Tak Kaya Bukan Berarti Tak Bahagia
Siapa yang tak ingin kaya?. Secara nalar kalau seseorang tingkat kewarasannya masih tinggi maka pasti punya keinginan untuk kaya atau dalam bahasa para motivator dihaluskan menjadi sukses.
Saya tentu saja masih waras, namun justru karena kewarasan itu selalu saya berusaha menekan keinginan untuk menjadi kaya. Kenapa?. Tentu saja dengan nalar saya bisa mengukur kemampuan dan kesempatan pada diri saya untuk menjadi kaya. Dan menurut saya kemungkinan itu kecil. Pertama saya bukan berasal dari trah keluarga yang punya kemungkinan untuk memberi warisan berlimpah, ‘mak bleg’ dan sim salabim begitu dapat warisan lalu kaya. Kedua, dari pekerjaan yang saya jalani sekarang yaitu pekerja tidak tetap, artinya tidak punya pekerjaan tetap, jelas sulit bagi saya untuk menumpuk kekayaan. Ketiga, dilihat dari jaringan yang saya punya sulit pula rasanya ada teman, sahabat atau kenalan yang bisa memberikan pekerjaan atau proyek yang bakal langsung membuat saya kaya.
Dan sebenarnya masih banyak sebab-sebab lainnya yang bisa ditambahkan, tapi cukuplah tiga itu saja.
Karena tidak mungkin menjadi kaya, maka cita-cita dan keinginan saya adalah menjadi bahagia. Tidak kaya dan bahagia, mungkin seperti bernada menghibur diri atau ngeles kata anak-anak sekarang. Tapi sesungguhnya tidak kaya namun bahagia tetaplah ilmiah dan bisa dibuktikan lewat berbagai penelitian.
Berbagai riset yang bertujuan membuat peringkat tentang negara terkaya, biasanya menempatkan Amerika Serikat di puncaknya. Kekayaan diukur dari pendapatan yang diperoleh oleh warga negaranya, bukan potensi kekayaan. Kalau bicara potensi kekayaan maka jelas Indonesia masuk dalam peringkat atas. Itu sebabnya Indonesia tidak termasuk negara kaya karena rata-rata pendapatan warganya rendah.
Riset lain yang membuat peringkat tentang negara terbahagia ternyata menempatkan Denmark pada peringkat atas. Indikator bahagia terkait dengan tingkat kepuasan warga atas kondisi atau situasi negaranya. Dan dalam kategori ini Amerika Serikat yang sering dibilang terkaya ternyata tak masuk dalam urutan 10 besar. Dari dua riset ini terbukti bahwa yang terkaya ternyata tidak secara otomatis terbahagia.
Dengan demikian tidak kaya namun bahagia bukanlah omong kosong belaka.
Saya tidak tahu apakah Indonesia termasuk disurvey untuk urusan bahagia ini. Semoga tidak, karena kalau disurvey mungkin posisi Indonesia bahkan di luar peringkat 100. Coba apa yang membuat masyarakat Indonesia puas?.
Mulai saja dari hukum, kepastian atau kedaulatan hukum. Coba tanyakan pada mereka yang berperkara, pasti ketidakpuasan bukan hanya keluar dari mulut melainkan bisa nampak dari raut wajahnya. Belum lagi layanan publik, mulai yang paling dasar saja, air bersih misalnya. Kalau air dari PDAM bersih dan mencukupi kebutuhan niscaya banyak depor air isi ulang akan gulung tikar.
Soal energi, mulai dari listrik sampai bahan bakar minyak dan gas , apa pula kata masyarakat kita. Pasti kebanyakan akan bilang preett.
Belum lagi kalau kita bicara soal korupsi, maka litani sumpah serapah ketidakpuasan akan dengan lancar keluar dari mulut masyarakat Indonesia.
Tingginya angka kekerasan, kejahatan, tawuran, kericuhan, kemunculan kelompok radikal, banyaknya kelompok primordial, suburnya pelacuran, perceraian dan perselingkuhan, perkawinan dan kehamilan tidak dikehendaki, kekerasan dalam rumah tangga, traficking, kerusakan alam dan lingkungan, semarak peredaran obat bius dan seterusnya adalah bukti yang meyakinkan bahwa bangsa kita bukanlah bangsa yang bahagia.
Saya sendiri belum pernah ke Denmark jadi tak tahu bagaimana orang disana bisa menjadi orang yang bahagia.Tapi saya menduga lingkungan disana pasti bersih, udaranya bersih, jalanan bersih, air bersih, hidup menjadi lebih nyaman dan tenang, hari-hari serasa berekreasi. Jadi meski harus bekerja keras, kemungkinan hati tetap adem, ayem dan tentrem. Bahagia karena hati terjaga, tidak marah-marah karena jalan macet, tidak marah-marah karena got berbau apek, tidak marah-marah karena jalanan macet, tidak marah-marah karena bergerak sedikit saja sudah ada punggutan.
Menjaga hati memang penting seperti yang kerap disampaikan oleh AA Gym. Tapi di negeri ini, Indonesia tanah tumpah darah kita, menjaga hati itu adalah pekerjaan paling berat. Tapi sekali lagi meski berat saya tetap berusaha karena dengan mampu menjaga hati saya akan bahagia.
Salah satu cara saya untuk menjaga hati adalah dengan berhenti langganan koran.
Konyol bukan, ya bahkan mungkin tolol. Tapi saya punya alasan kuat, pertama karena saya tak punya pekerjaan tetap maka di pagi hari aktivitas yang bisa membuat saya seolah-olah sibuk dan intelek adalah membaca koran.
Nah, dipagi yang seharusnya tenang dan masih segar, justru hati saya kerap mendidih gara-gara membolak-mbalik lembaran berita di koran.
Banyak kali berita di koran membuat perjalanan hidup selama sehari dimulai dengan sumpah serapah, rasa marah. Hidup jadi tidak menarik, seperti malas memandang ke depan karena hampir tak ada berita yang menerbitkan harapan. Karena itu saya berhenti berlangganan koran sebab tak ingin mengalami hidup sebagai orang tidak kaya sekaligus tidak bahagia.
Mungkin ada yang bertanya, bukankah di rumah saya ada televisi juga dan berita di televisi tak juga jauh dari koran. Betul, tapi saluran televisi lebih banyak pilihannya, jadi kalau ada yang tak membuat diri saya bahagia saya bisa mencari saluran lainnya. Dengan banyaknya pilihan saluran maka tak susah untuk membuat layar televisi berisi sajian yang membahagiakan selama 24 jam.
Akhirnya meski saya setuju 100% dengan ajakan AA Gym untuk menjaga hati, namun saya bukan pengikutnya. Menurut saya kebahagiaan hati bukan hanya tanggungjawab diri kita belaka. Kebahagiaan tidak seratus persen ditentukan oleh olah spiritual diri kita sendiri, negara juga bertanggungjawab untuk membuat rakyatnya bahagia. Dengan demikian tugas terberat dari pemimpin adalah membuat rakyatnya bahagia.
Nah berkaca dari watak dan kwalitas pemimpin-pemimpin kita kecil rasanya mereka bisa membuat rakyatnya bahagia. Dari tampakkan mukanya saja kebanyakan pemimpin kita sulit membuktikan aura wajahnya adalah rupa yang bahagia.
Dan terakhir sekali, tak lama lagi kita akan memilih kembali pemimpin yang baru, maka saya yang ingin hidup bahagia hanya akan punya satu kriteria dalam memilih. Calon yang akan saya pilih adalah yang berwajah bahagia.
Pondok Wiraguna, 27 Septermber 2012
@yustinus_esha
Orang boleh pandai setinggi langit, namun kalau tidak menulis maka akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah (Pram)
Pages
Label:
Kolom
Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (34)
Borneo Menulis
Jumat, 28 September 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Cari Blog Ini
Sekolah dan Bengkel Menulis Naladwipa
Merupakan hasil kerjasama Naladwipa Institute, Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Samarinda dan Desantara Foundation. Kegiatan ini diikuti oleh anak-anak muda untuk mengasah wawasan, kepekaan dan ketajaman untuk melihat apa yang terjadi di kesekitarannya.
Menulis Adalah Panggilan Jiwa
Blog ini merupakan wahana bagi peserta sekolah menulis Naladwipa dan Komkep Kasri untuk mempublikasikan tulisannya. Namun tetap terbuka bagi siapapun yang hendak mengirimkan tulisan juga. Silahkan masukkan tulisan ke badan email dan kirim ke borneo.menulis@gmail.com
Tulisan akan ditata sedemikian rupa tanpa merubah isi dan subtansinya.
Tulisan akan ditata sedemikian rupa tanpa merubah isi dan subtansinya.
Popular Posts
-
Antara Antri IPAD dan Bensin Ketika masih duduk di bangku sekolah, libur kenaikan kelas adalah sebuah kegembiraan yang tidak terkira. Sebu...
-
Daun-daun masih basah, karena tadi sore hujan baru usai menyirami kampung yang berada di tepi sungai Kelian. Kini malam berganti terang pur...
-
Hujan rintik-rintik ditemani senja sedang merayap meraih malam di saat saya memasuki pintu gerbang desa Kutai Lama Kecamatan Anggana Kutai ...
-
Masihkan orang berpikir bahwa tato adalah penanda bagi mahkluk yang cenderung kriminal dan tindik (piercing) adalah peradaban massa silam?. ...
-
Berita merupakan produk aktivitas jurnalistik atas dasar informasi yang berdasar pada fakta. Jika sang jurnalis hadir atau berada dalam sebu...
-
Empat bulan lalu Ardi bersama keluarganya pindah rumah, ke tempat tinggal yang kini adalah miliknya sendiri. Bertahun-tahun Ardi, Esta istr...
-
Media memegang peran penting dalam dinamika sosio kultural di masyarakat. Di tengah iklim yang menindas, media bisa menjadi corong dari peng...
-
Resep apa yang digunakan oleh seseorang sehingga mampu melahirkan tulisan yang menawan. Sederhana saja, ramuan jitu dalam menulis hanya satu...
-
Istilah LSM sebenarnya contradictio in terminis atau korupsi makna. Sebagai sebuah institusi yang dinamai dengan Lembaga Swadaya Masyarakat...
-
Kemacetan tak lagi milik kota-kota metropolitan macam Jakarta, Bandung, Surabaya atau Medan. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang kin...
Ayo Menulis
Jika anda percaya bahwa kata-kata mampu menggerakkan perubahan maka mulailah menulis. Semua pantas ditulis dan perlu untuk dibagikan.
Daftar Link
Partisipan
Arsip Blog
- 06/26 - 07/03 (3)
- 07/03 - 07/10 (3)
- 07/10 - 07/17 (6)
- 07/17 - 07/24 (6)
- 07/24 - 07/31 (12)
- 07/31 - 08/07 (3)
- 08/14 - 08/21 (2)
- 08/28 - 09/04 (2)
- 09/04 - 09/11 (3)
- 10/02 - 10/09 (11)
- 09/02 - 09/09 (10)
- 09/09 - 09/16 (4)
- 09/16 - 09/23 (12)
- 09/23 - 09/30 (8)
- 09/30 - 10/07 (12)
- 10/07 - 10/14 (8)
- 10/14 - 10/21 (10)
- 10/28 - 11/04 (9)
- 11/04 - 11/11 (9)
- 11/11 - 11/18 (10)
- 11/18 - 11/25 (8)
- 11/25 - 12/02 (6)
- 12/02 - 12/09 (3)
- 12/09 - 12/16 (3)
- 12/30 - 01/06 (1)
- 01/06 - 01/13 (5)
Kunjungan
BORNEO MENULIS
0 komentar:
Posting Komentar