Korupsi : Konsumsi vs Produksi
Orang yang kecanduan alkohol akan disebut
alkoholic. Suatu masa saya pernah mengalami hal itu, jika waktu sudah
menunjukkan jam 5 sore dan belum setetespun alkohol melewati tenggorokan dunia
sepertinya terasa kacau. Sekarang saya merasa beruntung karena tinggal di
Samarinda, daerah yang cukup sulit untuk membuat saya kembali menjadi
alkoholic, sebab jenis minuman yang mengandung zat itu tak bebas dijual disini.
Dan kalaupun ada harganyapun akan membuat saya berpikir 13 kali untuk
membelinya.
Untuk urusan alkoholic mungkin Samarinda bisa
menghindari, tapi bagaimana dengan shopoholic aliat gila belanja. Nampaknya
sulit, sebab di Samarinda hal yang paling nampak berkembang luar biasa adalah
pusat-pusat perbelanjaan. Bukan hanya kebutuhan pokok melainkan gadget dan gaya
hidup. Industri gaya hidup dalam bentuk mall, caffee dan tempat-tempat hiburan
berkembang pesat di sini. Masyarakat disini adalah masyarakat konsumsi, rajin
membeli ini dan itu, tak heran disetiap outlet toko-toko elektronik dan motor
selalu ada counter leasing atau kredit turut serta. Kartu kredit pun ditawarkan
seperti balon di pasar malam. Para marketer kartu kredit membujuk-mbujuk orang
untuk berhutang.
Saya ingat cara pandang Pramudya Ananta Toer terhadap
korupsi. Sederhana saja, korupsi adalah hasil dari keadaan kemiskinan produksi. Sebuah daerah
atau bangsa yang rendah produksinya, akan tinggi korupsi. Saya tidak mengkaji
dengan dalam pandangan Pram ini, namun saya merasa teori ini benar adanya.
Contohnya ya di Samarinda, apa produksi yang dihasilkan secara kreatif oleh
masyarakat disini?. Adakah orang-orang yang mempunyai rumah besar, bertingkat
dan sederet mobil serta segepok buku rekening adalah para produsen?.
Orang-orang kaya disini yang kehadirannya sangat kontras itu mendapat kekayaan
dari mana?.
Patut
diduga bahwa mereka yang kaya raya, keren dan mentereng memperoleh harta
bendanya karena menjarah alam dan merampok anggaran negara (daerah). Mereka
tidak berproduksi tapi hanya memanen, tak heran jika kemudian seperti sim
salabim, tak perlu cerita seluk beluk derita langsung menjadi kaya.
Menjadi kaya di daerah yang rendah produksinya
memang mudah, cukup bermodal akses dan mulai ‘memproduksi’ kekayaan dengan
proyek-proyek pembangunan dan setelah itu dilanjutkan dengan ‘proyek
pemeliharaan’ dan lama-lama diteruskan dengan ‘proyek renovasi’ hingga kemudian
kembali pada ‘proyek pembangunan kembali’. Dan disinilah siklus ‘produksi
kekayaan’ akan berkelanjutan.
Dengan demikian ramai proyek pembangunan
sebenarnya tidak bertujuan untuk pembangunan, melainkan sebagai cara ‘mengeruk
uang’ besar secara berjamaah. Tak heran jika rencana pembangunan biasanya
berupa gedung-gedung megah, jembatan panjang, jalan nan lebar dan panjang, polder,
kolam retensi, pelabuhan dan lapangan terbang. Pembangunan yang butuh waktu
bertahun-tahun, terus dijadwal dan dibahas tiap tahun kenaikan harga dan
anggarannya di gedung Dewan.
Urusan kecil-kecil seperti jalan berlubang dan
terkelupas, got mampet, trotoar jebol, devider jalan yang rusak, bus sekolah
yang mogok tak beroperasi, bekas galian ditutup tanah seadanya, jelas tak
menarik hati untuk dikerjakan. Jumlah uang yang masuk kategori
pemeliharaan terlalu kecil. Jadi biarpun
orang jengkel dan ngomel-ngomel, pihak yang bertanggungjawab akan tutup mata
saja, dibiarkan dahulu sampai parah, hingga bisa dianggarkan sebagai
pembangunan ulang. Proyek akan diusulkan jika ‘nilai belanja’-nya besar.
Di sebuah iklan layanan masyarakat yang dibuat
oleh sebuah perusahaan bahan kimia, narator menyebutkan bahwa Bumi Borneo
menyediakan segalanya. Yang dimaksud tentu saja sumberdaya alam yang melimpah
dan punya nilai besar. Tapi coba apa yang terjadi, Bumi Borneo ternyata hanya
bisa ‘mengimpor’ hampir semua
kebutuhannya. Data dari BPS menunjukkan komoditi yang surplus hanyalah daging
ayam dan ubi. Di luar itu harus didatangkan dari luar pulau. Kenapa tidak
mencoba menghasilkan sendiri?. Lagi-lagi tentu saja karena proyek. Mendatangkan
sesuatu dari luar akan membuka peluang bagi ‘oknum-oknum’ tertentu untuk
menarik fee atau komisi dan sebagainya.
Dan kebijakanpun adalah sebuah proyek, maka
membuat daerah ini terus kekurangan daging sapi, sayur, beras, bibit tanaman,
dan seterusnya adalah peluang bagi kebijakan untuk terus mengembangkan proyek
yang berbasis pada ‘kekurangan’. Maka dilakukanlah proyek-proyek pengembangan
yang sebenarnya tak sungguh-sungguh dimaksudkan untuk dicapai outputnya. Yang
dikejar dari proyek adalah inputnya, nilai belanjanya bukan nilai hasil. Dengan
demikian proyek akan berjalan terus dan tujuan utamanya tidak dicapai. Contoh
caranya untuk menghasilkan daging dibuatlah proyek pengemukkan sapi, bukan
pembibitan sehingga menghasilkan sapi sendiri. Jadi begitu sapi gemuk dipotong
dan habis, maka didatangkan lagi sapi-sapi muda dan bujang untuk kembali
digemukkan.
Berkali-kali di lakukan aneka ‘launching’ dan
pencanangan untuk mandiri ini dan itu. Setiap hari besar dijadikan momentum dan
momentum. Momentum terus berulang, niat untuk bangkit, memnuhi kebutuhan
sendiri terus diteriakkan dalam setiap kesempatan. Tapi lagi-lagi itu hanya
‘liur’, niat yang keluar dari mulut pembaca pidato, tapi di hati para
perencananya yang terpikir adalah fee dan komisi. Tak ada niat untuk mandiri,
memenuhi kebutuhannya sendiri, tak ada cita-cita untuk berproduksi, sebab
melakukan produksi itu melelahkan, butuh perjuangan dan keuntungan yang dibagi
tak selalu besar jumlahnya.
Kesimpulannya dalam kata ‘pembangunan’ yang
dimaksud dengan produksi adalah belanja sebesar-besarnya untuk menghasilkan
wujud bangunan semegah-megahnya. Dengan demikian ‘kue’ pembangunan itu bisa
dibagi-bagi rata, komisi, fee, supliernya dan lain-lain. Dengan demikian banyak
orang akan dapat dan kemudian menghabiskan lagi dengan membelanjakannya. Dan
siklus ‘perampokan’ kembali berulang dan berulang.
Pondok
Wiraguna, 16 September 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar