Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (14)

Rabu, 12 September 2012

Ada Apa di Balik Palang Merah dan Bulan Sabit Merah

Membincang perlu tidaknya anggota DPR RI melakukan studi banding ke luar negeri kalau tidak hati-hati bisa berakhir dengan caci maki dan sumpah serapah. Sekilas melalui amatan pada pemberitaan media, sebagaian besar kunjungan luar negeri dipandang tidak efektif, tidak tepat sasaran dan cenderung mengkamulfase ‘nafsu pelesir’ dengan alasan melakukan tugas negara.

Persatuan Pelajar Indonesia di luar negeri bahkan secara aktif melakukan pemantauan, dan berkali-kali mereka bisa ‘mempermalukan’ anggota DPR RI yang berkunjung ke negara dimana mereka belajar. Di Australia misalnya, anggota PPI membongkar tentang betapa anggota DPR RI tidak sadar internet terbukti mereka tak tahu alamat email, entah dirinya maupun fraksi, komisi dan seterusnya. Di Perancis, anggota DPR RI lebih mementingkan foto-foto di menara Eiffel dan belanja di butik-butik ternama. Di Belanda, mereka lebih dahulu mengunjungi ‘red light area’.

Konon beberapa kali anggota DPR RI tertangkap basah, mengagendakan kunjungan ke satu negara tertentu, tapi ternyata lebih banyak menghabiskan waktu di negara lainnya. Keberatan lain yang kerap muncul dari PPI adalah kenyataan bahwa beberapa kali kunjungan anggota DPR RI ke suatu negara waktunya tidak tepat yaitu disaat hari libur. Dengan demikian otomatis mereka tidak akan disambut atau ditemui oleh pihak-pihak yang berkompeten.

Saya tidak dalam posisi setuju ataupun tidak pada studi banding anggota DPR RI. Adalah hak dari setiap lembaga, institusi maupun badan pemerintah atau negara untuk menentukan apa yang penting bagi dirinya. Dalam bidang peningkatan kapasitas, studi banding adalah mata kegiatan yang wajar diprogramkan. Studi banding adalah sarana yang cepat dan tepat untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, wawasan yang berguna untuk melakukan pembandingan antara apa yang terjadi di daerah/negara kita dengan hal yang sama di daerah/negara lain.

Pengalaman positif tentang studi banding, saya alami sendiri dalam paruh waktu antara 2006 – 2007, dimana saat itu saya hendak melakukan program KIE untuk penyadaran dan pencegahan HIV/AIDS di kalangan pekerja industri pabrik dan industri hiburan. Karena belum pernah ada yang melakukan kegiatan itu di Sulawesi Utara, maka saya melakukan studi banding ke Holine Surya Surabaya dan Lentera PKBI Yogyakarta. Hasil belajar selama satu minggu di Surabaya dan Yogya kemudian saya rangkum jadi panduan untuk melakukan ‘outreaching’ pada kelompok pekerja pabrik dan pekerja seks komersiil di Kota Manado dan Bitung.

Studi banding itu sangat berguna bagi saya dan teman-teman petugas lapangan untuk melakukan penjangkauan guna melakukan pendidikan dan penyadaran tentang pencegahan penularan HIV/AIDS. Saya kira tujuan studi banding pada kelompok manapun sama saja, dimana hasilnya akan berguna untuk meningkatkan kinerja atau capaian atas kegiatan atau produk yang akan dihasilkan lewat aktivitas dan tanggungjawab yang diembannya.

Anggota DPR RI biasanya melakukan studi banding kala hendak melahirkan UU dalam bidang tertentu. Di sini sering kali muncul persoalan, terutama soal urgensi studi banding itu, muncul gugatan soal penting tidaknya studi banding dilakukan. Bidang yang hendak diatur oleh UU, biasanya bidang yang sudah menjadi kajian banyak pihak, tersedia literatur bahkan ahli-ahli yang mengerti dan kompeten tentang hal itu. Sehingga masukkan atau pemahaman yang lebih dalam tentang materi atau pokok UU bisa didapat dari pihak lain atau tersedia. Ada semacam anggapan bahwa studi banding mesti dilakukan dalam setiap kajian untuk perubahan atau penyusunan UU, dengan demikian studi banding tidak berbasis pada kebutuhan melainkan ‘kebiasaan’.

Persoalan lain, revisi atau pembuatan UU baru, terkesan juga muncul bukan karena kebutuhan, malainkan karena kepentingan politik tertentu. Karena DPR RI salah satu tugasnya adalah membuat UU, maka semacam ada keharusan untuk setiap saat melahirkan UU baru, penting atau tidak penting, diperlukan atau tidak, itu bukan masalah. Kinerja anggota DPR RI dihitung dari jumlah UU yang dihasilkan bukan karena mutu UU. Tak heran jika kemudian muncul banyak UU yang bertentangan dengan Konstitusi atau UU yang bertabrakkan dengan UU lainnya.

Lebih fatal lagi malah muncul UU yang mau menjaga atau melindungi lingkungan hidup misalnya, namun nyatanya malah mendorong percepatan kerusakan lingkungan secara legal. Akhir bulan Agustus dan awal bulan September 2012 ini ramai dibicarakan tentang studi banding anggota DPR RI ke Denmark. Studi banding yang bertujuan untuk menjajagi kemungkinan pengantian logo Palang Merah Indonesia menjadi Bulan Sabit Merah Indonesia. Entah apa urgensi pengantian logo itu.

Apakah benar Palang Merah misalnya merepresentasikan ‘ideologi kelompok tertentu’?. Tentu saja kelompok masyarakat Kristen yang dianggap minoritas di Indonesia. Kalau benar karena hal ini berarti motif dibalik pengantian logo adalah perasaan ‘tidak sreg’ dari segelintir orang saja, atau bahkan salah sangka tanpa alasan. Pertanyaannya apakah Bulan Sabit Merah juga bukan merupakan representasi dari kelompok tertentu?. Ini malah lebih jelas tinimbang Palang Merah. Toh sepanjang berdirinya Palang Merah di Indonesia, pimpinan tertingginya jelas-jelas bukan representasi orang Kristen. Apakah Marie Muhammad dan kemudian Yusuf Kalla diragukan kemuslimannya kala memimpin PMI?.

Saya paham jika kemudian studi banding dalam soal PMI dipersoalkan oleh banyak pihak. Sebab adakah sebelumnya sudah didahului oleh examinasi atau review atau penilaian atas PMI?. Mana eksekutive review, legislative review dan judicative review atasnya?. Kenapa DPR perlu repot-repot berinisiatif untuk studi banding kalau tidak ada kelompok atau lembaga yang mengajukan examinasi tentang PMI di MK. Kalau PMI tidak menabrak kontitusi kenapa mesti diganti?.

Berkali-kali DPR RI dihantam urusan remeh temeh yang kemudian di studi bandingkan, seperti misalnya pramuka yang sampai harus belajar ke Afrika Selatan sana. Pilihan studi banding seperti inilah yang membuat masyarakat sinis pada semua studi banding yang dilakukan DPR RI. Tak heran jika kemudian banyak yang mencari celah-celah yang bisa dipakai untuk ‘mencela’ studi banding itu.

Seperti dalam kasus Denmark, yang beredar justru gambar anggota DPR RI plesiran menyusuri sungai di Denmark. Padahal bisa jadi menyusuri sungai itu penting, sebab di Indonesia banyak sungai yang tidak disusuri. Kalau kemudian DPR RI mampu membuat sungai di Indonesia bisa disusuri seperti di Denmark, Belanda dan Italia maka anggota DPR RI periode berikutnya tak perlu jauh-jauh ke luar negeri sana untuk bersampan dan berperahu di sungai. Dalam soal lambang PMI saya berusaha untuk menyingkirkan kemungkinan ‘sentimen’ agama di balik lambang itu.

Sebab jika memang benar ada sentimen itu maka betapa bodoh dan tololnya kita menafsir seperti itu. Tafsir yang menunjuk bahwa kita masih sangat primitif dalam berurusan dengan Tuhan dan Agama. Kalau persoalan seperti ini dibiarkan dan terus berkembang saya khawatir besok-besok muncul UU tentang Binatang Peliharaan, dimana orang muslim hanya boleh pelihara kucing, sementara yang lainnya boleh memelihara kucing dan juga anjing. Dan jangan-jangan nanti pohon juga dibagi antara pohon muslim dan non muslim. Tapi, sekali lagi semoga semua bukan karena itu, melainkan karena ‘bussines as usual’, urusan UUD alias Ujung-Ujungnya Duit.

Konvensi Geneva mengisyaratkan hanya ada satu pemakaian lambang di tiap negara, entah itu Palang atau Bulan Sabit. Konsekwensinya hanya ada satu yang dibiayai negara. Siapa yang tidak memakai lambang resmi negara harus mencari pembiayaan sendiri. Lambang palang merah resmi dipakai Indonesia sejak tahun 59-nan. Dengan demikian PMI-lah yang selama ini mendapat dukungan pendanaan dari pemerintah entah lewat skema APBN, APBD maupun skema kerjasama G to G lainnya.

Saya tidak tahu persis kapan Bulan Sabit Merah mulai masuk dan ada di Indonesia, namun kemungkinannya setelah PKS berdiri dan kemudian eksistensinya makin terang saat bencana Tsunami di Aceh. Mungkin kini Bulan Sabit Merah kepengurusannya telah ada di semua wilayah Indonesia, bekerja dan mengabdi kepada bangsa serta negara. Namun tidak mendapat dukungan dari negara sehingga barangkali kurang bisa bekerja secara maksimal.

Nah, jika kemudian Palang Merah dilebur menjadi Bulan Sabit Merah maka anggaran negara akan masuk ke Bulan Sabit Merah, dan jadilah Bulan Sabit Merah menjadi organisasi resmi yang benderanya dikibarkan oleh NKRI. Maka jika kemudian inisatif menganti logo PMI berhasil dilakukan, maka sesungguhnya DPR RI telah melakukan ‘pembunuhan sejarah’ pada PMI. PMI sebenarnya ada jauh sebelum Indonesia merdeka, organisasi yang seolah mengusung lambang ‘salib’ itu dari berdiri hingga hari ini tak pernah membeda-beda kan untuk menolong orang, entah agama atau sukunya apa, semua diperlakukan sama.

Organisasi ini seandainya bisa diberi gelar pahlawan, sebenarnya sudah memenuhi syarat, tapi jelas bahwa mereka ada dan bekerja bukan untuk mencari gelar itu. Inisiatif DPR RI dalam soal logo PMI semakin membuktikan bahwa para wakil rakyat tak mampu menentukan prioritas apa yang penting dan tidak penting untuk negara ini. Para wakil rakyat masih cari-cari ‘pekerjaan’ disaat pekerjaan penting masih menumpuk. Saya ingat kata-kata ‘indah’ yang kerap dikutip oleh seorang teman, bahwa kepintaran selalu ada batasnya namun kebodohan tidak.

Nah, soal logo PMI ini menunjukkan bahwa kita terus memelihara kebodohan yang tiada batas itu. Kita bahkan lebih bodoh dari keledai yang tidak akan terperosok dua kali dalam lubang yang sama.

Pondok Wiraguna, 11 September 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum