Koran, Bukan Isi Perut Wartawan
Apa yang dimuat dalam surat kabar setiap harinya?. Berita tentu saja. Dan apa sesungguhnya sebuah berita itu?. Berita adalah sepenggal peristiwa yang ditangkap oleh penulisnya. Maka berita meski diharapkan bersifat obyektif, selalu membawa subyektifitas penulisnya. Subyektifitas tercermin lewat pilihan sudut pandang (angle) yang dipilih oleh penulisnya saat berhadapan dengan sebuah peristiwa. Hanya saja orang terlalu berharap banyak pada sebuah berita. Berita disangka mengabarkan seluruh peristiwa dan kebenaran. Tak heran jika kemudian banyak orang marah atau kecewa dan kemudian menuduh bahwa berita mengabarkan kebohongan, merekayasa kejadian dan seterusnya.
Padahal senyatanya tidak demikian, melainkan berita hanya mampu menyajikan satu serpihan kebenaran, bukan keseluruhannya. Terlalu sempit ruang koran untuk mengambarkan seluruh realitas peristiwa secara rinci.
Saya tak hendak mengajak untuk tidak percaya pada koran. Bukan itu maksud saya, melainkan hanya ingin berpesan agar jangan terlalu berharap banyak pada koran. Karena koran pada hari ini kebanyakan memang hanya mampu mengabarkan sepenggal berita. Bukan karena reporter atau jurnalisnya tak mampu menulis dengan dalam (indepth news) melainkan tak tersedia banyak ruang untuk menampung berita yang panjang. Terlalu banyak hal yang mesti diberitakan, belum lagi terlalu banyak pula iklan yang harus dikabarkan. Di luar itu masih ada lagi lembar-lembar kontrak yang tidak lagi bisa diganggu gugat halamannya.
Reporter ibarat produsen berita, mesti mencari 3 sampai 5 berita setiap hari, maka mana sempat lagi mendalami ini dan itu bahkan kalau perlu sekali mendayung dua tiga pula terlampaui. Satu kali wawancara dipecahkan menjadi dua atau tiga berita. Andai jumlah berita yang dikumpulkan oleh reporter tidak mencukupi, masih ada cara mudah mendapatkan berita atau isi lembar koran. Buat saja account twitter atau facebook dan kemudian pindahkan isinya ke dalam lembaran koran berita setiap harinya.
Dalam pandangan masyarakat kita, profesi jurnalis adalah profesi yang mulia, seperti layaknya tokoh agama, dokter, polisi, guru dan hakim. Profesi yang dijalani karena panggilan hidup untuk menolong dan melayani masyarakat agar kehidupan berjalan semakin baik.
Tak heran jika kemudian koran (media lainnya) dianggap sebagai pilar ke empat demokrasi. Karena dalam lembar-lembar koran bukan hanya puja-puji saja yang mesti diungkap melainkan juga sederetan fakta dan sikap kritis maupun kritik terhadap perilaku kebijakan pemerintah.
Tentu saja pandangan diatas menyiratkan idealisasi atas profesi tertentu. Dan nyatanya dalam banyak kejadian, profesi-profesi yang dipandang sebagai pengabdian, panggilan hidup, justru penuh dengan skandal-skandal. Dokter yang seharusnya lebih mendahulukan ‘kehidupan’ ternyata justru lebih mengabdi pada perusahaan farmasi lewat resep-resepnya. Polisi yang seharusnya mendahulukan keamanan dan keamanan untuk semua ternyata justru lebih berguna untuk mereka-mereka yang kaya. Dan hakim yang semestinya memutuskan perkara atas dasar keadilan ternyata mempertaruhkan kehormatan palunya di bawah lembaran rupiah. Itu sebabnya kerap terdengar seloroh Kasih Uang Habis Perkara (KUHP).
Demikian juga dengan koran dan media-media lainnya, yang kerap diharap membantu menyuarakan suara dari mereka yang tidak punya suara (voice of voiceless), namun justru menjadi corong orang-orang tertentu. Ini terjadi karena koran dan media lainnya tumbuh menjadi industri berita, yang kemudian menjadi alat bagi kekuatan tertentu untuk kepentingannya sendiri. Agar sebuah koran punya pengaruh, dibaca oleh banyak orang, mempunyai tiras yang tinggi tentu butuh modal yang besar untuk mengerakkannya. Cerita koran pada saat ini bukanlah cerita romansa romantika, kisah perjuangan para jurnalis menahan lapar, berjuang mempertaruhkan nyawa di medan yang penuh resiko sudahlah usang. Cerita koran sekarang ini lebih condong pada sebuah investasi, di balik lembaran-lembaran koran selalu ada investor yang siap mengelontorkan uangnya. Tanpa itu maka koran akan hidup segan matipun tak mau. Koran menjadi Kala Warta, kala-kala ada, kala-kala tidak.
Media dengan pengaruhnya memang merupakan alat yang strategis untuk kekuatan-kekuatan tertentu. Dan ini sebagian besar media yang konvergen (pemilik koran biasanya punya televisi, majalah, radio dan media online) dimiliki oleh sosok atau kelompok dengan afiliasi politik tertentu. Maka tak heran jika kemudian kita kerap disuguhi berita-berita yang tidak perlu. Sebab isi berita koran (media lainnya) tak selalu merupakan cermin tulisan berita dari para jurnalisnya.
Pondok Wiraguna, 6 Oktober 2012
@yustinus_esha
Orang boleh pandai setinggi langit, namun kalau tidak menulis maka akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah (Pram)
Pages
Label:
Kolom
Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (47)
Borneo Menulis
Senin, 08 Oktober 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Cari Blog Ini
Sekolah dan Bengkel Menulis Naladwipa
Merupakan hasil kerjasama Naladwipa Institute, Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Samarinda dan Desantara Foundation. Kegiatan ini diikuti oleh anak-anak muda untuk mengasah wawasan, kepekaan dan ketajaman untuk melihat apa yang terjadi di kesekitarannya.
Menulis Adalah Panggilan Jiwa
Blog ini merupakan wahana bagi peserta sekolah menulis Naladwipa dan Komkep Kasri untuk mempublikasikan tulisannya. Namun tetap terbuka bagi siapapun yang hendak mengirimkan tulisan juga. Silahkan masukkan tulisan ke badan email dan kirim ke borneo.menulis@gmail.com
Tulisan akan ditata sedemikian rupa tanpa merubah isi dan subtansinya.
Tulisan akan ditata sedemikian rupa tanpa merubah isi dan subtansinya.
Popular Posts
-
Antara Antri IPAD dan Bensin Ketika masih duduk di bangku sekolah, libur kenaikan kelas adalah sebuah kegembiraan yang tidak terkira. Sebu...
-
Daun-daun masih basah, karena tadi sore hujan baru usai menyirami kampung yang berada di tepi sungai Kelian. Kini malam berganti terang pur...
-
Hujan rintik-rintik ditemani senja sedang merayap meraih malam di saat saya memasuki pintu gerbang desa Kutai Lama Kecamatan Anggana Kutai ...
-
Masihkan orang berpikir bahwa tato adalah penanda bagi mahkluk yang cenderung kriminal dan tindik (piercing) adalah peradaban massa silam?. ...
-
Berita merupakan produk aktivitas jurnalistik atas dasar informasi yang berdasar pada fakta. Jika sang jurnalis hadir atau berada dalam sebu...
-
Empat bulan lalu Ardi bersama keluarganya pindah rumah, ke tempat tinggal yang kini adalah miliknya sendiri. Bertahun-tahun Ardi, Esta istr...
-
Media memegang peran penting dalam dinamika sosio kultural di masyarakat. Di tengah iklim yang menindas, media bisa menjadi corong dari peng...
-
Resep apa yang digunakan oleh seseorang sehingga mampu melahirkan tulisan yang menawan. Sederhana saja, ramuan jitu dalam menulis hanya satu...
-
Istilah LSM sebenarnya contradictio in terminis atau korupsi makna. Sebagai sebuah institusi yang dinamai dengan Lembaga Swadaya Masyarakat...
-
Kemacetan tak lagi milik kota-kota metropolitan macam Jakarta, Bandung, Surabaya atau Medan. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang kin...
Ayo Menulis
Jika anda percaya bahwa kata-kata mampu menggerakkan perubahan maka mulailah menulis. Semua pantas ditulis dan perlu untuk dibagikan.
Daftar Link
Partisipan
Arsip Blog
- 06/26 - 07/03 (3)
- 07/03 - 07/10 (3)
- 07/10 - 07/17 (6)
- 07/17 - 07/24 (6)
- 07/24 - 07/31 (12)
- 07/31 - 08/07 (3)
- 08/14 - 08/21 (2)
- 08/28 - 09/04 (2)
- 09/04 - 09/11 (3)
- 10/02 - 10/09 (11)
- 09/02 - 09/09 (10)
- 09/09 - 09/16 (4)
- 09/16 - 09/23 (12)
- 09/23 - 09/30 (8)
- 09/30 - 10/07 (12)
- 10/07 - 10/14 (8)
- 10/14 - 10/21 (10)
- 10/28 - 11/04 (9)
- 11/04 - 11/11 (9)
- 11/11 - 11/18 (10)
- 11/18 - 11/25 (8)
- 11/25 - 12/02 (6)
- 12/02 - 12/09 (3)
- 12/09 - 12/16 (3)
- 12/30 - 01/06 (1)
- 01/06 - 01/13 (5)
Kunjungan
BORNEO MENULIS
0 komentar:
Posting Komentar