Time Is Money
Secara tradisional masyarakat
kita mengajarkan bahwa tujuan hidup atau cita-cita kemanusiaan kita adalah
menjadi orang yang mulia, berguna bukan hanya bagi keluarga, melainkan untuk
masyarakat, nusa dan bangsa. Maka tak heran jika anak-anak ditanya apa
cita-citanya ketika besar nanti, jawabannya adalah profesi-profesi yang
dipandang penuh pengabdian. Contoh yang paling populer adalah guru, dokter,
polisi dan kadang ada juga yang nyeleneh seperti menjadi pasukan kuning (tukang
sapu jalan). Hampir dipastikan tidak ada yang menjawab ingin menjadi politisi
dan anggota DPR. Kalo ada yang berkaitan dengan politik, biasanya anak-anak
akan menjawab ingin jadi Presiden. Itu karena Presiden kerap dicitrakan sebagai
orang yang mengabdi pada bangsa, bapak bagi rakyat, baik dan tersenyum kepada
siapa saja tanpa membeda-mbedakan.
Semakin anak-anak bertumbuh
kemudian sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, ajaranpun akan semakin
berkembang. Anak-anak berhadapan dengan apa yang disebut tuntutan dunia nyata.
Bahwa untuk mendapat nilai yang baik bukan hanya bermodalkan otak yang encer
dan pintar, melainkan juga mesti rajin membeli buku, ikut les yang
diselenggarakan oleh guru dan tidak menolak atau keberatan saat diminta
sumbangan sukarela oleh sekolah. Anak-anak muda ini sadar atau tidak mulai
diajari bahwa duit itu penting. Dalam ajaran kaum munafik dikatakan uang memang
bukan segala-galanya, tapi tanpa uang tak akan ada segalanya. Jadi apa bedanya
dengan mengatakan uang adalah yang pertama dan utama. Apapun bisa didapat asal
ada uang. Maka wajar peribahasa yang pertama dikenal dalam bahasa Inggris
adalah “time is money”.
Dan coba tanyakan kembali apa
cita-cita mereka kali ini. Mungkin saja masih menyebut dokter atau polisi, coba
tanyakan kenapa?. Jawabannya kemungkinan besar masih ada bau-bau pengabdian
tetapi sudah cenderung memandang bahwa itulah jenis pekerjaan yang mampu
menghasilkan duit. Dokter dianggap bisa meresepkan obat yang setengah
menyembuhkan sehingga pasien datang kembali. Belum lagi fee dari
perusahaan-perusahaan obat yang terbantu karena sang dokter terus menerus
meresepkannya. Menyebut polisi bukan untuk urusan gaji, sebab bisa jadi gajinya
kecil, tapi sebagai polisi kemungkinan untuk mencari penghasilan diluar gaji
cukup terbuka lebar.
Selain profesi itu akan mulai
muncul profesi-profesi lain yang intinya bakal menghasilkan duit dengan cepat seperti
menjadi artis, penyanyi, model, bintang film, teknisi tambang, pilot,
pramugari, ahli IT, akuntan, pengusaha kuliner, distro dan sebagainya. Menjadi
politisi terutama anggota DPR meski tidak terlalu lantang pasti mulai ada yang
menyebutkannya. Semua tentu sadar bahwa jenis profesi yang mampu dengan cepat
merubah nasib adalah dengan menjadi anggota dewan. Contohnya jelas, mereka yang
datang naik angkot saat dilantik, tak lama kemudian akan bermobil dan segera
membangun rumah baru.
Pilihan cita-cita kemudian erat
dengan apa yang diperoleh lewat pekerjaan (profesi) yaitu uang atau penghasilan
yang besar. Kesadaran bahwa uang itu penting memang dibangun lewat pengalaman
di sekolah, pengalaman dalam masa pendidikan.
Saya tak akan memberikan contoh
orang lain, cukup anak saya saja. Sampai dengan saat sekolah di TK, anak saya
tak tahu uang sama sekali. Bekal di bawa dari rumah dan pada hari tertentu
sekolah membagikan makanan tambahan. Di belakang sekolahnya ada kantin, tapi
gurunya selalu melarang anak-anak keluar dari kompleks sekolah. Saya ingat
persis, guru-guru mereka juga akan menegur anak-anak apabila membawa bekal sejenis
snack dalam kemasan.
Keadaan berubah setelah masuk SD,
setiap kali berangkat sekolah selalu meminta uang merah. Anak saya menyebut
uang merah karena belum tahu nilai uang, tapi dia tahu uang yang berwana merah
cukup untuk membeli jajanan di kantin sekolah. Dan tentu penjual di kantin juga
sudah paham soal anak-anak yang belum tahu nilai persis selembar uang. Mereka
fasih menerangkan dengan uang yang ada di tangan anak-anak, mereka bakal dapat
apa, ini atau itu.
Sering kali saya berpikir,
jangan-jangan anak saya ini semangat bersekolah karena disekolahnya ada kantin.
Belanja itu menyenangkan dan itu intinya. Sebab kalau memang karena haus atau
lapar karena lelah belajar maka sebenarnya bekal bisa dibawa dari rumah. Dan
nyatanya begitu masuk SD, anak saya tak lagi mau membawa bekal dari rumah.
Khan, di sekolah ada kantin, soto dan nasi gorengnya enak kok, begitu kilahnya
kalau disiapkan bekal dari rumah.
Setelah beberapa bulan mengikuti
pelajaran di SD, anak saya mulai bisa membaca mesti masih pelan-palan sambil
mengeja. Selain itu juga mulai bisa berhitung hingga puluhan, baik tambahan
maupun pengurangan. Tapi tetap saya merasa bahwa perkembangan yang paling cepat
adalah persoalan uang. Anak saya dengan cepat memberitahukan pembayaran dan
iuran ini itu, beli buku ini dan itu, harga ini dan itu di kantin serta berapa
uang saku yang harus dibawanya setiap berangkat sekolah. Hari-hari sekolah
adalah uang saku. Time is Money.
Pondok Wiraguna, 5 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar