Tata Ruang dan Tata Laku
Salah satu proses penentuan yang maha melelahkan
adalah soal tata ruang. Tarik menarik dalam persoalan ruang memang begitu
rumit. Ruang bukanlah lahan kosong dan kering, melainkan tempat dimana berbagai
kepentingan yang bisa jadi berlawanan bertarung untuk merebut penguasaannya.
Ruang itu sendiri tidak selalu bermakna tunggal, sebab ada ruang ekonomi,
politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Dalam ruang yang sama semua
aspek ini harus dijalankan dan terkadang yang satu mengalahkan yang lainnya.
Benar adanya pernyataan yang menyebutkan bahwa
tata ruang itu penting, namun yang jauh lebih penting adalah tata laku di
baliknya. Dalam banyak kasus RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) lebih
mencerminkan kepentingan ‘ku’. ‘Ku’ disini merujuk pada tata laku atau
kepentingan penguasa dan pengusaha. Ruang yang adalah wilayah publik
dibagi-bagi secara ‘sembunyi-sembunyi’ dalam ruang-ruang lobby yang tertutup.
Kepentingan yang bisa jadi sesaat dibungkus dengan slogan-slogan pembangunan
yang seolah bervisi jangka panjang dan lestari.
Tak mengherankan jika kemudian tata ruang tak
seiring sejalan dengan kebutuhan masyarakat banyak karena mengacu pada tata
laku kelompok tertentu. Banyak pembangunan yang seolah megah tapi tak berguna.
Apa urusannya jika kemudian ada jembatan tapi tak ada jalan, ada terminal tapi
tak pernah disinggahi oleh kendaraan dan penumpang, ada stadion besar dan megah
tapi hanya menjadi tempat kambing merumput.
Tak sulit untuk melihat dan menemukan kesia-siaan
dalam ruang publik karena kebijakan tata ruang yang lebih didasarkan pada
pengembangan proyek-proyek untuk mengemukkan kantong para pihak yang ber-kong
ka li kong. Taman kota disayembarakan, kemudian dibangun tidak berdasarkan
desain pemenangnya, alhasil apa yang dimaksudkan sebagai sarana memperindah
kota, menjadi tempat warga melepas lelah, mencari angin segar, malah menjadi
sarana asyik mahsyuk di malam hari. Perilaku pembangunan yang lepas dari tata
nilai, membuat apa yang dimaksudkan sebagai hiasan, solek keindahan kota justru
berakhir menjadi persoalan baru. Apa yang dibangun diatas persoalan sebaik
apapun tetap akan kembali menjadi persoalan baru.
Ruang adalah cermin dari penguasa dan
masyarakatnya. Adab yang dibangun dari ruang merupakan penanda siapakah yang
meninggalinya dan bagaimana tata lakunya. Ketika ruang hanya dipahami sebagai
pertempuran kepentingan, tempat membangun penanda bagi kenangan kekuasaan, maka
akan abai pada aspek lain. Ruang sebagai kepentingan tidak berada dalam tempat
yang hampa, ruang berada dalam sebuah lingkungan yang juga mempunyai
kebutuhannya sendiri. Bukan hanya masyarakat (manusia), bukan hanya institusi
tetapi alam itu sendiri yang butuh keseimbangan agar bisa mengabdikan
sumberdayanya bagi kepentingan manusia.
Rencana tata ruang dan wilayah, semakin hari kerap
semakin abai pada kepentingan ‘planet bumi’. Dokumen tata ruang selalu dihiasi
dengan alih fungsi lahan, mengerus ruang-ruang perlindungan, mengerus ruang
preservasi, ruang cadangan yang seharusnya disimpan untuk generasi yang akan
lahir jauh ke depan.
Nafsu untuk mengeruk, menghabisi apa yang ada
sebesar-besarnya hari ini melahirkan rencana-rencana pembangunan yang ibarat
bangunan besar nan mewah tapi hampa. Hampa karena menyingkirkan dan mengusur
elemen-elemen yang lemah, yang tidak bisa bersuara, yang hanya mengantungkan
pada kebaikan penguasa dan pengusaha.
Tak heran jika kemudian rencana tata ruang yang
menjadi fondasi pembangunan ke depan semakin jauh dari kebutuhan masyarakat,
tak mempunyai daya tarik bagi warga kebanyakan karena hanya mencerminkan nilai
material yang hanya bisa diakses oleh kelompok yang terbatas. Kelompok yang
bisa ikut memainkan peran dalam proyek pembangunan, mengutip fee dan menunggu
bocoran-bocoran.
Materialisasi mengeser nilai-nilai yang terkandung
dalam tata ruang, sebagai sarana manusia dan sesamanya serta mahkluk lain
‘bertemu’ dalam konteks kehidupan bersama yang saling dukung. Apa artinya
pelabuhan samudera nan megah, lapangan terbang berstandar internasiona, perkebunan
nan maha luas jika kemudian itu hanya menjadi ‘etalase keponggahan’ dari
segelintir pengambil untung yang tega menyingkirkan kepentingan masyarakat
banyak. Kebesaran dan kemegahan pembangunan banyak kali hanyalah cermin dari
panjangnya janji politik yang tak ditepati, penyelewengan mandat.
Jika dibalik rencana tata ruang tersembunyi
politik kepentingan untuk menopang jabatan, mengejar kekuasaan, persekongkolan
jahat maka bukannya rencana pembangunan yang tersaji melainkan rencana
penghancuran. Penghancuran yang mulai dari riak kecil yang semakin lama semakin
bergelombang dan mungkin akan berakhir dengan Tsunami kehancuran peradaban.
Masih ada waktu untuk menunda atau bahkan mencegah Tsunami dengan secara
terbuka dan jujur membahas Rencana Tata Ruang dan Wilayah kita.
Pondok Wiraguna,
13 September 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar