Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (29)

Selasa, 25 September 2012


Pendidikan Budi Pekerti

Dulu di sekolah ada pelajaran PMP, Pendidikan Moral Pancasila. Bagi teman-teman yang kurang ajar, PMP sering dipanjangkan menjadi Parlan Maling Pithik dan tentu saja teman saya yang kebetulan bernama Suparlan selalu bermuka tak enak saat ada mata pelajaran PMP.

PMP adalah jenis pendidikan yang masuk dalam bidang budi pekerti. Pelajaran ini kemudian menghilang dari bangku sekolah. Entah sekarang diganti apa, saya tidak tahu karena sudah lama saya tidak sekolah. Pelajaran budi pekerti memang bukan pelajaran yang sulit, tapi hasil pendidikan ini sulit untuk dinilai karena berhasil tidaknya pendidikan ini kelihatan pada amalan bukan pada nilai ujian.

Saya tidak tahu, apakah ada korelasi antara menghilangnya pendidikan budi pekerti dengan kenaikan perilaku tidak berbudi anak-anak usia sekolah saat ini. Lihat saja tawuran yang kini semakin marak dimana-mana, bukan cuma kejar-kejaran dengan tangan terkepal lagi melainkan dengan mengenggam parang, samurai, rantai berujung jeruji dan seterusnya.

Belum lagi ramai cerita anak menggila gara-gara alkohol dan zat adiktif lainnya yang membuat mereka kehilangan kontrol. Ada yang membunuh temannya hanya karena ingin mempunyai hp atau motor kawannya itu. Ada juga yang kemudian rame-rame memperkosa teman perempuannya. Masih banyak lagi cerita panjang yang menunjukkan betapa kita kini masuk dalam kondisi gawat darurat secara budi pekerti.

Masalahnya memang tidak lagi sederhana sekedar ada atau tidak ada pendidikan budi pekerti di sekolah. Pertanyaan justru adakah pendidikan untuk anak-anak itu meski notabene setiap hari mereka bersekolah. Apa yang mereka dapat disekolah, pendidikan jenis apa yang didapat dari orang tua atau justru mereka menimba ilmu dan pembelajaran dari media yang memuat berita dimana sebagaian besar berisi ketidaksenonohan orang-orang dewasa?.

Orang tua baik yang kaya maupun yang miskin, sama-sama bekerja keras dan lupa memperhatikan serta mendidik anak-anak mereka. Merasa sudah cukup menyekolahkannya. Dan bagi yang berlebih bisa menambah dengan les atau kursus disana-sini. Beban anak menjadi berat dan tak ada tempat untuk mengeluh. Silahkan lihat gaya anak-anak sekolah dasar saat ini, banyak yang pergi sekolah dengan menyeret koper layaknya pramugari mau terbang ke luar negeri. Terlalu banyak yang harus dipelajari.

Saya kadang merasa beruntung lahir di tahun 70-an, sehingga masih belum terlalu banyak gangguan. Andai di rumah ada televisi, acaranya juga tak semua menarik hati, lagi pula waktu itu televisi dirumah adalah tv hitam putih jadi lebih sering nampak sebagai barisan semut yang banyak sekali. Tapi cobalah anak-anak saat ini gangguannya luar biasa banyak. Puluhan channel televisi yang mengoda hati, HP, tablet dan internet. Belum lagi iklan-iklan yang mewajibkan untuk membeli paket makanan di toko-toko waralaba yang ada di mall-mall.

Fokus dan konsetrasi menjadi persoalan bagi anak-anak sekarang, sementara harapan orang tuanya begitu tinggi lantaran hidup semakin hari semakin sulit. Saya menyangka anak-anak sekarang mengalami stress sosial yang tinggi tinimbang jaman saya kecil dulu. Stress yang kemudian bisa meledak menjadi perilaku-perilaku yang tak terkendali dan cenderung membahayakan dirinya sendiri. Cobalah diberi motor, hampir semua anak akan memacu motornya seperti kesetanan meski di jalanan sempit sekalipun.

Lalu kalau ada kejadian siapa lagi yang disalahkan?. Ya tentu saja anak-anak itu, tak ada orang tua yang mau disalahkan karena anaknya brengsek. Tak ada masyarakat yang mau disalahkan karena orang-orang mudanya jadi berandalan semua. Tak ada lembaga pendidikan apapun yang mau disalahkan karena menghasilkan generasi yang tidak bermutu.

Pendidikan dan generasi bermutu adalah impian kita, yang mungkin hanya ditemukan di iklan-iklan saat penerimaan murid baru. Di luar itu dunia pendidikan berkutat dengan proyek-proyek yang lebih bertujuan untuk menghasilkan uang. Maka tak heran siapapun yang tak punya uang maka akan sulit sekali memperoleh pendidikan yang seolah-olah bermutu. Bermutu karena berstandar internasional, bermutu karena kepala sekolahnya orang barat, bermutu karena berada di kompleks elit dengan bangunan gagah dan megah.

Pondok Wiraguna, 24 September 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum