Untung Saya Lahir di Desa
Saya selalu merasa beruntung
terlahir sebagai anak desa di sebuah kota kecil pada masa Indonesia sedang
berusaha bangkit menjadi negara dengan model pembangunan yang modern. Pada masa
itu sebagai anak-anak, saya bermain dengan segala jenis permainan yang dibuat
sendiri dan berasal dari bahan-bahan yang ada di sekitar rumah. Kalaupun ada
yang dibeli itu adalah jenis-jenis mainann yang tidak bisa dibuat sendiri
seperti balon, pancing, gambaran, kartu dan kelereng.
Permainan elektronik belum
dikenal, meski sudah ada saat itu. Hanya cucu eyang Bupati yang mempunyainya
dan saya serta teman-teman tidak berusaha untuk ikut memilikinya. Tinggal di
desa yang paling utama adalah bukan apa yang kita miliki melainkan sebanyak apa
teman yang kita punyai. Berteman itu yang paling penting, semakin banyak teman
akan semakin beragam jenis permainan yang bisa kita mainkan. Saya ingat persis,
untuk membaca majalah atau buku bacaan lainnya diluar pelajaran sekolah, kami
berpindah-pindah. Mulai dari teman yang punya koleksi majalah cerita bergambar
yaitu EPPO, dikirim oleh orang tuanya yang bekerja di Jakarta. Setelah selesai
pindah ke teman yang berlangganan majalah Hai. Sesekali kami bermain ke luar
desa, ke rumah teman yang mengkoleksi komik Tintin terbitan Indira Yogyakarta.
Soal komik Tintin ini, karena
begitu nge-fans, tak mampu membeli dan koleksi teman sudah habis dibaca maka saya
dan teman-teman beramai-ramai pergi ke Yogyakarta. Saya pergi ke toko buku
Indira bukan untuk membeli melainkan masuk dan membaca komik Tintin disana.
Dengan bekal uang seadanya saya dan teman-teman berangkat ke Yogyakarta naik
bus dan kemudian menyusuri jalanan disana dengan berjalan kaki mencari toko
buku Indira. Dengan menahan haus, akhirnya ketemu juga toko buku Indira, segera
saya masuk dan mulai membaca komik Tintin sepuasnya.
Sebagai anak desa, dimata saya
banyak hal yang istimewa. Piknik mungkin sudah biasa bagi anak kota, tapi bagi
saya jelas tidak. Saya hanya bisa bepergian ke tempat-tempat wisata saat
sekolah mengadakan acara dharmawisata. Dengan menaiki bis tua, saya dan
teman-teman menelusuri jalanan hingga kota lain, melihat candi yang selama ini
hanya ditemui di buku pelajaran. Mulai dari Candi Borubudur, Candi Mendut, Candi
Prambanan hingga Candi Gedong Sanga.
Selain tempat-tempat bersejarah
biasanya dalam dharmawisata juga akan menyinggahi tempat rekreasi macam kebun
binatang (bonbin), air terjun, waduk dan gua. Terkadang juga mengunjungi desa
kerajinan untuk melihat kehidupan masyarakat yang menghasilkan karya-karya
seperti keramik dan kerajinan lainnya.
Di masa liburan dengan segala
keterbatasan biasanya saya dan teman-teman juga merencanakan liburan dengan
bersepeda. Menempuh jarak puluhan kilometer menuju pantai selatan untuk melihat
pantai berpasir dan bermain dengan air laut. Kalau tidak ke pantai, biasanya
saya juga pergi ke gunung, bukan gunung api tapi bukit yang disana tumbuh aneka
pohon buah-buahan. Ada yang dinamakan gunung jambu karena banyak jambu monyet
dan jambu batu disana.
Tumbuh sebagai anak desa, membuat
ukuran kesenangan dan kebahagiaan itu sederhana saja. Bukan karena apa yang
miliki tapi apa yang bisa saya lakukan bersama kawan-kawan. Pasti bagi
anak-anak sekarang apa yang saya lakukan dulu jelas tidak membahagiakan. Pergi
puluhan kilometer dengan uang seadanya, hanya cukup untuk membeli beberapa biji
ketimun untuk menyegarkan tenggorokan yang terasa kering karena terik matahari.
Anak-anak mana sekarang ini yang
sudi pergi menempuh perjalanan 65 km hanya untuk membaca buku disana dan tidak
membelinya. Capek deh ..mungkin itu kata mereka. Siapa juga yang mau naik
sepeda, lalu jalan kaki menaiki bebukitan hanya untuk mengambil jambu monyet
yang tidak enak rasanya dan salah-salah bisa bikin bibir terluka. Jelas itu
semua nggak level untuk anak-anak sekarang.
Tentu saja bukan salah mereka,
sebab kini bukit yang ditumbuhi buah-buahan tak ada lagi, sungai-sungai semakin
keruh dan kotor hingga main dengan mandi-mandi disana tentu saja sebuah
tindakan konyol. Dan sekarang ini untuk pergi melanglang buana kemana-mana,
menikmati berbagai keindahan di kota-kota lain, melihat berbagai hal aneka
warna tidak perlu dilakukan dengan berkendara kesana. Cukup satu kali klik dan
semua tersaji di layar. Dan itulah yang diingini oleh anak saya, yang
menurutnya akan lebih afdol apabila dilakukan dengan Samsung Galaxy tab. Sebuah
gadget yang sampai hari inipun belum pernah saya pegang.
Pondok Wiraguna, 4 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar