#SayaJurnalisbukanPencariIklan
Surat terbuka seorang kawan.
Siang ini saya membaca surat
terbuka yang ditulis seorang kawan untuk pabrik berita tempat dimana dia dulu
bekerja. Dalam surat itu dia menuliskan alasan harus meninggalkan (keluar) dari
tempat kerja yang sangat dicintai lantara praktek kerja yang menciderai prinsip
dasar dari kerja produksi berita. “Saya Jurnalis bukan Pencari Iklan” demikian
dia menjuduli surat terbukanya.
Surat itu sesungguhnya berisi
pergulatan dari seseorang yang mencoba mempertahankan filosofi kerja seorang
jurnalis. Jurnalis adalah pemburu berita, mencari dan menulis apa yang perlu
diberitakan dan dibutuhkan oleh konsumen berita. Sebuah pekerjaan yang sebenarnya
kian sulit saat ini ketika kantor berita dan media-media tumbuh menjadi
industri untuk menghasilkan laba.
Pada industri media yang sudah
mapan, barangkali reporter atau jurnalisnya bisa berkonsentrasi penuh untuk menghasilkan
berita terbaik, berita yang sesuai dengan proyeksi pemberitaan tanpa dicampuri
urusan untuk ikut ‘menghidupi’ perusahaan. Tapi jumlahnya tak banyak.
Kebanyakan media masih
menempatkan awak pemberitaan dengan tugas-tugas tambahan yang bahkan kemudian
menjadi tugas utama, yaitu mencari ‘klien’ pemasang berita dengan bayaran atau
barter pembelian (koran atau majalah). Bukan rahasia lagi kalau banyak media
hidup karena halaman (air time) kontrak. Yang semestinya diperlakukan sebagai
halaman advetorial, namun karena rutin maka tak lagi ada ‘pagar api’. Halaman advetorial
diperlakukan sama dengan pemberitaan biasa.
Lalu apa bedanya jurnalis dengan
marketing kalau demikian, gugat kawan yang menulis surat terbuka tadi.
Perusahaan justru memakai jurnalis untuk sekaligus bertindak sebagai marketing
karena posisi jurnalis lebih menguntungkan dihadapan calon klien. Jurnalis bisa
mempunyai daya tawar, posisi yang menekan dan kelebihan lainnya dibandingkan
dengan marketing biasa. Memberdayakan jurnalis sebagai pencari iklan ibarat
satu kali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Dalam pengelolaan perusahaan atau
usaha praktek semacam ini bisa dianggap sebagai efisiensi, baik dari sisi
keuangan maupun jumlah personel. Namun dari sisi filosofis dan etika
jurnalisme, praktek ini adalah pengingkaran terhadap martabat dan kerja seorang
jurnalis. Jurnalis sebagaimana guru, pengajar, dokter, ulama adalah profesi
yang berdasarkan panggilan, pengabdian untuk meningkatkan martabat dan harkat
manusia, bukan untuk mengeruk keuntungan, menjadi mesin dalam sebuah organisasi
atau perusahaan.
Kreatifitas kerja seorang
jurnalis bukan pada menghasilkan berita yang memberi pemasukan bagi perusahaan
secara langsung, melainkan berita yang membuat orang loyal (konsumen media) dan
akan terus mengakses pemberitaan. Loyalitas konsumen media pada gilirannya akan
meningkatkan oplah dan potensi atau daya tawar media untuk para pemasang iklan.
Jadi jurnalis bukanlah pencari iklan, melainkan lewat kerjanya membuat media
menjadi terpercaya sehingga akan jadi pilihan pembaca juga pemasang iklan.
Maka saya memahami kegelisahan
kawan yang akhirnya lebih memilih keluar dari pabrik berita tempatnya bekerja. Yang
meski disesali karena keluar tidak dalam keadaan ‘baik-baik’ namun tentu saja
akan melegakan dirinya, tidak membuat dirinya berada dalam persimpangan,
pertentangan batin setiap hari. Apahalnya yang membuat sebuah badan usaha
menilai kinerja jurnalis yang salah satunya adalah berdasar pada berapa income
yang dihasilkan olehnya dari pemasang iklan dan berita?.
Padahal para awak
media, mulai dari level teratas hingga ke bawah pasti akan paham kalau jurnalis
tidak boleh diintervensi dan dibebani kerja-kerja yang tak ada kaitannya dengan
profesinya sebagai pencari dan penulis berita.
Saya yakin yang berada dalam
persimpangan bukan hanya kawan saya tadi melainkan banyak juga
jurnalis-jurnalis lainnya. Banyak orang menyuarakan kebenaran, mengenali
ketidakbenaran namun ketika mempunyai dampak membahayakan karir, masa depan,
pendapatan dan hal-hal lainnya maka lebih memilih untuk diam, menyimpan dalam
hati, bergunjing di belakang sambil berharap keadaan akan berubah. Namun jika
tidak perlahan-lahan mereka akan melakukan pemakluman, mencari alasan
pembenaran untuk larut di dalamnya.
Namun kawan saya ini tidak
memilih untuk diam, melainkan bersuara dan bertindak. Ketika semua yang
disuarakan tidak mendapat tanggapan dan keadaan masih bertahan pada posisi yang
menurutnya tidak sesuai, maka dia memilih untuk keluar. Keluar agar tidak
menjadi bagian dari praktek yang menciderai nilai-nilai luhur dari profesinya.
Menjaga integritas memang bukan
pekerjaan dan perjuangan yang mudah. Kukuh mempertahankan integritas banyak
kali bermakna kita harus siap terpental dan bukan dikenang sebagai pemenang. Tapi
integritas memang bukan soal menang atau kalah, melainkan berjalan dalam
keselarasan antara nilai dan tindakan. Integritas tidak dikenali oleh orang
lain melainkan pertama-tama oleh dirinya sendiri. Dan sesungguhnya banyak orang
‘kecil’ kukuh mempertahankan dan menjaga integritas dirinya tanpa harus
memasang baliho besar dan berkoar-koar tentang pakta integritas.
Pondok Wiraguna, 10 Januari 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar