Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (31)

Selasa, 25 September 2012

Unreal Reality Apa itu dunia?.

Sebuah pertanyaan yang kian hari kian sulit untuk menjawabnya. Masyarakat tradisional memandang dunia melalui kosmologi yang sederhana, yaitu dunia atas, tengah dan bawah. Dunia atas tempat bersemayam mahkluk yang suci (baik), dunia tengah tempat bersemayam mahkluk hidup (manusia dll) dan dunia bawah tempat bersemayam mahkluk yang jahat. Tentu saja pandangan itu tak diterima lagi, terlalu sederhana. Saya ingat sewaktu kecil, ketika ada lindu (gempa, tanah goyang) maka akan mengatakan bahwa naga (ular raksasa) yang dibawah sana tengah ‘ngulet’ bergerak untuk merenggangkan otot. Sebuah anggapan yang tidak terbukti karena pada akhirnya saya belajar bahwa gempa terjadi karena pergerakan patahan bumi dan juga karena pergerakan magma pada gunung berapi. Maka ada dua jenis gempa yaitu tektonik dan vulkanik.

Gambar perjalanan ke luar angkasa juga membuktikan bahwa di atas sana bukanlah tempat mahkluk-mahkluk nan mulia berterbangan. Tidak ada malaikat tak ada juga bidadari yang bersemayam di atas awan nan lembut. Ternyata awan yang kelihatan seperti kapas dari bumi, lembut sebagian mengandung setrom yang lebih dahsyat dari listrik di rumah. Yang terbang melayang-layang jauh diatas sana ternyata justru benda-benda meteorit yang keras dan mungkin saja panas. Benar bahwa langit, angkasa diatas kita berlapis-lapis seperti tingkatan dengan situasi dan kondisi yang berbeda-beda, namun surga tidak ada disana. Lapisan ke tujuh bukanlah surga yang tertinggi, melainkan daerah dengan kondisi yang sangat ektrim. Perkembangan dunia ilmu pengetahuan, teknologi baik komunikasi maupun transportasi membuat dunia menjadi jungkir balik. Membongkar ulang segenap pengetahuan dan kepercayaan kita selama ini akan realitas yang disebut dengan dunia. Apa yang kita percayai dulu kini tinggal menjadi mitos, cerita, dongeng bahkan khayalan tanpa dasar.

Namun seperti apakah realitas dunia baru, ternyata tak ada juga yang mampu mengambarkan secara cukup dan meyakinkan. Teknologi internet, pengideraan jarak jauh dan lain sebagainya, membawa kita pada realitas baru. Apa yang disebut dengan ‘real time’, apa yang terjadi apa yang kita lihat. What do you see, what do you get, begitulah realitas sekarang ini. Tapi apakah yang kita lihat itu adalah realitas yang sesungguhnya?. Siaran langsung kerusuhan misalnya yang ditayangkan melalui layar televisi apakah itu merupakan kejadian yang sebenarnya dan utuh?. Tidak, sebab yang kita lihat adalah apa yang disiarkan berdasarkan mata sang juru kamera. Mata yang melihat dari sudut pandang tertentu, memilih apa yang menurutnya pantas dan dapat disiarkan.

Dibelakang realitas itu ada pola pikir dan tujuan tertentu. Apa yang disajikan adalah apa yang dipilih. Para pemikir kontemporer memakai istilah pos realitas atau hyper realitas untuk menyebut kenyataan bahwa pengetahuan dan teknologi cenderung menghasilkan realitas artifisial, realitas buatan. Realitas yang meskipun menawarkan pengalaman dan penjelajahan yang baru tapi lepas dari kedekatan, sentuhan, keaslian dan warisan ajaran budaya serta religius yang selama ini menuntun kita. Kita kini kerap berada dalam realitas yang sesungguhnya bukan realitas, realitas seolah-olah, realitas yang tidak lengkap. Sewaktu duduk di bangku kuliah dulu, ada masa saya belajar tentang realitas.

Realitas adalah salah satu persoalan klasik yang dijelajahi, diperbincangkan dan dibahas oleh para filsuf mulai dari Plato hingga Heidegger. Apa itu realitas menjadi pertanyaan dasar?. Apakah realitas adalah fakta yang bisa ditangkap indera semata, sementara yang tidak maka disebut non realitas atau ide. Benarnkah realitas hanya bersifat fisik?. Bagaimana dengan hal yang obyektif namun tidak berwujud atau metafisik?. Apakah tidak bisa disebut sebagai realitas?. Benarkah hal-hal yang melampaui fisik (metafisis) bukanlah realitas?. Berbagai pandangan tentang realitas ini kemudian mengarah pada pemikiran materialisme dan idealisme tentang realitas. Hegel dan Kant kemudian memperbincangan realitas dalam posisi biner atau dualistik yang mengkonstruksi realitas atas dasar pasangan yang membedakan seperti antara zat/substansi, tuh/jiwa,fenomena/noumena,imanen/transenden, fisik/metafisik. Dimana realitas yang satu dianggap lebih tinggi dari realitas yang lain.

Realitas menjadi realitas subyektif dan obyektif, subyek bisa meniadakan realitas berdasarkan pilihan ini atau itu. Bukan ini atau bukan itu. Dunia berkembang dalam pandangan realitas diatas. Namun pandangan itu kini tak lagi cukup untuk melihat realitas perkembangan dunia yang tidak selalu linear dan berimbang. Lahirlah pemikir-pemikir baru yang saya sendiri tidak terlalu mempelajari. Pemikir garda depan tentang realitas yang populer adalah Jean Baudrillard dan Umberto Eco. Pemikiran mereka melampaui pemikiran dualisme realitas menuju apa yang disebut sebagai hyperealitas.

Pemikiran Baudrillard maupun Eco bukanlah pemikiran orisinil mereka, jauh dibelakang mereka ada beberapa pemikir yang mengulik problem tentang imitasi, replika, reproduksi dan seterusnya yaitu Walter Benjamin. Apa yang kemudian dilakukan oleh Baudrillards dan Eco adalah pemikiran tentang realitas sejaman, jaman yang sedang bergerak dan memang perlu dasar-dasar pemikiran baru sebab pemikiran lama tak lagi mencukupi. Entah benar atau salah, apa yang digagas Baudrillard dan Eco tetap menarik untuk diselami agar kita berjalan di dunia dengan penuh kesadaran akan realitas yang kita hadapi. Saya, anda dan kita adalah ciptaan yang kemudian menjadi pencipta, material yang menghasilkan material, realitas yang memperanakkan realitas.

Dunia hiburan misalnya adalah salah satu mesin produksi realitas yang bisa jadi membingungkan. Misalnya fenomena fans atau pengemar yang belum pernah ketemu bintang pujaan tapi seakan-akan mereka sangat dekat. Tak heran histeria akan terjadi kala bintang-bintang pop macam Justien Bieber dan Bintang K-pop mampir ke Jakarta. Berbagai acara reality show baik yang bertujuan untuk membintangkan (aneka idol) maupun yang mengedepankan faktor kasihan, keberuntungan dan sebagainya membuat pemirsa terbius, merasa dekat sesaat dan kemudian hilang tak berbekas, meski sebelum begitu histeris, menangis, senang dan sedih dengan sangat mendalam. Tapi semua bersifat temporer dan bisa menguap dengan cepat seperti awan tersaput angin. Tapi sejujurnya saya bukanlah Baudrillards dan Eco yang mampu menerangkan dengan berlarat-larat.

Saya adalah bagian dari segerombolan manusia yang terkadang bingung melihat realitas kesekitaran, terkadang larut namun terkadang mampu juga mengambil jarak. Dan menurut saya itulah realitas dunia yang sesungguhnya.

Pondok Wiraguna, 25 September 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum