NEGERI PARA PENIPU

Senin, 01 Agustus 2011

Apa yang muncul dalam benak kita saat mendengar bupati, gubernur atau presiden mengatakan bahwa mereka akan menjadi yang terdepan dalam pemberantasan korupsi?. Kalau kita merupakan jenis manusia penjilat pantat tentu akan mengatakan “Luar biasa, mereka adalah pemimpin yang amanah”. Sebagian besar yang lainnya pasti tak peduli, bupati, gubernur atau presiden mengatakan janji apapun meski kata-katanya setinggi langit. Bagi mereka yang penting para pemimpin tidak mengatakan bahwa hari ini atau beberapa hari ke depan akan ada kenaikan harga BBM, tarif listrik atau angkutan, harga dasar sembako, karena alasan ini dan itu. Lalu ada sebagian kecil lainnya yang kritis, bahkan cenderung pesimis atau malah apatis. “Mulut doang, nggak ngefek”, gumannya dalam hati. Dan tentu saja ketidakpercayaan semacam itu sah saja, sebab terlalu sering para pemimpin menyatakan (janji) untuk memerangi ini dan itu, tapi kenyataannya justru semakin parah.

Bahwa para pemimpin dan pejabat negeri menyatakan akan menjadi yang terdepan dalam pemberantasan korupsi adalah hal yang biasa atau semestinya. Sebab semua itu entah tersirat atau tersurat telah mereka nyatakan dalam sumpah jabatan. Semua pemimpin dan pejabat negeri ini sebelum menduduki kursi empuknya telah mengangkat sumpah, sumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Dan dalam sehari ada berapa sumpah atas nama Tuhan YME diucapkan penuh haru dengan tangan kanan menyentuh kitab suci sementara tangan kiri memegang ujung bendera merah putih?. Mungkin ada puluhan atau bahkan ratusan sumpah, tapi jumlah yang melanggar sumpah itu juga sama banyaknya. Terbukti para pejabat dan pemimpin negeri ini tak bergegas membuktikan sumpahnya yang seakan-akan menyatakan “berani mati” untuk rakyat dan negeri ini.

Mereka yang bersumpah untuk mengabdi kepada rakyat dan bangsa ini, bergegas saat membahas tunjangan atau kenaikan upah untuk diri mereka sendiri. Tapi jika dimaksudkan untuk berhubungan dengan masyarakat banyak, pembahasannya bisa berlarat-larat. Sampai sekarang sistem jaminan sosial dan kesehatan untuk masyarakat banyak misalnya tidak selesai-selesai. Kalaupun ada daerah yang berinisiatif umumnya dilakukan saat-saat menjelang akhir pemerintahan dan masa awal untuk mencalonkan kembali.

Jadi apa sesungguhnya arti sumpah jabatan bagi para pejabat negeri ini, bukankah saat mengucapkannya banyak yang matanya berkaca-kaca. Sumpah hanya bekerja saat diucapkan setelah itu tak ada jaminan bahwa yang mengucapkannya ingat bahwa pernah bersumpah atau berjanji untuk mengabdi pada negeri ini dan rakyatnya dengan melupakan dirinya sendiri. Apa yang sesungguhnya dipikirkan oleh seseorang begitu menduduki jabatan tertentu. Yang pertama tentu saja bersyukur dan merasa bahagia atas “amanah” yang diterima olehnya. Berikutnya tentu saja mulai harus berpikir bagaimana mempertahankan dan mengefektifkan jabatannya.

Soal mempertahankan ini penting sebab ada banyak orang lain yang antri untuk menduduki dan mengincar kursi jabatan yang sama. Tapi mempertahankan bisa berarti juga tetap menjaga adanya dukungan untuk dirinya. Hampir tidak ada lagi jabatan di negeri ini yang tidak membutuhkan dukungan dari pihak lain. Pihak-pihak yang setiap saat bisa menganggu apabila tidak “dilayani” kepentingannya. Maka setiap pejabat atau petinggi harus memikirkan “kontribusi” apa yang bisa diberikan olehnya kepada para pendukungnya. Dan ongkos untuk bisa menjaga dukungan seperti ini jelas tidak murah dan tidak mudah untuk dilakukan tanpa melanggar sumpah jabatan.

Amanah jabatan bukanlah jenis pemberian seumur hidup, maka berlaku rumus “manfaatkan semaksimal mungkin selagi masih menjabat” atau “jangan tunggu sampai hari esok kalau hari ini bisa dilakukan”. Maka mengefektifkan jabatan berarti memanfaatkan waktu yang ada untuk mengembalikan apa yang telah dikeluarkan dan kembali menebalkan kantong simpanan untuk tabungan hari depan atau modal merebut kembali jabatan pada periode berikutnya. Persoalannya yang mesti diurusi kantongnya bukan hanya dirinya sendiri, ada banyak gerombolan lain yang juga harus diperhatikan kalau tak ingin dapat persoalan. Dan sekali lagi semua itu tak akan bakal terlaksana tanpa melanggar sumpah jabatan.

Lalu untuk apa sumpah jabatan kalau begitu?. Sumpah jabatan tentu saja penting dalam tata cara penetapan kala menduduki kedudukan atau jabatan tertentu. Sebab tanpa mengucapkan dan menandatangani sumpah, maka seseorang tidak akan sah dan halal untuk menyandang jabatan atau kedudukan yang diamanahkan kepadanya. Namun setelah selesai mengucapkan sumpah itu, tak ada satupun yang bisa menagihnya selain Allah Yang Maha Esa. Tanpa bukti yang sah dihadapan hukum, masyarakat atau aparat yang berhak tak akan dapat menyatakan seseorang melanggar sumpah jabatannya. Sialnya banyak sekali pelanggaran sumpah jabatan tak bisa dibuktikan di hadapan hukum positif, entah karena sudah direkayasa atau karena saking ahlinya si pejabat sehingga pelanggaran sumpahnya tak kentara.

Apakah dengan demikian sumpah yang diucapkan adalah sumpah palsu?. Tentu saja tidak, sebab semua yang mengucapkan selalu bersungguh-sungguh. Namun andai setelah itu mereka berbuat seolah-olah Allah Yang Maha Tahu tidak ada, itu adalah persoalan lain. Sebab selalu mungkin, saat mau menduduki suatu jabatan seseorang sungguh ingin mengabdi, tapi esok hari bisa jadi dia berubah menjadi seorang penipu. Dan karena kebanyakan hal demikian yang terjadi di negeri ini, maka pantaslah jika dikatakan negeri ini adalah negeri para penipu.

Batu Lumpang, 1 Juli 2011
Salam Tipu_Tipu
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum