Konflik Agraria
Di masa awal reformasi, konflik
dan kekerasan cenderung berpusat pada beberapa daerah dengan intensitas
kekerasan yang begitu tinggi. Kemudian perlahan-lahan konflik itu menyebar ,
sporadik, rutin dan spontan. Karaktek konflik juga semakin berwarna, jika dulu
umumnya konflik berbau etnis maupun agama kini menjadi lebih beragam. Aktor
konfliknya juga semakin beragam, jamak, kolektif, komunal dan kolegial
dibanding aktor-aktor individu.
Memasuki tahun 2003, saya mulai
menetap di Kalimantan Timur. Daerah yang digambarkan sebagai ‘gemah ripah loh
jinawi’ dan ‘titi tentrem kerto raharjo’. Dan memang dibanding dengan Sulawesi
Utara, terutama kota Manado tempat tinggal saya sebelumnya, di Samarinda saya
dengan mudah menemukan kemewahan-kemewahan yang jarang saya lihat disana. Ambil
contoh mobil misalnya, disini dengan mudah saya temukan Mobil Hummer, Ferrari,
Porche, Aston Martin dan Mercy CSL Coupe berkeliaran di jalanan. Belum lagi
mobil double gardan yang jarang saya temui di Manado, disini berhambur di jalan
raya berlepotan debu.
Tapi saya tak hendak membahas
betapa kayanya daerah ini dan sebagian penduduknya, melainkan persoalan terkait
dengan konflik dan kekerasan. Samarinda dan Kalimantan Timur yang multi etnik,
menurut saya relatif aman. Tak banyak gejolak terjadi disini. Sesekali
terdengar dan terjadi konflik yang ditiupkan berbau etnis dan agama namun tak
berkembang menjadi konflik yang masif. Entah apakah karena aparat cepat
bertindak atau karena masyarakatnya ogah ‘gila urusan’ untuk ikut-ikutan
berkelahi tanpa alasan. Namun selentingan disana-sini, daerah ini memang dijaga
agar tetap ‘kondusif’ karena berkaitan dengan urusan ‘kantong’ orang-orang
besar dan nasional.
Belum terlalu banyak daerah di
Kalimantan Timur yang saya jelajahi benar-benar. Hanya saja dari berbagai
cerita dan kabar yang menyakinkan, saya tahu bahwa daerah ini menyimpan potensi
konflik yang besar terutama berkaitan dengan masalah lahan (tanah). Persoalan
yang sebenarnya terjadi jauh sebelum masa reformasi, yaitu masa-masa awal orde
baru. Banyak kelompok masyarakat adat di sini yang tentu saja saat itu masih
solid, tergusur dan tersingkir dari tanah mereka demi alasan pembangunan dan
modernisasi. Tentu saja kesadaran akan nilai “kapital’ tanah pada saat itu
masih rendah, tanah adalah asset yang relatif bebas dari bayang-bayang ‘harga’
uang.
Dengan semakin derasnya arus
investasi yang masuk dengan penguasaan lahan yang luas dan bercorak private
maka mulailah ada kesadaran baru tentang ‘harga’ tanah. Tanah yang bukan
sekedar bercorak ‘harga diri’ melainkan juga karena ada ‘harga ganti rugi’ yang
tidak sedikit jumlahnya. Dan mulailah terjadi konflik dalam penguasaan dan
pemilikan lahan. Konflik pertama-tama terjadi antara masyarakat dan pemerintah.
Konflik yang terjadi karena berangkat dari pijakan yang berbeda soal hak milik.
Pemerintah beranggapan bahwa tanah terutama hutan alami adalah milik negara,
sementara masyarakat adat juga beranggapan pada hal yang sama. Satu tanah
diklaim bersama dalam penguasaan yang tidak selalu sejalan.
Bahkan ketika tetap dibiarkan
sebagai hutanpun, konflik tetap saja bisa terjadi. Karena pemerintah menentukan
sebagai hutan lindung atau hutan konservasi sehingga ada pembatasan-pembatasan
yang membuat masyarakat adat, yang mungkin saja telah turun temurun tinggal
disana tak lagi leluasa untuk memanfaatkannya.
Belum lagi kalau kemudian
pemerintah menyerahkan ‘hak miliknya’ kepada swasta atau investor sehingga
hutan dibongkar, pohon-pohon dipotong, hutan menjadi rata dengan tanah hingga
matahari bersinar semakin terang. Tentu saja masyarakat adat menjadi gerah,
mereka yang dulu menjaga, namun orang lain yang kemudian memanennya dan
mendatangkan kesengsaraan pada ‘pemilik’ tradisionalnya.
Di masa orde baru kegeraman, kemarahan
dan sakit hati masyarakat adat akibat perampasan tanah dan lahan kehidupan
mereka disimpan dalam-dalam. Saat itu tak mungkin mereka melawan regim yang
apabila tidak senang bisa berlaku sangat kejam dan mengerakkan aparat untuk
melawan segenap ketidakpuasan masyarakat. Siapa yang melawan dianggap
menghambat pembangunan. Dan pembangunan adalah kata suci, siapapun yang melawan
akan dianggap musuh negara yang segera akan ditumpas dan dibuat sengsara.
Apa yang dulu disimpan di masa
pemerintahan yang represif kemudian muncul pada masa pasca reformasi.
Perlawanan dan tuntutan untuk mengembalikan tanah yang dulu dirampas kini
muncul dimana-mana. Keinginan untuk kembali mengambil hak atas tanah bukan
semata-mata karena ‘harga diri’ melainkan juga karena harga tanah yang kian
melambung tinggi. Tanah atau lahan pada saat ini adalah salah satu komoditi
yang harganya terus meningkat berlipat-lipat.
Di Kalimantan Timur ada kurang
lebih 700 kasus tumpang tindih lahan yang melibatkan baik perusahaan dengan
perusahaan atau dengan masyarakat. Kasus yang jelas susah diurai dan ditemukan
jalan pemecahannya. Semua bermula dari hukum dan administrasi pertanahan yang
tak ditaati. Tanah atau lahan bukan semata komoditi material semata melainkan
juga bertautan dengan politik dan kekuasaan.
Sengketa lahan apabila dibawa ke
pengadilan akan memakan waktu yang lama, butuh tenaga yang besar dan mungkin
juga dana yang tidak kecil. Tak heran banyak yang main jalan pintas entah
dengan menggunakan uang atau kekuatan otot.
Di Samarinda dalam beberapa tahun
belakangan ini telah terjadi konflik yang cukup besar dalam perebutan tanah.
Masing-masing pihak yang merasa berhak mengerahkan gerombolan untuk
mempertahankan dan merebut pada sisi yang lain. Peristiwa di Loa Duri membuat
beberapa motor terbakar dan beberapa orang masuk rumah sakit karena terkena
tebasan senjata tajam. Dan yang terakhir di Handil Bakti, satu orang meninggal
akibat bentrokan antara warga dan kelompok yang dikerahkan untuk menjaga lahan.
Saya berani memastikan konflik lahan
semakin hari berkobar. Sebab hampir tidak kelihatan upaya dari badan atau pihak
yang diberi kuasa oleh negara untuk mengurus tanah, mengurai persoalan lahan
secara terbuka. Rencana berkaitan dengan tata ruang dan wilayah juga dibahas
diam-diam dan banyak mengandung titipan.
Tanpa kemauan politik yang besar
dan kesediaan untuk mengikuti segenap peraturan serta perundangan secara
konsekwen, maka sesungguhnya pemerintah dan para pihak yang berkepentingan
tengah meletakkan bara dalam sekam. Dan kelak kita akan menuai konflik besar
karena urusan lapar lahan.
Pondok Wiraguna, 25 September 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar