Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (15)

Minggu, 16 September 2012


Tata Ruang dan Tata Laku

Salah satu proses penentuan yang maha melelahkan adalah soal tata ruang. Tarik menarik dalam persoalan ruang memang begitu rumit. Ruang bukanlah lahan kosong dan kering, melainkan tempat dimana berbagai kepentingan yang bisa jadi berlawanan bertarung untuk merebut penguasaannya. Ruang itu sendiri tidak selalu bermakna tunggal, sebab ada ruang ekonomi, politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Dalam ruang yang sama semua aspek ini harus dijalankan dan terkadang yang satu mengalahkan yang lainnya.

Benar adanya pernyataan yang menyebutkan bahwa tata ruang itu penting, namun yang jauh lebih penting adalah tata laku di baliknya. Dalam banyak kasus RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) lebih mencerminkan kepentingan ‘ku’. ‘Ku’ disini merujuk pada tata laku atau kepentingan penguasa dan pengusaha. Ruang yang adalah wilayah publik dibagi-bagi secara ‘sembunyi-sembunyi’ dalam ruang-ruang lobby yang tertutup. Kepentingan yang bisa jadi sesaat dibungkus dengan slogan-slogan pembangunan yang seolah bervisi jangka panjang dan lestari.

Tak mengherankan jika kemudian tata ruang tak seiring sejalan dengan kebutuhan masyarakat banyak karena mengacu pada tata laku kelompok tertentu. Banyak pembangunan yang seolah megah tapi tak berguna. Apa urusannya jika kemudian ada jembatan tapi tak ada jalan, ada terminal tapi tak pernah disinggahi oleh kendaraan dan penumpang, ada stadion besar dan megah tapi hanya menjadi tempat kambing merumput.

Tak sulit untuk melihat dan menemukan kesia-siaan dalam ruang publik karena kebijakan tata ruang yang lebih didasarkan pada pengembangan proyek-proyek untuk mengemukkan kantong para pihak yang ber-kong ka li kong. Taman kota disayembarakan, kemudian dibangun tidak berdasarkan desain pemenangnya, alhasil apa yang dimaksudkan sebagai sarana memperindah kota, menjadi tempat warga melepas lelah, mencari angin segar, malah menjadi sarana asyik mahsyuk di malam hari. Perilaku pembangunan yang lepas dari tata nilai, membuat apa yang dimaksudkan sebagai hiasan, solek keindahan kota justru berakhir menjadi persoalan baru. Apa yang dibangun diatas persoalan sebaik apapun tetap akan kembali menjadi persoalan baru.

Ruang adalah cermin dari penguasa dan masyarakatnya. Adab yang dibangun dari ruang merupakan penanda siapakah yang meninggalinya dan bagaimana tata lakunya. Ketika ruang hanya dipahami sebagai pertempuran kepentingan, tempat membangun penanda bagi kenangan kekuasaan, maka akan abai pada aspek lain. Ruang sebagai kepentingan tidak berada dalam tempat yang hampa, ruang berada dalam sebuah lingkungan yang juga mempunyai kebutuhannya sendiri. Bukan hanya masyarakat (manusia), bukan hanya institusi tetapi alam itu sendiri yang butuh keseimbangan agar bisa mengabdikan sumberdayanya bagi kepentingan manusia.

Rencana tata ruang dan wilayah, semakin hari kerap semakin abai pada kepentingan ‘planet bumi’. Dokumen tata ruang selalu dihiasi dengan alih fungsi lahan, mengerus ruang-ruang perlindungan, mengerus ruang preservasi, ruang cadangan yang seharusnya disimpan untuk generasi yang akan lahir jauh ke depan.

Nafsu untuk mengeruk, menghabisi apa yang ada sebesar-besarnya hari ini melahirkan rencana-rencana pembangunan yang ibarat bangunan besar nan mewah tapi hampa. Hampa karena menyingkirkan dan mengusur elemen-elemen yang lemah, yang tidak bisa bersuara, yang hanya mengantungkan pada kebaikan penguasa dan pengusaha.

Tak heran jika kemudian rencana tata ruang yang menjadi fondasi pembangunan ke depan semakin jauh dari kebutuhan masyarakat, tak mempunyai daya tarik bagi warga kebanyakan karena hanya mencerminkan nilai material yang hanya bisa diakses oleh kelompok yang terbatas. Kelompok yang bisa ikut memainkan peran dalam proyek pembangunan, mengutip fee dan menunggu bocoran-bocoran.

Materialisasi mengeser nilai-nilai yang terkandung dalam tata ruang, sebagai sarana manusia dan sesamanya serta mahkluk lain ‘bertemu’ dalam konteks kehidupan bersama yang saling dukung. Apa artinya pelabuhan samudera nan megah, lapangan terbang berstandar internasiona, perkebunan nan maha luas jika kemudian itu hanya menjadi ‘etalase keponggahan’ dari segelintir pengambil untung yang tega menyingkirkan kepentingan masyarakat banyak. Kebesaran dan kemegahan pembangunan banyak kali hanyalah cermin dari panjangnya janji politik yang tak ditepati, penyelewengan mandat.

Jika dibalik rencana tata ruang tersembunyi politik kepentingan untuk menopang jabatan, mengejar kekuasaan, persekongkolan jahat maka bukannya rencana pembangunan yang tersaji melainkan rencana penghancuran. Penghancuran yang mulai dari riak kecil yang semakin lama semakin bergelombang dan mungkin akan berakhir dengan Tsunami kehancuran peradaban. Masih ada waktu untuk menunda atau bahkan mencegah Tsunami dengan secara terbuka dan jujur membahas Rencana Tata Ruang dan Wilayah kita.

Pondok Wiraguna, 13 September 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum