KAPAN JAMAN AKAN MERDEKA?

Rabu, 07 September 2011


“Jika kau berpikir negeri ini telah merdeka, maka pikirkanlah kembali agar tak kecewa nanti”.

Kata-kata itu terus menyelubungi Burhan yang beberapa hari ini susah tidur di malam hari. Layaknya orang imsonia, setiap malam Burhan berjuang untuk memejamkan matanya. Tapi meski telah berusaha, matanya selalu gagal terpejam, seakan ada batang korek garis menyangga kelopak matanya agar tidak bertemu. Setelah lembar koran habis dibaca dan bosan menatap layar televisi, Burhan duduk diam di sofa yang ada di ruang tamu rumahnya. Namun dalam kegelapan pikirannya justru semakin liar melanglang buana. Apa yang dibaca dan disaksikan kembali berkelebat hingga semakin susah baginya untuk menggapai kantuk.
Aneka peristiwa dan berita justru mengintimidasi perasaan Burhan. Hatinya teriris pilu menyaksikan berbagai sajian berita yang berisi peristiwa-peristiwa nan menyesakkan dada. Silih berganti bumi nusantara ditimpa berbagai laku yang jauh dari cerita keagungannya di masa lalu. Nusantara kini tak seharum mawar dan melati.
“Mengapa semakin hari, semakin busuk buah yang dihasilkan negeri ini. Kenapa Tuhan membiarkan nusantara terpuruk, padahal sebagian besar penduduknya amat rajin memuji dan memuliakan namaNYA”, tanya Burhan dalam hati entah kepada siapa.
“Kenapa, berita membuatmu jadi gundah gulana”, tiba-tiba terdengar suara entah dari mana.
Burhan mencari sumber suara, ditebarkannya pandangan pada sudut-sudut ruangan, tapi tak ada seorangpun disana. Padahal suara itu terang sekali dan posisinya jelas tak jauh dari tempat duduknya. Tapi tak ada siapa-siapa selain diri Burhan sendiri dalam ruangan itu.
“Sudahlah, tak usah kau cari tahu siapa aku. Jawab saja pertanyaanku tadi”, kata suara itu kemudian seperti paham bahwa Burhan tengah mencari-cari dimana asal suara itu.
“Ya tentu saja aku gundah, karena aku adalah bagian dari negeri ini. Negeri yang kucintai dengan sepenuh hati”, jawab Burhan. “Jadi meski aku tak punya tanah, yang bisa dirampas oleh pembangunan atau investasi, bukan berarti aku tak bisa merasakan kesedihan mereka-mereka yang kehilangan tanah tempat gantungan hidupnya”.
“Bukankah itu sebuah kemestian yang harus terjadi. Pemimpinmu rajin mengundang investasi dan investasi apa lagi yang terbaik di negeri ini kalau bukan menggali harta karun yang tersembunyi di perut bumi”.
“Iya… negeri ini memang kaya, tapi kenapa kalau hanya untuk memperkaya diri dan menebalkan kantong pendapatan negeri, harus menggusur mereka-mereka yang hidupnya susah?”, tanya Burhan.
“Wah, aku tak bisa menjawab itu …. Tanya saja pemimpinmu yang gemar mengampangkan sesuatu, tak mau berpikir panjang dan doyannya hanya berurusan dengan masyarakat lemah”.
Burhan tercenung, betapa benar yang dikatakan oleh suara itu. Negeri ini seolah tanpa pemimpin, rakyat ibarat anak tanpa orang tua, anak yatim piatu. Meski bukan lagi jaman perang, banyak orang hidup layaknya pada jaman perang. Harus awas menebar pandangan sebab begitu lenggah sedikit saja barang dagangan bakal hilang disita oleh petugas trantib.
Mereka yang kaya dan punya kekuasaan, dengan mudah mendapat dukungan entah berupa tambahan modal maupun potongan pajak penghasilan. Sementara mereka-mereka yang hartanya terbatas, berjuang untuk mempunyai simpanan selalu diracuni oleh mimpi untuk cepat memperoleh kekayaan, membiakkan uangnya yang tak seberapa. Para pemimpi inilah yang selalu menjadi korban penipuan entah yang berbau investasi serba cepat maupun penggadaan uang dengan asap kemenyan.
“Kenapa kamu terdiam”, tanya suara itu ketika Burhan diam membisu.
“Aku semakin bingung dan tak paham dengan keadaan ini. Sudah 66 tahun negeri ini merdeka tapi betapa sulitnya menemukan arti kemerdekaan itu”, jawab Burhan.
“Kalian itu merdeka dari apa?. Dari penjajahan?”.
“Iya, bukankah penjajah telah lama keluar dari negeri ini, angkat kaki karena kalah dalam peperangan”, jawab Burhan.
“Secara teknis memang begitu, tapi bukankah penjajahan tidak selalu berwajah perang, melainkan juga bisa berwajah dagang, investasi atau bahkan perjanjian antar negeri”.
“Ya, nampaknya memang begitu. Penjajah bersenjata memang telah pergi dari negeri ini. Tapi tak berarti penjajahan telah menghilang. Bahkan kini antar sesama warga negeri juga saling menjajah”, ujar Burhan mengamini pernyataan suara.
“Peradaban negeri ini memang peradaban tipu-tipuan. Yang kaya menipu yang miskin. Yang berkuasa memperdaya yang lemah. Politik kalian memang politik hitam”.
Burhan jadi ingat pelajaran politik yang diperoleh di lobby-lobby hotel, café dan warung kopi. Politik adalah soal kesepakatan, aku berbuat apa dan dapat apa. Politik adalah matematika tanpa angka, begitu yang sering dikatakan oleh kawannya yang adalah seorang politisi muda, pemimpin partai yang menduduki jabatannya lewat sebuah kudeta. Politik memang hitam, meski dalam pidato di hadapan publik para politisi selalu menyampaikan kata-kata indah, namun dalam bilik-bilik kesehariannya yang ada dalam benak mereka hanya uang..uang dan uang.
“Kamu harus paham …. Politik tanpa uang tak ada artinya. Sekalipun kau punya visi dan misi yang luar biasa, namun tanpa dukungan amunisi semuanya akan sia-sia. Tak akan ada seorangpun yang memberikan mandat atau suara untukmu”, kata suara yang seakan memahami kegundahan Burhan.
“Tapi kan seharusnya tidak seperti itu”, protes Burhan.
“Ya, seharusnya memang tidak seperti itu, tapi ketika tidak ada yang memperjuangkan laku yang sebaliknya, maka politik busuklah yang akan bekerja. Sesuatu yang biarkan busuk namun selalu terbiasa ditemui lama kelamaan aroma busuknya akan hilang. Kebusukan bahkan kemudian dianggap sebagai keharusan. Maka politisi yang tidak busuk bakal di anggap abnormal”, kata suara panjang lebar.
“Sahur..sahur…sahur..sahur….”, teriakkan sekelompok anak muda yang melintas di jalan depan rumah, mengagetkan Burhan. Dengan iringan berbagai bebunyian gerombolan anak-anak muda itu berkeliling kampung menyusuri gang demi gang, membangunkan orang agar tidak lupa makan sahur yang tak lama lagi akan berakhir waktunya.
Burhan melihat jam, “Upps….. sudah jam 3 pagi”, kata Burhan dalam hati. Selepas hilangnya musik sahur, ruangan terasa sepi. Suara yang tadi menemani Burhan telah menghilang entah kemana. Hanya dingin dan semilir angin dini hari yang tersisa, perlahan menyapu wajah Burhan. Namun kantuknya belum juga datang. Tangan dan kaki Burhan mulai terasa gatal akibat serangan nyamuk yang cepat berkembang di awal musim kemarau. Tak tahan dengan gatal yang menyerang, Burhan melangkahkan kakinya menuju kamar, merebahkan diri diatas kasur dan menyelimuti tubuhnya dengan selembar kain tebal.
HP Burhan berbunyi, pertanda sebuah pesan singkat masuk. Diraihnya HP butut buatan China dan dibukanya pesan yang barusan masuk. Tertulis dalam pesan itu “Selamat pagi Mas Bro, selamat menyambut hari kemerdekaan. Semoga sampeyan kian hari kian merdeka”.
Burhan tak tahu siapa yang mengirim pesan itu, karena tak ada nama yang menyertainya. Nomor yang dipakai untuk mengirim juga belum tersimpan dalam daftar kontaknya. Karena merasa tak mengenal secara pribadi maka Burhan tak hendak membalas ucapan yang datang kepagian itu.
“Merdeka apanya ….. kalau semakin hari keadaan justru semakin buruk”, gerutu Burhan dalam hati. “Optimisme di negeri ini hanya ditumbuhkan oleh para analis ekonomi, terutama mereka-mereka yang bergelut di sektor investasi keuangan”, lanjutnya masih dalam hati.
Burhan ingat persis, bahwa para ekonom di negeri ini selalu menolak mengatakan negeri ini berada di jurang negara gagal. Bagaimana mau dibilang berada di ambang gagal kalau pertumbuhan ekonominya selalu di atas 6 %. Saat dilanda krisis, ekonomi negeri ini tidak tumbuh minus dibandingkan dengan negeri tetangga. “Fundamental ekonomi kita stabil dan kuat menghadapi tekanan krisis dari belahan bumi lain”, begitu mantra yang selalu diucapkan para ekonom.
“Terlalu sederhana arti negara jika hanya diserahkan pada ekonom belaka”, kali ini suara Burhan mulai terdengar meski pelan dan tak tahu berkata pada siapa.
“Para ekonom lupa, jika krisis di negeri lain tidak terlalu berpengaruh ke negeri ini, sebab fundamen ekonomi kita adalah ekonomi domestik. Jadi selama rakyat doyan makan dan belanja meski harus utang kanan dan kiri, ya tetap saja ekonomi akan tumbuh, tapi itu ekonomi jeruk makan jeruk”, ujar Burhan layaknya seorang analis jagoan.
“Pemilihan umum mulai dari legislatif, presiden sampai dengan kepala daerah, itulah yang menopang belanja masyarakat. Menjelang pemilihan bahkan setahun sebelumnya banyak uang beredar tidak karuan, terhambur sampai sudut-sudut gang sempit. Dan semua itu dibelanjakan maka konsumsi publik sepertinya terjaga”, begitu lanjutnya.
Sinar mentari pagi mulai mengintip dari sela-sela jendela, hangatnya juga mulai terasa. Kantuk Burhan tak juga tiba dan usaha untuk menggapainya jelas semakin sulit, sebab jalanan mulai ramai. Bunyi-bunyian semakin keras terdengar, mulai dari kamar mandi sampai dapur rumahnya yang kian riuh.
Burhan bangkit dari tempat tidurnya, ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi dan kemudian pamit keluar menuju warung favoritnya untuk ngopi dan sarapan pagi. Saat di warung tiba-tiba saja muncul niatnya untuk membalas SMS ucapan yang diabaikannya tadi.
Jemarinya bermain di keyboard HP yang mulai pudar tanda-tandanya, dituliskannya “Terima kasih prend, hari ini aku memang merdeka karena masih menikmati kopi dan nasi kuning di pagi hari. Dan merdekaku mungkin akan terus terjaga andai aku berhasil mematikan televisi dan tak tergoda untuk membaca koran berita hari ini”.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum