Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (33)

Jumat, 28 September 2012


Konflik Agraria

Di masa awal reformasi, konflik dan kekerasan cenderung berpusat pada beberapa daerah dengan intensitas kekerasan yang begitu tinggi. Kemudian perlahan-lahan konflik itu menyebar , sporadik, rutin dan spontan. Karaktek konflik juga semakin berwarna, jika dulu umumnya konflik berbau etnis maupun agama kini menjadi lebih beragam. Aktor konfliknya juga semakin beragam, jamak, kolektif, komunal dan kolegial dibanding aktor-aktor individu.

Memasuki tahun 2003, saya mulai menetap di Kalimantan Timur. Daerah yang digambarkan sebagai ‘gemah ripah loh jinawi’ dan ‘titi tentrem kerto raharjo’. Dan memang dibanding dengan Sulawesi Utara, terutama kota Manado tempat tinggal saya sebelumnya, di Samarinda saya dengan mudah menemukan kemewahan-kemewahan yang jarang saya lihat disana. Ambil contoh mobil misalnya, disini dengan mudah saya temukan Mobil Hummer, Ferrari, Porche, Aston Martin dan Mercy CSL Coupe berkeliaran di jalanan. Belum lagi mobil double gardan yang jarang saya temui di Manado, disini berhambur di jalan raya berlepotan debu.

Tapi saya tak hendak membahas betapa kayanya daerah ini dan sebagian penduduknya, melainkan persoalan terkait dengan konflik dan kekerasan. Samarinda dan Kalimantan Timur yang multi etnik, menurut saya relatif aman. Tak banyak gejolak terjadi disini. Sesekali terdengar dan terjadi konflik yang ditiupkan berbau etnis dan agama namun tak berkembang menjadi konflik yang masif. Entah apakah karena aparat cepat bertindak atau karena masyarakatnya ogah ‘gila urusan’ untuk ikut-ikutan berkelahi tanpa alasan. Namun selentingan disana-sini, daerah ini memang dijaga agar tetap ‘kondusif’ karena berkaitan dengan urusan ‘kantong’ orang-orang besar dan nasional.

Belum terlalu banyak daerah di Kalimantan Timur yang saya jelajahi benar-benar. Hanya saja dari berbagai cerita dan kabar yang menyakinkan, saya tahu bahwa daerah ini menyimpan potensi konflik yang besar terutama berkaitan dengan masalah lahan (tanah). Persoalan yang sebenarnya terjadi jauh sebelum masa reformasi, yaitu masa-masa awal orde baru. Banyak kelompok masyarakat adat di sini yang tentu saja saat itu masih solid, tergusur dan tersingkir dari tanah mereka demi alasan pembangunan dan modernisasi. Tentu saja kesadaran akan nilai “kapital’ tanah pada saat itu masih rendah, tanah adalah asset yang relatif bebas dari bayang-bayang ‘harga’ uang.

Dengan semakin derasnya arus investasi yang masuk dengan penguasaan lahan yang luas dan bercorak private maka mulailah ada kesadaran baru tentang ‘harga’ tanah. Tanah yang bukan sekedar bercorak ‘harga diri’ melainkan juga karena ada ‘harga ganti rugi’ yang tidak sedikit jumlahnya. Dan mulailah terjadi konflik dalam penguasaan dan pemilikan lahan. Konflik pertama-tama terjadi antara masyarakat dan pemerintah. Konflik yang terjadi karena berangkat dari pijakan yang berbeda soal hak milik. Pemerintah beranggapan bahwa tanah terutama hutan alami adalah milik negara, sementara masyarakat adat juga beranggapan pada hal yang sama. Satu tanah diklaim bersama dalam penguasaan yang tidak selalu sejalan.

Bahkan ketika tetap dibiarkan sebagai hutanpun, konflik tetap saja bisa terjadi. Karena pemerintah menentukan sebagai hutan lindung atau hutan konservasi sehingga ada pembatasan-pembatasan yang membuat masyarakat adat, yang mungkin saja telah turun temurun tinggal disana tak lagi leluasa untuk memanfaatkannya.

Belum lagi kalau kemudian pemerintah menyerahkan ‘hak miliknya’ kepada swasta atau investor sehingga hutan dibongkar, pohon-pohon dipotong, hutan menjadi rata dengan tanah hingga matahari bersinar semakin terang. Tentu saja masyarakat adat menjadi gerah, mereka yang dulu menjaga, namun orang lain yang kemudian memanennya dan mendatangkan kesengsaraan pada ‘pemilik’ tradisionalnya.

Di masa orde baru kegeraman, kemarahan dan sakit hati masyarakat adat akibat perampasan tanah dan lahan kehidupan mereka disimpan dalam-dalam. Saat itu tak mungkin mereka melawan regim yang apabila tidak senang bisa berlaku sangat kejam dan mengerakkan aparat untuk melawan segenap ketidakpuasan masyarakat. Siapa yang melawan dianggap menghambat pembangunan. Dan pembangunan adalah kata suci, siapapun yang melawan akan dianggap musuh negara yang segera akan ditumpas dan dibuat sengsara.

Apa yang dulu disimpan di masa pemerintahan yang represif kemudian muncul pada masa pasca reformasi. Perlawanan dan tuntutan untuk mengembalikan tanah yang dulu dirampas kini muncul dimana-mana. Keinginan untuk kembali mengambil hak atas tanah bukan semata-mata karena ‘harga diri’ melainkan juga karena harga tanah yang kian melambung tinggi. Tanah atau lahan pada saat ini adalah salah satu komoditi yang harganya terus meningkat berlipat-lipat.

Di Kalimantan Timur ada kurang lebih 700 kasus tumpang tindih lahan yang melibatkan baik perusahaan dengan perusahaan atau dengan masyarakat. Kasus yang jelas susah diurai dan ditemukan jalan pemecahannya. Semua bermula dari hukum dan administrasi pertanahan yang tak ditaati. Tanah atau lahan bukan semata komoditi material semata melainkan juga bertautan dengan politik dan kekuasaan.

Sengketa lahan apabila dibawa ke pengadilan akan memakan waktu yang lama, butuh tenaga yang besar dan mungkin juga dana yang tidak kecil. Tak heran banyak yang main jalan pintas entah dengan menggunakan uang atau kekuatan otot.

Di Samarinda dalam beberapa tahun belakangan ini telah terjadi konflik yang cukup besar dalam perebutan tanah. Masing-masing pihak yang merasa berhak mengerahkan gerombolan untuk mempertahankan dan merebut pada sisi yang lain. Peristiwa di Loa Duri membuat beberapa motor terbakar dan beberapa orang masuk rumah sakit karena terkena tebasan senjata tajam. Dan yang terakhir di Handil Bakti, satu orang meninggal akibat bentrokan antara warga dan kelompok yang dikerahkan untuk menjaga lahan.

Saya berani memastikan konflik lahan semakin hari berkobar. Sebab hampir tidak kelihatan upaya dari badan atau pihak yang diberi kuasa oleh negara untuk mengurus tanah, mengurai persoalan lahan secara terbuka. Rencana berkaitan dengan tata ruang dan wilayah juga dibahas diam-diam dan banyak mengandung titipan.

Tanpa kemauan politik yang besar dan kesediaan untuk mengikuti segenap peraturan serta perundangan secara konsekwen, maka sesungguhnya pemerintah dan para pihak yang berkepentingan tengah meletakkan bara dalam sekam. Dan kelak kita akan menuai konflik besar karena urusan lapar lahan.

Pondok Wiraguna, 25 September 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum