atau membaca pemberitaan di media masa maka dengan segera kita bisa melihat fenomena menurunnya rasionalitas di ruang-ruang publik. Dalam kontes hubungan social kemasyarakatan, rasionalitas seakan ‘tereliminasi’ oleh aneka bentuk perilaku destruktif warga masyarakat dan perilaku elite politik yang selalu menonjolkan sifat berkuasa sehingga melawan logika kebenaran dan kejujuran.

Pada wilayah individu dan kelompok berbagai tindak kekerasan yang terjadi menampakkan gejala irrasionalitas yang akut. Orang tua bisa menyiksa anak-anaknya karena penyebab yang sepele. Perampok, pencoleng dan tukang palak semakin kejam dengan melakukan pembunuhan atau penyiksaan yang akibatnya tidak sebanding dengan ‘harta’ yang didapatkannya. Dalam hubungan percintaan dan atas nama cintapun seorang kekasih bisa melakukan kekerasan terhadap bunga hatinya. Sementara dalam wilayah kelompok, tawuran antar warga juga terjadi dimana-mana, pemaksaan kehendak pada kelompok lain, pengrusakan berbagai fasilitas baik pribadi maupun umum juga semakin kerap dilakukan oleh kelompok warga. Dan ini bisa terjadi karena perasaan suka atau tidak suka belaka. Unjuk rasa atau demonstrasi akhir-akhir ini juga kerap berubah menjadi ‘chaos’ yang akan memakan korban baik dari sisi demonstran, petugas keamanan, masyarakat umum dan fasilitas –fasilitas di sekitarnya.

Di tingkatan penyelenggara pemerintahan (elite politik) irasionalitas juga terus dipertontonkan dengan berbagai rencana kebijakan atau keputusan yang didasari oleh alasan-alasan yang keliru akibat minimnya animo elite politik dalam membela kepentingan rakyat kebanyakan. Ketika rakyat tengah menderita oleh berbagai bencana baik karena alam, lingkungan maupun kesehatan tiba-tiba harga BBM dinaikkan jauh melewati angka yang bisa dibayangkan oleh rakyat. Dan setelah itu pemerintah tidak mampu mengendalikan kenaikan berbagai kebutuhan pokok (penting) lainnya. Pemerintah memang berusaha mengkompensasi penderitaan rakyat dengan sumbangan tunai langsung, namun saat rakyat berebut untuk bisa mendapat tetesan dana itu, para elite politik (eksekutif dan legislative) juga berlomba untuk menaikkan angka tunjangan dan membengkakkan anggaran untuk kepentingan masing-masing. Alasannya tentu saja untuk meningkatkan ‘service’ pada konstituen atau rakyatnya.

Jika cita-cita luhur dari kemerdekaan Indonesia adalah menjadikan segenap warga bangsa ini sebagai mahkluk yang bermartabat dan sejahtera melalui segenap ‘kekayaan’ yang dianugerahkan Sang Pencipta kepada bangsa ini, maka virus irrasionalitas yang berkembang di wilayah publik ini niscaya merupakan ancaman terbesar untuk mencapai cita-cita itu. Kekerasan dalam arti yang seluas-luasnya adalah ancaman terbesar bagi kemanusiaan dan masa depan bangsa ini. Perilaku irrasional yang dicerminkan lewat berbagai kekerasan oleh berbagai komponen bangsa merujuk pada situasi bahwa bangsa ini tengah mempertontonkan perilaku penghancuran dirinya sendiri. Dalam pandangan Aristotelian, bangsa ini kini tengah menunjukkan nafsu binatangisme. Aristoteles mengatakan bahwa apa yang membedakan manusia dengan binatang adalah akal budi. Seorang manusia akan bertindak dan berucap karena atas pertimbangan akal budi, sebuah pertimbangan yang tak lepas dari nilai-nilai (kekayaan social dan cultural) yang berlaku umum di masyarakatnya. Dengan demikian pertimbangan tidak semata-mata karena daya pikir melainkan juga didasari atas kejernihan qalbu (nilai-nilai etik); dan semua ini tidak dimiliki oleh binatang.
Maka bagi Aristoteles, manusia dalam kedudukannya sebagai individu maupun kelompok yang tidak mengedepankan hal itu telah memposisikan dirinya sama dengan binatang.

Binatang adalah sejenis mahkluk yang ‘menghalalkan’ perilaku saling memakan untuk mempertahankan kehidupannya. Dan jika ini diterapkan kepada manusia maka akan senada dengan apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes dengan istilah ‘homo homini lupus’. Sebuah istilah yang mengambarkan bahwa orang lain tidak dihargai sebagai sesama manusia melainkan bagai serigala yang harus dibunuh. Dan seandainya saat ini Thomas Hobbes masih hidup dan menyaksikan apa yang terjadi dalam masyarakat kita maka bukan tidak mungkin baginya untuk kembali mengatakan hal yang sama.

Tentu saja pernyataan diatas tidak hendak mengatakan bahwa seluruh warga bangsa berkarakter ‘lupus’. Sebab pada saat yang sama banyak pula elemen bangsa telah membuat kebulatan tekad untuk melawan gejala ‘lupusisme’ ini dengan berupaya meninggalkan kebiasaan buruk dan mulai menumbuhkan kultur baru. Berbagai bentuk legislasi, pembentukan lembaga-lembaga kuasi negara dan munculnya kelompok-kelompok watch dog merujuk adanya perkembangan adanya keinginan besar untuk membangun ‘habitus baru’ baik dalam ranah budaya, social dan tata pemerintahan. Pembentukan habitus baru yang berpijak pada rasionalitas ini merupakan titik pijak dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia agar mempunyai kwalitas kemanusiaan yang unggul hingga pada akhirnya akan mengantar Indonesia menjadi bangsa yang bermutu.

Kita tidak pernah akan menjadi bangsa yang bermutu apabila masyarakat kita terdiri atas individu-individu yang tidak berbobot. Maka segala macam kebiasaan seperti ketidakjujuran, ketertutupan, keserakahan, sikap mau menang sendiri alias politik pokoknya yang akhirnya akan bermuara pada kekerasan, harus segera di ‘eliminasi’ agar tidak kembali bernyanyi di panggung kehidupan bangsa ini. Erich Fromm pernah menyatakan bahwa masyarakat yang sehat akan terbentuk kalau dalam wilayah publik rasionalitas mendapat tempat yang seluas-luasnya. Karena itu mengedepankan dan mempraktekkan rasionalitas sebagai ‘idol’ untuk menghadapi segenap persoalan bangsa ini (individu maupun kelompok) adalah sebuah urgensi untuk memperbaiki keterpurukan kita. Bersama kita bisa membangun masyarakat rasional.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum