Phobia : Benci Tanpa Alasan
Tak ada satupun ajaran di dunia
ini yang membenarkan kebencian tanpa alasan. Meski demikian kebencian tanpa
alasan tampaknya tetap subur bahkan beberapa berkembang menjadi sebuah
kejahatan terhadap kemanusiaan. Bentuk
kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasar pada kebencian tanpa alasan muncul
dalam bentuk genocide etnic cleansing, anti semit dan aneka phobia terhadap
China, Kristen dan Islam.
Sadar atau tidak sejauh
pengalaman saya, rasa benci atau ketidaksukaan kepada yang lain kerap kali
diajarkan sejak kecil. Secara kolektif kita semua lewat pelajaran sejarah
misalnya diajar untuk benci kepada Belanda yang dianggap menjajah Indonesia
selama 350 tahun. Kemudian kita juga diajak membenci dengan sangat mendalam
Partai Komunis Indonesia, bukan hanya lewat narasi tetapi juga visual yang
sangat menonjolkan kekejaman mereka.
Dalam keluarga, dalam lingkungan
pergaulan dan masyarakat tempat kita tinggal juga selalu menyimpan bibit-bibit
kebencian terhadap ‘the others’, kebencian, salah pandangan yang kemudian
diteruskan dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Saya lahir di sebuah desa kecil
dan kemudian bersekolah di desa itu bergaul dengan teman yang itu-itu saja,
menyimpan kebencian terhadap Cina. Bagi saya dan teman-teman waktu kecil, Cina
itu pelit, hanya mau bergaul dengan sesama Cina (tertutup) dan mengambil banyak
untuk dalam setiap transaksi. Akibatnya begitu masuk SMP, di Ibukota Kabupaten
dengan teman yang beragam, saya jadi gagap. Bukan sekali dua kali saya memukul
anak Cina tanpa alasan, asal merasa ada yang tidak menyenangkan dari saya
segera saya layangkan pukulan. Konyol mengingat pengalaman waktu itu.
Bahkan
pernah sekali waktu saat jam pelajaran, saya memukul teman saya yang Cina dari
belakang.
Namun saya sebenarnya juga pernah
mengalami posisi sebagai korban kebencian tanpa alasan. Ketika masih SD saya
berada dalam posisi minoritas secara agama. Saya menjadi murid satu-satunya
yang beragama Kristen di sekolah. Entah sadar atau tidak, beberapa teman kerap
mengata-ngatai saya, kalau mati akan disalib, kalau mati akan jadi babi dan
seterusnya. Olok-olok yang jelas membuat saya tidak nyaman dan beberapa kali
pernah berpikir untuk minta pindah sekolah.
Di sebelah rumah saya, ada
beberapa janda tua dengan rumah besar, kelak saya tahu bahwa mbah-mbah kakung
yang tidak saya kenal itu ternyata diasingkan ke pulau Buru karena dianggap
tersangkut dengan PKI. Tak jauh dari rumah saya, ada seorang pemuda yang pintar
kimia dan seni patung, tapi menganggur. Ternyata dia tak bisa bekerja karena
‘tidak bersih lingkungan’, ayahnya tersangkut dengan PKI. Kakaknya berhasil
menduduki jabatan cukup tinggi di pemerintahan ternyata mesti rela untuk ‘tidak
mengakui’ orang tuanya dan mendaftar sebagai anak orang lain.
Segenap pengalaman itu membuat
sejak kecil saya menemukan bahwa ada banyak kebencian tanpa alasan. Kebencian
yang tak hanya membuat perasaan tidak nyaman semata, melainkan juga kebencian
yang cenderung ‘membunuh’ mereka-mereka yang tidak bersangkut paut sama sekali.
Kesemuanya membuat sejak dini
saya berusaha menghadapi kebencian yang tidak beralasan bukan dengan kebencian.
Saya sejak kecil adalah Kristen tapi saya hidup dalam lingkungan Islam, mulai
dari keluarga paling dekat. Kakek nenek saya dari bapak maupun ibu adalah
Islam, saudara-saudara bapak dan ibu sebagian besar adalah Islam, dan tetangga
saya, kanan-kiri, muka –belakang adalah Islam. Dalam hubungan dengan keluarga
dan tetangga dekat saya tak menemukan masalah. Tetangga sebelah saya, Mbah Kaji
(Haji), rajin mengingatkan saya apabila saya tidak pergi sekolah minggu dan ke
gereja. Pada hari raya bahkan keluarga sayalah yang pertama diberi hantaran.
Setiap bulan puasa, saya juga selalu mendapat kiriman kolak dan sebagainya.
Dalam banyak hal justru Mbah Kaji – lah yang merupakan ‘saudara’ terdekat dari
keluarga saya.
Ketika saya membenci Cina di saat
sekolah SMP, ternyata saya justru menemukan kebanyakan teman yang baik kepada
saya adalah orang Cina. Saya bukan hanya berteman dengan mereka melainkan juga
dengan keluarganya. Pengalaman yang kemudian membuat saya tak mudah untuk
kembali jatuh ke dalam pengambaran yang salah terhadap orang atau kelompok
lainnya.
Saya menyadari ketika jaman saya
kecil dulu, kebencian tanpa alasan masih bisa dimaklumi sebab sistem informasi
dan komunikasi belumlah secanggih dan terbuka seperti sekarang ini. Maka kurang
pergaulan dan kurang pengetahuan kerap kali menjadi penyebab dari timbulnya
benci tanpa alasan.
Apa yang menjadi pengetahuan adalah informasi-informasi
yang tersebar dari mulut ke mulut dan cenderung bias. Ketidakseimbangan
informasi membuat munculnya stigma dan stereotype-steretype pada kelompok
tertentu. Padahal pelit, tertutup, jorok, gampangan, tukang sogok, sombong dan
sebagainya ternyata bukanlah sikap kelompok melainkan orang per orang, sehingga
bisa mengenai siapa dan kelompok mana saja. Generalisasi tidak mungkin
dilakukan untuk semua kelompok menyangkut sikap dan perilaku.
Sayang perkembangan dunia
informasi, komunikasi dan transportasi tidak dengan sendirinya menghapus modus
‘kebencian tanpa alasan’. Dalam masa ini ternyata masih saja banyak orang dan
kelompok yang ‘pede’ mengumbar pengetahuan yang sesungguhnya tidak benar dan
bias. Bahkan muncul gerakan-gerakan kebencian tanpa alasan secara terbuka dan
beraksi dengan kekerasan di ruang publik. Dan lagi-lagi kelompok bangsa, suku
maupun agama tertentu terus menjadi korbannya.
Benar bahwa pengetahuan ternyata
tidak selalu merubah perilaku. Kita kerap tidak mau meninggalkan pengetahuan
yang lama dan jelas salah untuk kemudian menganti dengan pemahaman baru yang
lebih benar. Dan bagi saya sikap seperti ini, meski kita hidup di jaman yang
penuh kemajuan tapi kita tetap berlaku tak lebih baik dari keledai. Sebab konon
keledai tak akan jatuh dalam lubang yang sama, dan apakah sebutan yang layak
untuk kita, yang justru terus menerus secara sengaja menjebloskan diri dalam
lubang yang sama.
Pondok Wiraguna, 22 September 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar