AIR MATA DARAH
Perjalanan ini terasa sangat
menyedihkan .....
Sayang engkau tak duduk di
sampingku kawan ...
Lagu Ebiet yang sudah
melegenda ini biasanya menjadi lagu latar pada saat televisi memberitakan kabar
tentang kejadian bencana.
“Dulu ketika jalan ini masih
tanah dan kemudian diaspal, waktu musim kemarau kalau melewati jalan ini mata
saya kerap berair, tak tahan terterpa debunya”, demikian ungkap seorang
kawan. Tak lama kemudian dia melanjutkan
“tapi sekarang mata bukan hanya berair melainkan pedih dan perih, memerah kalau
dikucak-kucak”. Menurutnya jalanan yang kini banyak disemen, meski enak di
telusuri namun kala kemarau partikel-partikel debu yang terburai dari jalanan
semakin tajam. Partikel debu yang berasal dari semen selain menimbulkan panas
di mata juga potensial menyebabkan iritasi.
Jalanan sekurangnya yang saya
tahu di Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara kini memang banyak yang
agregatnya adalah semen. Meski kerap longsor, jalanan semen yang menurut saya
terbaik adalah jalanan yang menghubungkan antara perbatasan Samarinda, sampai
ke jembatan Kartanegara yang runtuh itu. Di luar itu jalanan semen yang
dikerjakan sepotong-sepotong, kualitasnya tidak baik sebab tak berapa lama
lapisan mulus diatasnya cepat terkupas dan menyisakan ‘gronjal-gronjal’ karena
tonjolan batu-batu koral.
Jalan memang jadi persoalan,
karena jumlah dan panjangnya kalah bertumbuh dengan jumlah kendaraan yang
melewati atasnya. Pertumbuhan yang tidak seimbang antara jalan dan kendaraan
terlihat dengan bertambahnya titik-titik macet. Kemacetan tidak hanya terjadi
di jalan-jalan utama atau jalan poros melainkan sudah merambah ke jalan-jalan
penghubung.
Di Samarinda misalnya,
perempatan di dekat ruko Pasundan yang
bisa menghubungkan antara Jalan Bhayangkara dan Antasari ( melewati KS Tubun
dan Siradj Salman), macet di pagi, siang dan sore hari. Kendaraan tertumpuk di
perempatan karena saling berebut untuk mendapat jalan.
Mulailah muncul ‘Pak Ogah’,
beberapa bulan lalu saya lihat mereka memakai rompi bertulis relawan lalu
lintas. Namun kini tidak lagi, mungkin rompi murahnya itu sudah robek-robek
karena sering dicuci. Biasa ada sekitar 4 sampai 6 orang berada disana mencoba
mengatur lalu lintas. Meski bekerja sebagai tim, namun pengetahuan akan sistem
pengaturan lalu lintas yang dipelajari sendiri kerap kali justru malah
menyebabkan kemacetan kian parah. Sistem buka tutup yang tidak padu, timing
yang tidak konstan membuat banyak kendaraan tak bisa maju juga tak bisa mundur.
Awalnya para relawan lalu
lintas mungkin saja tergerak utk membuat jalanan menjadi lancar. Tapi lama
kelamaan ada godaan ‘ekonomisasi’ kemacetan. Jika kemacetan intensitas tinggi
maka berada di jalanan untuk membantu mengatur lalu lintas bisa menjadi ‘pekerjaan’
yang mendatangkan uang. Mereka memang belum meminta uang dari pengendara yang
lewat, tapi selalu ada satu dua pengendara yang suka rela memberi lembaran
rupiah saat terbebas dari jebakan macet.
Dan dimana-mana dalam
kemacetan yang kian parah, biasanya polisi enggan berada disana. Mungkin mereka
tahu bahwa kemacetan itu bakal susah diatasi. Dan jika ada polisi lalu macet
malah tambah parah tentu saja itu akan ‘mempermalukan’ diri mereka sendiri.
Jadi ketimbang malu, mungkin mereka lebih memilih berdiam di pos-pos polisi di
perempatan lain menunggu untuk menangkap pengendara yang khilaf berbuat
kesalahan.
Ebiet mungkin kini tak lagi
menulis lagu, namun diam-diam dalam hati saya berharap dia menulis lagi sebuah
syair lagu sekurang-kurang sebua revisi untuk lagu berita kepada kawan. Bencana
kini tak lagi identik dengan bencana alam, melainkan juga bencana-bencana yang
tak kurang dahsyatnya karena ulah manusia, karena perilaku kebijakan.
Dalam sepuluh daftar penyakit
yang banyak diderita olah warga Samarinda, tercatat gangguan ISPA berada di
peringkat atas. Jika kita berkaca di jalan maka jalanan bukan hanya menyebar
debu (terutama kini partikel semen) melainkan karena kepadatannya juga menyebar
asap kendaraan yang mengandung polutan.
Di akhir perjalanan menyusuri
jalanan, teman saya berkata “Tak lama lagi kita bakal meneteskan air mata
darah, karena debu yang terhambur dari jalan bukan hanya serpihan semen
melainkan juga serpihan besi yang menjadi tulangan jalan semen ini”.
Pondok Wiraguna, 28 September
2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar