Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (34)

Jumat, 28 September 2012

Tak Kaya Bukan Berarti Tak Bahagia

Siapa yang tak ingin kaya?. Secara nalar kalau seseorang tingkat kewarasannya masih tinggi maka pasti punya keinginan untuk kaya atau dalam bahasa para motivator dihaluskan menjadi sukses.

Saya tentu saja masih waras, namun justru karena kewarasan itu selalu saya berusaha menekan keinginan untuk menjadi kaya. Kenapa?. Tentu saja dengan nalar saya bisa mengukur kemampuan dan kesempatan pada diri saya untuk menjadi kaya. Dan menurut saya kemungkinan itu kecil. Pertama saya bukan berasal dari trah keluarga yang punya kemungkinan untuk memberi warisan berlimpah, ‘mak bleg’ dan sim salabim begitu dapat warisan lalu kaya. Kedua, dari pekerjaan yang saya jalani sekarang yaitu pekerja tidak tetap, artinya tidak punya pekerjaan tetap, jelas sulit bagi saya untuk menumpuk kekayaan. Ketiga, dilihat dari jaringan yang saya punya sulit pula rasanya ada teman, sahabat atau kenalan yang bisa memberikan pekerjaan atau proyek yang bakal langsung membuat saya kaya.

Dan sebenarnya masih banyak sebab-sebab lainnya yang bisa ditambahkan, tapi cukuplah tiga itu saja. Karena tidak mungkin menjadi kaya, maka cita-cita dan keinginan saya adalah menjadi bahagia. Tidak kaya dan bahagia, mungkin seperti bernada menghibur diri atau ngeles kata anak-anak sekarang. Tapi sesungguhnya tidak kaya namun bahagia tetaplah ilmiah dan bisa dibuktikan lewat berbagai penelitian.

Berbagai riset yang bertujuan membuat peringkat tentang negara terkaya, biasanya menempatkan Amerika Serikat di puncaknya. Kekayaan diukur dari pendapatan yang diperoleh oleh warga negaranya, bukan potensi kekayaan. Kalau bicara potensi kekayaan maka jelas Indonesia masuk dalam peringkat atas. Itu sebabnya Indonesia tidak termasuk negara kaya karena rata-rata pendapatan warganya rendah.

Riset lain yang membuat peringkat tentang negara terbahagia ternyata menempatkan Denmark pada peringkat atas. Indikator bahagia terkait dengan tingkat kepuasan warga atas kondisi atau situasi negaranya. Dan dalam kategori ini Amerika Serikat yang sering dibilang terkaya ternyata tak masuk dalam urutan 10 besar. Dari dua riset ini terbukti bahwa yang terkaya ternyata tidak secara otomatis terbahagia.

Dengan demikian tidak kaya namun bahagia bukanlah omong kosong belaka. Saya tidak tahu apakah Indonesia termasuk disurvey untuk urusan bahagia ini. Semoga tidak, karena kalau disurvey mungkin posisi Indonesia bahkan di luar peringkat 100. Coba apa yang membuat masyarakat Indonesia puas?.

Mulai saja dari hukum, kepastian atau kedaulatan hukum. Coba tanyakan pada mereka yang berperkara, pasti ketidakpuasan bukan hanya keluar dari mulut melainkan bisa nampak dari raut wajahnya. Belum lagi layanan publik, mulai yang paling dasar saja, air bersih misalnya. Kalau air dari PDAM bersih dan mencukupi kebutuhan niscaya banyak depor air isi ulang akan gulung tikar.

Soal energi, mulai dari listrik sampai bahan bakar minyak dan gas , apa pula kata masyarakat kita. Pasti kebanyakan akan bilang preett. Belum lagi kalau kita bicara soal korupsi, maka litani sumpah serapah ketidakpuasan akan dengan lancar keluar dari mulut masyarakat Indonesia. Tingginya angka kekerasan, kejahatan, tawuran, kericuhan, kemunculan kelompok radikal, banyaknya kelompok primordial, suburnya pelacuran, perceraian dan perselingkuhan, perkawinan dan kehamilan tidak dikehendaki, kekerasan dalam rumah tangga, traficking, kerusakan alam dan lingkungan, semarak peredaran obat bius dan seterusnya adalah bukti yang meyakinkan bahwa bangsa kita bukanlah bangsa yang bahagia.

Saya sendiri belum pernah ke Denmark jadi tak tahu bagaimana orang disana bisa menjadi orang yang bahagia.Tapi saya menduga lingkungan disana pasti bersih, udaranya bersih, jalanan bersih, air bersih, hidup menjadi lebih nyaman dan tenang, hari-hari serasa berekreasi. Jadi meski harus bekerja keras, kemungkinan hati tetap adem, ayem dan tentrem. Bahagia karena hati terjaga, tidak marah-marah karena jalan macet, tidak marah-marah karena got berbau apek, tidak marah-marah karena jalanan macet, tidak marah-marah karena bergerak sedikit saja sudah ada punggutan.

Menjaga hati memang penting seperti yang kerap disampaikan oleh AA Gym. Tapi di negeri ini, Indonesia tanah tumpah darah kita, menjaga hati itu adalah pekerjaan paling berat. Tapi sekali lagi meski berat saya tetap berusaha karena dengan mampu menjaga hati saya akan bahagia.

Salah satu cara saya untuk menjaga hati adalah dengan berhenti langganan koran. Konyol bukan, ya bahkan mungkin tolol. Tapi saya punya alasan kuat, pertama karena saya tak punya pekerjaan tetap maka di pagi hari aktivitas yang bisa membuat saya seolah-olah sibuk dan intelek adalah membaca koran.

Nah, dipagi yang seharusnya tenang dan masih segar, justru hati saya kerap mendidih gara-gara membolak-mbalik lembaran berita di koran. Banyak kali berita di koran membuat perjalanan hidup selama sehari dimulai dengan sumpah serapah, rasa marah. Hidup jadi tidak menarik, seperti malas memandang ke depan karena hampir tak ada berita yang menerbitkan harapan. Karena itu saya berhenti berlangganan koran sebab tak ingin mengalami hidup sebagai orang tidak kaya sekaligus tidak bahagia.

Mungkin ada yang bertanya, bukankah di rumah saya ada televisi juga dan berita di televisi tak juga jauh dari koran. Betul, tapi saluran televisi lebih banyak pilihannya, jadi kalau ada yang tak membuat diri saya bahagia saya bisa mencari saluran lainnya. Dengan banyaknya pilihan saluran maka tak susah untuk membuat layar televisi berisi sajian yang membahagiakan selama 24 jam.

Akhirnya meski saya setuju 100% dengan ajakan AA Gym untuk menjaga hati, namun saya bukan pengikutnya. Menurut saya kebahagiaan hati bukan hanya tanggungjawab diri kita belaka. Kebahagiaan tidak seratus persen ditentukan oleh olah spiritual diri kita sendiri, negara juga bertanggungjawab untuk membuat rakyatnya bahagia. Dengan demikian tugas terberat dari pemimpin adalah membuat rakyatnya bahagia.

Nah berkaca dari watak dan kwalitas pemimpin-pemimpin kita kecil rasanya mereka bisa membuat rakyatnya bahagia. Dari tampakkan mukanya saja kebanyakan pemimpin kita sulit membuktikan aura wajahnya adalah rupa yang bahagia.

 Dan terakhir sekali, tak lama lagi kita akan memilih kembali pemimpin yang baru, maka saya yang ingin hidup bahagia hanya akan punya satu kriteria dalam memilih. Calon yang akan saya pilih adalah yang berwajah bahagia.

Pondok Wiraguna, 27 Septermber 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum