Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (16)

Minggu, 16 September 2012

Pintar tapi Tak Jujur


Angelina Sondakh dan Miranda S Goeltoem adalah sosok dari sedikit perempuan-perempuan ternama di Indonesia. Keduanya jelas orang yang pintar, cerdas dan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Angie yang masuk ke kancah legislative nasional lewat jalur celebritas menunjukkan kelas tersendiri dibanding celebriti-celebriti lain yang tenggelam ketika masuk dalam jalur politik. Sementara Miranda juga mencatat prestasi yang tak kalah bersinar, dengan menjadi wanita yang mampu mewarnai jajaran tinggi di Bank Indonesia, sebuah prestasi yang sulit untuk ditandingi siapapun.

Dua perempuan luar biasa itu kemudian menjadi bahan pemberitaan bukan karena prestasinya melainkan karena tuduhan telah melakukan tindak pidana korupsi. Saya yakin banyak orang sulit mempercayai kabar itu. Mereka adalah sosok yang tampil hampir sempurna di muka publik, sosialita papan atas yang tentu saja amat hati-hati dalam bertindak. Tapi percaya atau tidak percaya toh KPK telah menetapkan mereka sebagai tersangka.

‘Kesempurnaan’ Angie maupun Miranda kemudian tercoreng. Pintar itu memang penting, tapi jujur tetaplah yang utama. Ternyata di balik ‘kemolekan’ tutur, tingkah laku dan penampilan mereka tersembunyi sebuah laku yang mengejutkan. Angie konon mengatur-atur dan mengawal proyek-proyek yang menguntungkan dirinya lewat kedudukannya di DPR RI. Sementara Miranda yang jelas populer dan tak punya tandingan, ternyata tak cukup percaya diri menahklukkan DPR RI, sehingga membagi-bagi ‘gula-gula’ untuk melicinkan jalan agar dirinya tetap berdiri di jajaran pimpinan BI.

Dan ternyata bukan cuma dua perempuan hebat yang terjerembab, karena ada satu lagi yang menyusul, yaitu Hartati Murdaya Poo. Pengusaha besar, politisi dan elit partai berkuasa di negeri ini. Hartati juga satu-satu pemimpin tertinggi organisasi keagamaan yang jamaknya dikuasai oleh laki-laki. Hartati lewat orang-orang di perusahaannya melakukan kegiatan ‘germo politik’, mendukung salah satu calon untuk bertempur dalam pemilukada dan setelah sang calon menang beroleh imbalan ijin. Dalam kasus Hartati ijin yang diberikan adalah untuk perkebunan sawit.
Angie, Miranda dan Hartati, sama-sama melakukan sebuah ‘Keharusan yang tidak seharusnya’. Inilah anomali negeri ini dimana hal-hal yang sudah seharusnya dilakukan mesti diembel-embeli balas jasa, succsess fee dan sebagainya.

Adalah seharusnya DPR RI menyetujui proyek-proyek penting yang dibutuhkan baik oleh negara maupun masyarakat. Tak usah dengan suntikan apapun, seharusnya proyek akan diloloskan kalau memang perlu dan tidak diloloskan kalau memang tak menjadi prioritas. Mereka yang duduk dalam kelengkapan Dewan memang bekerja untuk itu.

Demikian juga dengan tugas Dewan untuk menguji dan kemudian meloloskan calon pejabat publik. Tentu saja mereka telah melengkapi diri dengan aneka macam kriteria yang dengan mudah akan dilihat dari calon-calon yang harus diuji. Calon-calon pasti bukan orang yang turun begitu saja dari balik atau belakang tanah, karena harus melewati rangkaian seleksi yang ketat sebelum sampai di hadapan para anggota Dewan yang terhormat.

Dalam soal pemilukada juga demikian. Para calon terlibat ijon dengan para sponsor dan donatur politik. Kalau kepemimpinan adalah amanah maka seharusnya prosesnya tak harus dikotori dengan hamburan uang kepada para pemilik suara. Bukankah kepercayaan tak bisa dibeli?.

Tapi nyatanya ‘Keharusan yang tidak seharusnya’ sudah menjadi ayat penting meski tak tertulis. Di DPR jangan proyek pembangunan, rancangan undang-undang yang tidak berbentuk materialpun harus dimaterialkan. Akar dari semua ini adalah kepentingan, kepentingan segelintir dan sekelompok orang yang kemudian dianggap sebagai kepentingan bangsa dan negara.

Proyek yang seolah-olah untuk membangun sumber daya bangsa dan negara tak lebih dan tak bukan lahir dari keinginan sekelompok orang tertentu untuk membesarkan perusahaannya, membesarkan organisasinya untuk kemudian bisa memperkuat tawar menawar dan pengaruh politik. Pengaruh politik ini penting sebab itu merupakan senjata untuk terus mempertahankan ‘keberlanjutan pendapatan’.

“Keharusan yang tidak seharusnya’ sekali lagi adalah jamak di negeri ini. Bukan hanya Angie, Miranda dan Hartati saja yang fasih melakukannya. Semua ini terjadi mulai dari unit terkecil dari tingkat RT sampai tingkat wilayah nasional. Bahkan praktek ini juga terjadi dalam lembaga-lembaga non negara. Terbongkarnya praktek seperti ini tak menyurutkan para pelaku dan calon pelaku untuk mundur teratur.

Maka kita harus selalu siap untuk melihat orang-orang hebat kemudian terjerembab dalam nista. Orang-orang yang kita anggap pintar namun ternyata tak jujur. Dan itu selalu menyedihkan.

Pondok Wiraguna, 15 September 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum