Lebih Besar
Mata dari Perut
“Berilah kami rejeki pada hari ini dan ampunilah kesalahan kami seperti
kamipun mengampuni mereka yang bersalah kepada kami. Dan jangan masukkan kami
dalam pencobaan tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat”.
Begitulah cuplikan doa Bapa Kami yang harus saya hafal sejak kecil
dahulu. Doa itu berisi permintaan yang tidak muluk-muluk, bukan kekayaan yang
diminta kepada Tuhan, tetapi rejeki yang cukup untuk hari ini. Permintaan akan
hidup dalam satu hari ini berjalan dengan baik sebagaimana adanya hidup, tidak
berlebihan tapi tak juga berkekurangan.
Doa dan juga ayat-ayat suci yang ada dalam Kitab Suci memang tidak
mengajarkan sesuatu yang berlebihan. Tentu kita semua ingat pesan “Makanlah
sebelum lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang”. Pesan ini tentu saja
bermakna sama yakni makanlah secukupnya. Perut yang terlalu lapar akan membuat
mulut menjadi kalap. Sementara perut yang kekenyangan akan membuat badan
menjadi tidak nyaman. Bukankah kita juga sering diingatkan oleh pepatah lebih
besar mata dari pada perut. Maknanya mata memang melihat berbagai hal yang
mungkin kita suka, tapi perut kita terbatas untuk menelan apa yang diinginkan
oleh mata. Perut tak akan mampu menampung isi satu meja meski mata bergetar
melihat nikmat dan lezatnya seisi meja.
Tapi dimasa kini kita tahu persis bahwa rejeki tak sekedar dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan perut semata. Akan ada banyak orang yang tidak perlu
bekerja terlalu keras apabila yang ingin dipenuhi hanya kebutuhan perut. Meski
perut menjadi alasan, dengan mengatakan seperti ‘ini adalah tempat kita mencari
makan’ tapi kenyataannya tak begitu. Apakah perlu harus melakukan korupsi andai
seorang bupati hanya mencari makan?.
Perut kita sudah mengalami komplikasi, karena tak sekedar butuh makanan
yang lezat belaka. Kini perut bukan hanya menampung makanan tapi juga
mereproduksi keinginan. Keinginan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan
perut. Apa urusannya jika berhubungan dengan perut orang kemudian merampok
bank, mengambil segepok uang yang akan membuatnya terkapar jika dibelikan
makanan.
Hidup biasa-biasa saja nampaknya memang sudah tak enak lagi dan rejeki
yang secukupnya tak membuat orang bahagia. Untuk menjadi bahagia sekarang ini
perlu rejeki yang berlimpah, agar bisa membeli banyak hal yang kita inginkan.
Kalau hanya makan nasi pecel, tahu tempe perut rasanya belum puas. Mulut agak
susah mengunyah apabila makan malam tidak disertai dengan alunan lagu yang
dimainkan oleh pianis di resto yang temaram. Hidup terasa indah apabila meja
makan berhiaskan lilin dan sebotol anggur.
Episode makan memakan menjadi absurb. Bagi kebanyakan orang makan
merupakan persoalan. Besok makan atau tidak, apa yang harus dimakan besok. Tapi
bagi orang lainnya makan menyulitkan, bukan karena tidak mampu tetapi sulit
untuk menentukan akan makan dimana, di resto apa, ditemani siapa dan menu
istimewanya apa. Dan ada pula sebagian kecil orang yang sudah melewati semua
makanan, tempat-tempat yang prestisius dan menu-menu nan luar biasa sulit
penyebutannya, mereka inilah yang sibuk berpikir dan bertanya besok siapa lagi
yang hendak dimakan?.
Sekali lagi urusan makan memakan tidak lagi sekedar urusan perut.
Dibalik kegiatan makan ada kebutuhan badan, ada kebutuhan keinginan, ada gengsi
tetapi juga ada kekuasaan. Pada masing-masing tingkatan, makan adalah ritualita
yang berbeda.
Ah ternyata makan saja bikin bingung ya. Saya sendiri juga bingung
urusan makan memakan ini. Terkadang saya begitu bernafsu, terkadang tidak.
Terkadang saya suka ini dan itu , namun lain kali sama sekali tak mau.
Akan lebih baik dalam urusan ini kita kembali kepada Tuhan, bahwa
Tuhanlah yang memberi kita rejeki sehingga kita bisa makan pada hari ini. Dan
agar makan kita benar adanya, jangan hanya sekedar berkoalisi antara mata,
mulut dan perut melainkan juga hati.
Pondok Wiraguna, 23 September 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar