Puisi Esai : Ziarah Tanpa Ujung

Senin, 07 Januari 2013


“Dulu air sungai ini jernih sekali,
dasar sungai dan ikan di dalamnya kelihatan dari sini.”.
Diarahkannya pandang ke batang sungai Berambai.
Amai Pesuhu[1] membabar kilas kisah hidupnya.

Batang kayu jembatan kian rapuh dimakan usia.
Berderit menyangga tubuh yang  makin  renta.
20 tahun sudah mengolah belukar ini.
Jalan dari Apokayan[2] hingga Berambai masih terus bergelombang.

Terbayang kala susah hidup disana.
Lamin mulai ditinggalkan karena pesan pembangunan.
Desa jadi sepi, harga-harga melambung tinggi.
Anak muda malu kalah gengsi.

Hanya besi bersayap yang singgah berkala.
Tiada jalan merayap di daratan.
Anak sungai mengular diantara rimbunan hutan.
Perlu berhari-hari hanya untuk sebongkah garam.

Dari Apokayan, semua berpencar.
Ada yang hingga Malaysia.
Ada tersinggah  Kutai Kartanegara.
Ada pula yang mencapai Samarinda.

Bukan hanya hitungan hari.
Bulan bahkan mencapai tahun.
Kaki terus melangkah.
Kanak dan tetua dibawa dalam pikulan.

Di beberapa tepian.
Kami bangun penyinggahan.
Berburu dan berladang sementara.
Menabung tenaga dan semangat untuk melangkah ke hilir sana.

Tak selalu mudah bertemu, hidup bersama orang lain.
Orang hutan itu sebutan kami.
Ada cerita dusta kalau kami berekor.
Gemar memuja roh-roh di pepohonan.

Mereka bilang kami kafir,
hanya karena tak menyebut-nyebut nama Tuhan.
Mereka bilang kami kafir,
hanya karena kami tak mempunyai kitab suci.[3]

Siapa bilang kami tak berjunjungan?.
Siapa bilang kami tak punya ajaran suci?.
Siapa bilang kami tak mempercayai dunia atas?.
Mengapa kami disebut animis primitif?[4].

Tiada benar kami memuja pohon.
Tiada benar kami percaya kekuatan batu.
Sejatinya hutan dan seisinya kami hormati.
Kami jaga selayaknya sebuah harga diri.

Hutan perlambang kehidupan.
Swalayan, supermarket penyedia segala kebutuhan.
Pohon tiada ditebang tanpa alasan kuat.
Ladang tak dipaksa terus menerus menghasilkan panen.

Bumi perlu sesekali istirahat.
Memulihkan duka dan luka.
Membiarkan apapun tumbuh diatasnya bebas.
Ladang berpindah[5], itu cara menghormati bumi.

Atas nama pembangunan.
Demi langkah mengejar kemajuan.
Modernisasi.
Mengejar ketertinggalan dari luar negeri.

Demi mengejar impian kemajuan.
Modernitas.
Sejahtera.
Keluar berpencar.

Mendekat kota.
Bukankah di kota semua kebutuhan lebih mudah didapat?.
Tapi sebenarnya kota tetap selalu jauh disana.
Di pinggiran dalam kami berlabuh.

Tetap kami masih dipandang udik.
Tetap kami disebut masyarakat terpencil.
Tanpa jalan aspal.
Tanpa angkutan umum.

Obyek dan bukan subyek.
Di agama kan.
Disatukan dalam sebuah pemukiman.
Dan hutan yang kami tinggalkan dibagi-bagi untuk pemegang HPH[6].

Bukan hanya tanah dan hutan yang hilang.
Kebudayaan fisik pun dihabisi.
Tatto dipandang sebagai budaya preman.
Telinga panjang diolok-olok sebagai sebuah keanehan.

Habis sudah harga diri.
Simbol dan artefak kebudayaan dirampas tangan penguasa.
Menghias gedung dan fasilitas kebanggaan kota.
Entah menjadi milik siapa?[7].

Kami adalah penanda tanah ini.
Identitas, jatidiri dan wajah nan tersurat.
Namun adab sesungguhnya telah mati.
Kami bahkan tak lagi memiliki diri kami sendiri.

Dari tanah terpencil , kemudian berdiam di tanah pinggir.
Memandang dari jauh hinggar binggar kota.
Pekik derita dan nestapa,
Tertelan dalam senyap kejauhan, makin pudar oleh deru pengeruk batubara.

Tahun 1990, rombongan 36 keluarga tiba.
Disambut belukar dan pokok-pokok tinggi.
Yang punya ngijin kami membuka belukarnya.
Ujar Amai Pesuhu mengingat kembali saat itu.

Hidup indah terbayang di mata.
Air berlimpah, tanah subur, sungai penuh dengan ikan.
Keberkahan terus tiba.
Tanah dan ladang diberi selembar tanda kepemilikan.

Dusun Berambai, menjadi bagian Bukit Pariaman.
Urusan semakin mudah.
Tak perlu bersampan dan berjalan kaki.
Demi selembar kertas bercap di Separi.

Pokok coklat tumbuh menantang langit.
Bunga mekar berbuah padat.
Panenan demi panenan.
Hidup kian tertata.

Tak ada angin tak ada hujan.
Buldozer membuka jalanan.
Lebar dan panjang perlambang keterbukaan.
Namun ternyata adalah petaka[8].

Tanah kami masuk konsesi tambang besar.
Amai menghela nafas panjang.
Hidup perlahan terancam.
Sungai kian coklat tanda pelumpuran.

Gemericik air dan lalu lalang ketinting,
Kicau dan kepak burung,
hilang terbuang.
Berganti deru pengangkut raksasa yang selalu bergegas.

Kebun kami terbelah.
Satu di sisi kanan.
Satu disisi kiri.
Debu di kala panas, limpas air lumpur di kala hujan.

Berpacu dengan waktu.
Kami ingin terus bertanam.
Perusahaan ingin segera menggali.
Kami harus bertahan.

Ke kebun kami ingin berladang.
Berarak membawa cangkul dan parang.
Mereka mengira kami hendak menghadang dan menghalang.
Se-peleton aparat bersenjata datang meradang.

Kami diam tak melawan.
Hanya sekedar mempertahankan tanah kami.
Kami ditangkapi.
Dikriminalisasi karena menghalang-halangi investasi.

Bermalam kami di balik jeruji[9].
Serasa mati berdiri.
Ancaman pasal demi pasal sungguh menakutkan.
Tak pernah kami berurusan dengan aparat yang tak ramah.

Sendiri.
Tak tahu pada siapa dan kemana mesti bersandar.
Banyak organisasi dan lembaga yang bervisi membela.
Hanya tiada yang datang menemani, mendampingi kami.

Aparat dan hukum jelas menakutkan.
Apalagi ditopang mesin investasi.
Uang dan kuasa mereka punya.
Penguasa membela dan berdiri di belakangnya.

Perusahaan kerap bernama,
Jaya, Sejahtera, Prima, Lestari juga Abadi.
Nama indah dan mulia,
Berpondasi nista, duka dan celaka bagi kami.

Otonomi dan reformasi hanyalah janji indah.
Kemandirian masyarakat lokal hanyalah candu.
Kami terpuruk di tanah sendiri.
Dalam iklim demokrasi berbaju reformasi.

Di mana keterbukaan?.
Kalau investasi datang dan ditentukan diam-diam?.
Bukan maling tapi perampok besar.
Menyingkirkan kami terang-terangan.

Dimana partisipasi.
Dimana kami bisa menentukan apa yang baik bagi kami.
Jika kemudian hanya karena selembar kertas,
mereka bisa seenaknya merusak dan merampas bumi kami.

Sudahlah kami yang tua ini.
Bagaimana dengan anak-anak dan cucu kami.
Lihatlah sekolah kosong, guru tak sudi lagi tinggal disini.
Rumah-rumah mulai dibiarkan, sebagian sudah berpindah.

Andai kami menyingkir dari sini.
Lagi..lagi kami akan kalah.
Berpindah dan terus berpindah.
Sampai kapan akan berakhir?.

Ini tanah kami, ladang kehidupan untuk masa depan.
Berlawan bukan tanda tak taat pada negara.
Ada hak kami tertulis diatas tanah ini.
Kalau bukan kami yang menjaga dan menghormatinya, lalu siapa lagi?.

Ditatapnya air sungai yang kian coklat.
Ikan hilang.
Perahu karam.
“Kulit gatal..tumbuh kudis kalau mandi disitu”, keluhnya dalam.

Sebenarnya hidup semakin sulit.
Jangankan menabung, makan hari ini saja belum tentu ada.
Dusun semakin muram.
Tiang-tiang lamin tak jadi dibangun berhias ilalang.

Sakit, sunyi, sendiri.
Biarlah duka ini tersimpan dalam di hati.
Tak ingin kami ribut,
apalagi mengamuk , bakar membakar, membabi buta.

Meski hati berontak.
Raga tersiksa.
Pikiran tak lagi tenang.
Tak sedikitpun makar terbersit.

Tak butuh lebih.
Cukup hargai, akui dan hormati hak kami.
Beri kami kepastian.
Bukan terombang-ambing dalam pusaran.

Amai duduk termenung.
Disenandungkan sebuah tembang.
Kita harus tetap bersatu,
meski berat beban yang harus dipikul.

Angkatlah ..angkat..biarpun berat.
Hanya inilah yang tersisa.
Jika ingin tetap bertahan dan menang.
Tak lagi mengayun kaki kelana.

Amai duduk termenung.
Riuh celoteh cucunya.
Memanjat-manjat pohon,
melompat ke batang air sungai.

Sebentar lagi mereka akan pergi.
Tak mungkin menuntut ilmu disini.
Meski sebenarnya tak tega,
membiarkan mereka pergi keluar sana.

Amai duduk tersenyum.
Cucunya datang membawai setangkai Ihai.
Buat manis yang masih tersisa.
Meski tinggal di pucuk tingginya.

Amai duduk tersenyum.
Cucunya masih bisa menari.
Bahkan ikut delegasi seni hingga luar negeri.
Walau budaya kini jadi komoditi.

Amai duduk tersenyum.
Masih terdengar bunyi lesung.
Alu berpadu.
Emping beris ketan penawar rindu.

Tinggal sedikit, selesailah kami.
Amai tak berniat tenggelam dalam keluh.
Tak bakal lagi ada yang bisa memahat.
Tak ada lagi yang menganyam Anjat.

Bocah-bocah itu lebih suka bermain gitar.
Ketimbang memetik Sampeg.
Bocah-bocah itu lebih suka bermain handphone.
Dari pada mengayun parang dan cangkul.

Bocah-bocah itu tak lagi tahu Balian.
Dedaunan bukan lagi obat.
Akar-akar tak lagi diseduh menambah semangat.
Pupur mengantikan lulur di wajah gadis-gadis.

Perubahan tak mesti harus ditolak.
Karena perubahan adalah keniscayaan.
Namun semua mesti dilandasi atas kesadaran.
Bukan dirampas dari genggam tangan.

Terlalu lama hidup kami ditentukan orang dan kekuasaan.
Amai tegas mengambil kesimpulan.
Dalam usianya yang kian senja.
Amai memutuskan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Kebun umat, itu masa depan kami.
Berkumpul, bersekutu untuk bahu membahu.
Mengerjakan ladang kehidupan.
Memutuskan untuk tak lagi menyingkir.

Nyanyian Amai semakin perlahan.
Bocah-bocah lelah dalam peraduan.
Gelap mulai menyergap.
Desing dan kepak nyamuk keras  berirama.

Dua puluh tahun telah lewat.
Berambai semakin kusam.
Amai berniat dalam tekad.
Ini adalah tanah terakhir, persinggahan paripurna.

Samarinda, 24 Juni 2012. Pondok Batu Lumpang
@yustinus_esha


[1] Amai Pesuhu (71 tahun), salah satu tetua kampung Berambai, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara. Tahun 1990 bersama 36 kepala keluarga lainnya datang ke Berambai setelah bermukim di berbagai tempat. Salah satunya adalah lokasi proyek respen (resetlement penduduk) di Data Bilang.
[2] Wilayah Apokayan masuk di Kabupaten Bulungan. Dalam laporan majalah Tempo (24 Mei 1984) dengan judul ‘Desa-Desa Makin Sepi’ diungkapkan tentang fenomena perpindahan, migrasi penduduk keluar dari Kayan secara bergelombang, keluar dari sana menuju Kutai Kartanegara, Samarinda bahkan hingga ke Malaysia.
[3] Van Linden, seorang Antropolog Belanda pernah mengatakan bahwa nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Senada dengan itu Magenda (1991) melukiskan betapa orang Dayak selama berabad-abad mengalami marjinalisasi dalam skala yang massif baik oleh kekuatan politik kolonial, nasional dan lokal.Citra populer sebagai kelompok yang ‘terkebelakang, primitif dan liar’ semakin memperparah marjinalisasi yang mereka derita.
[4] Setelah peristiwa G 30 S/PKI, Suku Dayak menjadi obyek untuk diagamakan. Mereka harus memilih untuk menganut agama resmi yang diakui negara, entah itu Muslim atau Kristen. Sekelompok masyarakat Dayak di wilayah Kalimantan Tengah tetap berupaya menjadikan kepercayaan adat mereka menjadi agama, namun tak berhasil. Hingga kemudian mereka menyebut diri sebagai penganut Agama Hindu (Kaharingan) dengan Panuturan sebagai kitabnya.
[5] Perladangan berpindah adalah salah satu cara masyarakat Dayak dalam menjaga daya dukung tanah (natural resources management). Mereka berladang secara alamiah sehingga penting untuk menjaga kesuburan alami tanah. Dengan berpindah mereka melakukan jeda tanam atas ladang mereka untuk kembali memulihkan kesuburan alamiahnya. Namun perladangan ini menjadi tidak populer karena dianggap memicu kebakaran hutan. Sistem ini juga tidak cocok dengan sistem kepemilikan individual dan menyulitkan pemberian hak penguasaan hutan kepada investor.
[6] Di masa orde baru masyarakat Dayak yang hidup dalam lamin (rumah panjang-rumah komunal) di beri rumah-rumah individual dan warga dalam berbagai Lamin disatukan dalam satu wilayah administratif (re grouping desa), serta diberi ladang menetap (seperti transmigran). Proyek ini mengeluarkan mereka dari wilayah hutan yang secara tradisional mereka kuasai. Hutan yang ditinggalkan kemudia dibagi-bagikan kepada para pemegang HPH untuk mengolahnya menjadi industri kayu.
[7] Artefak atau simbol-simbol kebudayaan Dayak (ragam hias, lamin,blawing) secara mencolok bisa ditemui dalam berbagai gedung dan fasilitas umum di Kalimantan Timur. Seolah warna kebudayaan Dayak sangat menonjol. Namun sesungguhnya semua hanya dalam bentuk benda-benda mati. Kebijakan yang berpihak pada kebudayaan yang hidup sangat tidak komprehensif. Warga dan kebudayaan Dayak terus menjadi obyek pembangunan terutama wisata.
[8] Wilayah dusun Berambai dan ladang mereka terkepung oleh lahan konsensi perusahaan tambang PT. Mahakam Sumber Jaya. Untuk masuk dusun berambai harus melalui jalan hauling yang selain berdebu juga berbahaya karena lalu lalang dump truk pengangkut batubara. Dusun ini seperti dusun terpencil, tanpa akses jalan masuk, tidak dialiri aliran listrik dan tak ada angkutan umum ke sana. Padahal jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara.
[9] Aksi damai warga dusun Berambai berakhir dengan penangkapan sebagaian warga. Mereka dikriminalisasi dan hingga kini beberapa diantaranya berstatus sebagai tersangka. Mesti tidak ditahan tetapi mereka dikenai wajib lapor. Dan ini sungguh memberatkan karena mereka harus rutin bolak-balik ke Tenggarong yang tentu saja memerlukan biaya besar untuk ongkos kendaraan.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum