Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (18)

Minggu, 16 September 2012

Demam Baliho

Perubahan sistem politik dari tertutup menjadi terbuka yang ditandai dengan kelahiran banyak partai dan pemilihan secara langsung merubah wajah jalanan di Indonesia. Kini jalanan bukan hanya dihiasi iklan produk atau barang, melainkan foto-foto tokoh tertentu mengumbar senyum kepada siapapun yang lewat di depannya. Sebagian foto-foto itu dikenal oleh masyarakat namun sebagian lain adalah orang asing, bukan tokoh sungguhan melainkan karena menokohkan diri atau ditokoh-tokohkan oleh kelompok tertentu. Tapi siapapun dia, pada intinya jalan raya hari ini dipenuhi wajah tokoh yang doyan nampang dengan segala macam pamrih. Saya beberapa hari yang lalu melewati jembatan Mahakam di sore hari. Tentu saja harus berjalan merayap karena jalanan penuh sesak. Persis di mulut pertigaan ke arah jembatan berjejerlah baliho besar-besar aneka rupa.

Semuanya serempak mengucapkan Selamat Hari Raya Idulfitri bagi siapapun yang lewat di depannya. Ada yang berfoto berdua, yaitu ketua dan wakil, tapi ada juga yang menyertakan rombongan ‘sirkus’ lainnya di baliho. Tapi tak sedikit pula yang tampil sendirian. Mengucapkan selamat kepada masyarakat tentu saja tidak masalah, semakin banyak yang mengucapkan selamat tentu saja rejeki tukang cetak baliho makin baik pula. Di beberapa ruas jalan juga ditemukan baliho memasang wajah tertentu dengan pesan perkenalan bahwa dirinya adalah calon gubernur Kaltim untuk 2013. Dan pemilukada gubernur Kaltim masih satu tahun lagi. Tapi ya sudahlah tidak apa juga, karena kalau jadi calon lalu tidak dikenal masyarakat kan berarti bunuh diri. Maka memperkenalkan diri sejak jauh-jauh hari memang penting. Toh tak mungkin dijerat sebagai mencuri start kampanye, karena pendaftaran untuk calon ke KPUD juga belum dibuka. Lepas dari persoalan estetika dan etika pemanfaatan ruang publik, sesungguhnya baliho-baliho kerap kali menjadi hiburan tersendiri, apalagi jika ‘wajah’ yang dipasang di lembar baliho itu mampu memancing senyum. Tak sedikit dari sekian wajah para tokoh itu yang terlihat lucu bahkan cenderung ganjil. Maaf, entah karena potongan wajahnya yang memang ‘menyedihkan’ dari sononya atau lantaran kostum yang dikenakannya.

Meski menikmati semua pertunjukkan itu, tak bisa dipungkiri suatu saat saya jengkel juga. Terutama jika ada baliho-baliho yang tak ada relevansinya dengan ‘kita’. Seperti baliho sosok tertentu yang akan jadi calon ketua organisasi tertentu yang tak berhubungan dengan masyarakat banyak. Atau untuk jadi ketua organisasi itu dia tak perlu minta ijin atau dukungan dari masyarakat. Jadi tak ada urusan kalo sampai dia harus memasang wajah ramah dengan tangan terkepal di udara dihadapan masyarakat. Kalo diibaratkan barang yang harus dipromosikan maka pemasangan baliho itu adalah promosi yang salah tempat.

Namun ternyata tidak hanya berhenti pada kejengkelan semata, sebab ketika lewat jalan Basuki Rahmat, di pagar salah satu SMP ternama, terpasang baliho besar menghadap jalan. Terpampang tiga pasang foto siswa yang ternyata adalah calon ketua OSIS. Kalimat lain saya tidak hafal, tetapi ada tulisan ‘Pilihlah Yang Amanah’, ‘Gunakan Hak Suara, Jangan Golput’. Lalu ada lambang OSIS dan lambang yang sekilas sama persis dengan KPU namun tertulis Komisi Pemilihan OSIS. Luar biasa, apa coba urusannya memasang baliho itu menghadap ke jalan. Urusan OSIS kan urusan internal. Apa yang mau ditunjukkan ke publik, apakah mau pamer bahwa sistem pedidikan kita sudah demokratis?.

Sekolah yang memasang baliho itu dikenal siswanya pintar-pintar, tentu saja demikian pula dengan gurunya, namun jelas mereka tidak ilmiah. Apa ilmiahnya kalau urusan ketua OSIS mesti dipamerkan ke publik?. Apa ilmiahnya kalau pelajar yang seharusnya diajar tekun belajar malah diajari pamer wajah, didorong-dorong kerajingan selebritas, pasang senyum kepada pemakai jalan yang tidak kenal. Belum lagi, untuk apa sebenarnya pemborosan uang cetak baliho itu. Bukankah dunia pendidikan sering mengeluh kekurangan dana. Jangan-jangan kekurangan itu karena perilaku yang boros, tidak mampu mengelola uang dengan benar.

Dan contohnya jelas, masak untuk pemilihan ketua OSIS mesti mencetak materi promosi yang jelas-jelas tak mendidik. Apa coba yang mau dikatakan oleh baliho itu, jelas baliho tak mengabarkan apa-apa yang relevan bagi kita pengguna jalan. Baliho itu hanya mengambarkan ego para pemasangnya, ego karena kepentingan mereka sendiri dan sialnya mengajak kita yang melewatinya untuk menganggapnya penting juga. Ada banyak persoalan di kota ini yang jauh lebih penting tapi tak disampaikan lewat baliho. Persoalan yang perlu agar masyarakat sadar akan urusan kita bersama, bukan urusan orang per orangan yang dipamerkan dalam baliho-baliho di jalanan.

Pameran kepentingan pribadi nampaknya masih akan terus merajalela. Semua tampil seolah-olah menawarkan kepedulian diri, kebaikan hati, kata indah dengan senyum merekah yang sebenarnya cuma ilusi dalam kehidupan senyatanya. Jadi pikirkan kembali siapapun yang ingin ikut-ikutan memasang baliho, sebab kalau tidak saya akan menganggap wajah anda-anda hanyalah seolah-olah. Seolah-olah baik, seolah-olah peduli, seolah-olah amanah padahal maaf saja, kelakuan anda-anda ini sungguh parah dan tidak ilmiah.

Pondok Wiraguna, 12 September 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum