Rasisme Budaya dan Korupsi : Wajah Politik Porno Kita

Kamis, 28 Juli 2011

Untuk mengugat kompetensi orang-orang yang duduk di Akademi Jakarta (AJ) dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), beberapa waktu lalu FBR, Forkabi dan elemen masyarakat Betawi lainnya ‘ngeronda’ ke Kompleks Taman Ismail Marzuki. Rame-rame ini dibuka dengan orasi untuk ‘manasin’ suasana yang intinya menyatakan bahwa TIM adalah milik warga Betawi, nama TIM sendiri mencerminkan hal itu karena diambil dari nama komposer kenamaan, kebanggaan masyarakat Betawi. Tetapi kini di TIM bercokol orang-orang yang hanya ‘merujak’ anggaran dari Pemda DKI tetapi tak peduli pada kesenian (juga kebudayaan) Betawi. Dan bagi para peronda ini merupakan sikap kurang ajar, maka sang orator dengan tegas berteriak “…..yang kurang ajar!!”, “Kudu di ajar bang!” jawab peserta aksi serempak. Dan sepanjang aksi pengurus AJ dan DKJ diajar dengan sumpah serapah peserta aksi. Salah satu orator yang diklaim sebagai Budayawan Betawi bahkan memimpin doa yang meminta pada Tuhan untuk menjatuhkan azab berupa sakratul maut selama 4 tahun sebelum mereka mati dan seterusnya. Dinding-dinding di salah satu gedung dalam kompleks TIM juga tak luput dari hajaran cat yang berisi sumpah serapah. Dan entah apa hubungannya tapi di dinding muncul coretan JIL (Jaringan Islam Liberal) dan Yahudi yang juga turut dilaknat.

Aspirasi yang hendak disampaikan oleh elemen masyarakat Betawi tersebut mungkin merupakan cermin dari keterdesakan kebudayaan Betawi dalam ‘pertarungan budaya’ dengan budaya-budaya lain di Jakarta. Dan AJ juga DKJ dipandang sebagai kelompok yang turut mendesak budaya Betawi ke pinggiran karena yang duduk didalamnya adalah orang-orang yang tidak mengerti sekaligus tidak peduli kepada kebudayaan Betawi. Sehingga jalan pemecahannya adalah AJ dan DKJ diserahkan kembali kepada masyarakat Betawi. Lepas dari apakah jalan pemecahan itu benar atau salah, namun aspirasi seperti itu bisa dipahami. Namun apa yang sulit dipahami adalah cara mereka dalam beraksi. Ada sebuah kontradiksi dalam aksi, dimana mereka bersuara untuk memperjuangkan kebudayaan dengan cara yang tidak berbudaya. Jika aksi ini dikategorikan sebagai politik budaya Betawi (atau mengatasnamakan Betawi) maka sesungguhnya aksi ini justru membongkar kebobrokan politik yang hanya mengedepankan etika individu dan kelompok sambil menafikan etika social dan membawa korban orang (barang atau fasilitas) yang sebenarnya tidak tersangkut dengan apa yang dipersoalkan. Dalam bahasa Yves Michaud dalam Violence et Politique (1978) disebut secara sarkatis sebagai ‘politik porno’ karena mengenakan prinsip ‘tujuan menghalalkan cara’.


Jadi meski FBR (Forum Betawi Rempug) termasuk salah satu organ yang getol mengawal ‘RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi’ tapi nyatanya justru mempraktekkan politik porno. Aksi di TIM seperti yang diceritakan diatas adalah sekedar ilustrasi untuk menunjukkan bahwa politik porno atau dalam bahasa Haryatmoko (Etika Politik dan Kekuasaan – 2003) dikatakan sebagai manajemen kekerasan sebagai cara efisien dan handal; saat ini bisa dikatakan merupakan wajah dari dunia politik kita baik politik masyarakat sipil, sector swasta maupun penyelenggara negara. Dengan mudah kita bisa melihat betapa kasa dan tidak senonohnya dunia perpolitikan kita sehingga bisa lebih tepat disebut sebagai kekejian, bak pembunuh berkepala dingin dalam dunia gangster.

Jika kita menelisik lebih dalam pada perjalanan dan pengalaman politik kekuasaan di Indonesia, agaknya kita memang telah terjerat dalam ‘spiral politik porno’. Salah satu persoalan yang membuat kita tidak bisa keluar dari spiral politik porno adalah “nafsu dan sahwat korupsi” yang mewujud dalam aneka cara, skala dan tujuan. Korupsi bukan lagi menjadi ‘aib’ melainkan jadi ‘ikon’ yang tak lagi dianggap mencoreng identitas bangsa ini. Lelah rasanya bertanya kenapa korupsi tak juga berkurang di negeri ini?. Apakah hukum kita begitu lemah?. Apakah penegak hukum kita begitu impoten?. Atau ada apa dengan kita sebenarnya?.

Suatu saat, satu rombongan yang terdiri dari mahasiswa dan pemuda dari Kalimantan Timur ‘ngeluruk’ ke Jakarta untuk mendesak institusi negara yang bertugas memburu koruptor agar serius atau mengusut tuntas salah satu kasus korupsi yang diduga melibatkan ‘orang besar’ di Kalimantan Timur. Lepas dari cerita besar di belakangnya, fakta ini menunjukkan gambaran tentang betapa sulitnya mengusut tuntas pelaku korupsi di Indonesia. Di berbagai media kita bisa melihat banyak orang di panggil dan diperiksa, berkali-kali, selama berjam-jam dan keluar dengan wajah kusut dan kisut (tapi segera tersenyum dan melambaikan tangan jika ketemu gerombolan wartawan). Tetapi beberapa saat kemudian hasilnya nihil, kalaupun sempat masuk pengadilan, kerja para penyidik dan penuntut sepertinya hanya buang-buang uang, waktu dan tenaga, karena sang terdakwa akhirnya dibebaskan. Koruptor bak cerdik pandai, yang mereproduksi kuasa dan kemampuan untuk membuat celah dalam hukum. Kuroptor seperti seorang bapak keluarga yang membuat peraturan, yang mana peraturan itu tak mungkin dikenakan kepadanya. Akibatnya sang bapak keluarga leluasa untuk menyimpang dari peraturan yang dibuatnya sendiri.

Bapak yang baik selalu memegang adagium ‘Jangan sekali-kali makan sendiri’. Maka hasil korupsi selalu dipakai untuk memberi ‘Makan sampai kenyang’ orang-orang lainnya. Logikanya adalah dengan melibatkan sebanyak mungkin orang maka laku korupsi bisa steril dari penyelidikan dan kecurigaan. Andai kata tertangkap maka cepat kembalikan, atau berikan umpan informasi tentang korupsi yang lebih besar lagi. Toh ada kebijakan ‘memburu koruptor dengan koruptor’. Politik porno koruptor yang bersedia mengembalikan uang terbukti sangat ampuh. Para koruptor yang sudah ‘membiakkan’ uang yang dikemplang dari dana BLBI kemudian ‘mudik’ ke kampung halaman dan sowan ke istana untuk menyatakan kesediaan membayar hutangnya akhirnya diampuni dan dilepas dari segala tuntutan hukum. Aneh bin ajaib, coba saja andai koruptor yang diampuni itu adalah ‘Ki dalang dari segala dalang’ atau ‘Eyang guru dari segala guru’ korupsi, maka bagaimana mungkin kita bisa membongkar kasus korupsi sampai ke akar-akarnya atau dalam bahasa popular Sang Jaksa Agung RI “Kroni-kroninya”.

Ketiadaan sangsi hukum atau impunity, entah itu dalam bentuk tidak diusut atau justru diampuni seharusnya tidak boleh diterapkan untuk salah satu koruptor-pun. Praktek politik porno semacam ini hanya akan ‘saling lempar batu sembunyi tangan’ atau hanya akan membuat kambing hitam berkeliaran dimana-mana. Kelonggaran hukum dari dan oleh aparat penegak hukum bukan hanya sekedar akan membebaskan koruptor dari sekapan dinding penjara; melainkan juga akan melahirkan kekejian-kekejian lain karena dibawah naungan hukum. Lihat saja perilaku intimidatif dan anarkis dalam bentuk aneka sweeping bahkan pengusiran oleh kelompok tertentu pada kelompok atau individu lain ternyata juga tak pernah mampir di meja sidang. Alhasil justru jadi trend model yang diikuti oleh banyak kelompok masyarakat sipil di negeri yang mengaku demokratis ini.

Akhirnya jika kita hendak mengeliminasi salah satu ‘top hit’ dalam tangga lagu popoler politik porno kita, sebut saja kasus Pak Harto yang tentu saja tidak akan kita lupakan jasanya, janganlah dihentikan. Bang Ali Sadikin dan AM. Fatwa sebagai korban politik orde baru mungkin sudah memaafkan Pak Harto dengan menjengguknya saat terbaring di rumah sakit. Namun apa yang diperbuat oleh Pak Harto pada bangsa dan negeri ini tidak bisa begitu saja disamakan dengan yang dilakukan pada Bang Ali dan Pak Fatwa. Menutup kasus Pak Harto (entah dengan memaafkan, mengampuni, atau membiarkan berlalu begitu saja….) sama halnya dengan menutup lembaran kitab hukum bagi orang-orang di sekitar Pak Harto yang sejak awal ikut-ikutan berbaris menjerumuskan sekaligus memperoleh keuntungan darinya.

Salam Suka Suka Bokep
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum