Pintar
tapi Tak Jujur
Angelina Sondakh dan
Miranda S Goeltoem adalah sosok dari sedikit perempuan-perempuan ternama di
Indonesia. Keduanya jelas orang yang pintar, cerdas dan mempunyai kepercayaan
diri yang tinggi. Angie yang masuk ke kancah legislative nasional lewat jalur
celebritas menunjukkan kelas tersendiri dibanding celebriti-celebriti lain yang
tenggelam ketika masuk dalam jalur politik. Sementara Miranda juga mencatat
prestasi yang tak kalah bersinar, dengan menjadi wanita yang mampu mewarnai
jajaran tinggi di Bank Indonesia, sebuah prestasi yang sulit untuk ditandingi
siapapun.
Dua perempuan luar biasa
itu kemudian menjadi bahan pemberitaan bukan karena prestasinya melainkan
karena tuduhan telah melakukan tindak pidana korupsi. Saya yakin banyak orang
sulit mempercayai kabar itu. Mereka adalah sosok yang tampil hampir sempurna di
muka publik, sosialita papan atas yang tentu saja amat hati-hati dalam
bertindak. Tapi percaya atau tidak percaya toh KPK telah menetapkan mereka
sebagai tersangka.
‘Kesempurnaan’ Angie
maupun Miranda kemudian tercoreng. Pintar itu memang penting, tapi jujur
tetaplah yang utama. Ternyata di balik ‘kemolekan’ tutur, tingkah laku dan
penampilan mereka tersembunyi sebuah laku yang mengejutkan. Angie konon
mengatur-atur dan mengawal proyek-proyek yang menguntungkan dirinya lewat
kedudukannya di DPR RI. Sementara Miranda yang jelas populer dan tak punya
tandingan, ternyata tak cukup percaya diri menahklukkan DPR RI, sehingga
membagi-bagi ‘gula-gula’ untuk melicinkan jalan agar dirinya tetap berdiri di
jajaran pimpinan BI.
Dan ternyata bukan cuma
dua perempuan hebat yang terjerembab, karena ada satu lagi yang menyusul, yaitu
Hartati Murdaya Poo. Pengusaha besar, politisi dan elit partai berkuasa di negeri
ini. Hartati juga satu-satu pemimpin tertinggi organisasi keagamaan yang
jamaknya dikuasai oleh laki-laki. Hartati lewat orang-orang di perusahaannya
melakukan kegiatan ‘germo politik’, mendukung salah satu calon untuk bertempur
dalam pemilukada dan setelah sang calon menang beroleh imbalan ijin. Dalam
kasus Hartati ijin yang diberikan adalah untuk perkebunan sawit.
Angie, Miranda dan
Hartati, sama-sama melakukan sebuah ‘Keharusan yang tidak seharusnya’. Inilah
anomali negeri ini dimana hal-hal yang sudah seharusnya dilakukan mesti
diembel-embeli balas jasa, succsess fee dan sebagainya.
Adalah seharusnya DPR RI
menyetujui proyek-proyek penting yang dibutuhkan baik oleh negara maupun
masyarakat. Tak usah dengan suntikan apapun, seharusnya proyek akan diloloskan
kalau memang perlu dan tidak diloloskan kalau memang tak menjadi prioritas.
Mereka yang duduk dalam kelengkapan Dewan memang bekerja untuk itu.
Demikian juga dengan
tugas Dewan untuk menguji dan kemudian meloloskan calon pejabat publik. Tentu
saja mereka telah melengkapi diri dengan aneka macam kriteria yang dengan mudah
akan dilihat dari calon-calon yang harus diuji. Calon-calon pasti bukan orang
yang turun begitu saja dari balik atau belakang tanah, karena harus melewati
rangkaian seleksi yang ketat sebelum sampai di hadapan para anggota Dewan yang
terhormat.
Dalam soal pemilukada
juga demikian. Para calon terlibat ijon dengan para sponsor dan donatur
politik. Kalau kepemimpinan adalah amanah maka seharusnya prosesnya tak harus
dikotori dengan hamburan uang kepada para pemilik suara. Bukankah kepercayaan
tak bisa dibeli?.
Tapi nyatanya ‘Keharusan
yang tidak seharusnya’ sudah menjadi ayat penting meski tak tertulis. Di DPR
jangan proyek pembangunan, rancangan undang-undang yang tidak berbentuk materialpun
harus dimaterialkan. Akar dari semua ini adalah kepentingan, kepentingan
segelintir dan sekelompok orang yang kemudian dianggap sebagai kepentingan
bangsa dan negara.
Proyek yang seolah-olah
untuk membangun sumber daya bangsa dan negara tak lebih dan tak bukan lahir
dari keinginan sekelompok orang tertentu untuk membesarkan perusahaannya,
membesarkan organisasinya untuk kemudian bisa memperkuat tawar menawar dan
pengaruh politik. Pengaruh politik ini penting sebab itu merupakan senjata
untuk terus mempertahankan ‘keberlanjutan pendapatan’.
“Keharusan yang tidak
seharusnya’ sekali lagi adalah jamak di negeri ini. Bukan hanya Angie, Miranda
dan Hartati saja yang fasih melakukannya. Semua ini terjadi mulai dari unit
terkecil dari tingkat RT sampai tingkat wilayah nasional. Bahkan praktek ini
juga terjadi dalam lembaga-lembaga non negara. Terbongkarnya praktek seperti
ini tak menyurutkan para pelaku dan calon pelaku untuk mundur teratur.
Maka kita harus selalu
siap untuk melihat orang-orang hebat kemudian terjerembab dalam nista.
Orang-orang yang kita anggap pintar namun ternyata tak jujur. Dan itu selalu
menyedihkan.
Pondok
Wiraguna, 15 September 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar