Ziarah Hingga Ke Luar Negeri
Mengapa orang gemar pergi ke
tempat suci?. Apa yang sebenarnya mereka cari?.
Tiap orang akan mempunyai jawaban yang berbeda. Hanya saja selalu ada
benang merah yaitu ingin bertemu atau merasakan kehadiran Tuhan. Mengalami
nikmat spiritual atau pengalaman iman yang semakin mendewasakan dirinya. Banyak
orang datang dan berdoa di tempat suci untuk bersyukur tapi tak sedikit pula
yang datang bermohon, mengharap penyembuhan entah badani maupun rohani. Dan
konon tak sedikit pula yang meminta untuk dilancarkan jodoh serta beroleh
kekayaan duniawi.
Kunjungan ke tempat suci atau
perjalanan ziarah semakin hari memang semakin populer. Kini bahkan muncul agen
atau jasa perjalanan yang khusus mengurusi peziarahan. Paket ziarah yang
dikemas dalam wisata rohani menyediakan berbagai tujuan bukan hanya di
Indonesia saja melainkan sampai ke luar negeri.
Saya punya teman, seorang pastor
yang mengalami ‘sengsara tapi membawa nikmat’. Beberapa tahun lalu mengalami
kecelakaan sehingga kakinya bermasalah. Oleh karenanya kemudian ditempatkan
bukan di paroki untuk mengurus jemaat, melainkan di tarik ke rumah biara yang
ada di Jakarta, untuk mengendalikan urusan rumah tangga sembari terus melakukan
perawatan untuk penyembuhan kakinya. Di sela-sela urusan itu, sang pastor
melayani kegiatan-kegiata kategorial seperti misa untuk kelompok mahasiswa di
Universitas Tarumanegara yang biasanya lebih banyak dihadiri oleh mahasiswi.
Pokoknya yang bening-bening begitu katanya.
Nah, nikmat yang terbesar sebagai
pastor non job adalah menjadi pembimbing rohani untuk wisatawan yang berziarah
ke tanah suci. Berkali-kali sudah pergi ke Timur Tengah terutama ke Yerusalem
dengan bonus menjejakkan kaki di tanah Mesir untuk melihat kemegahan budayanya
di masa lampau. Tak heran jika kemudian dia hafal sudut-sudut bandara Ben
Gurion, pintu masuk dan keluar ke serta dari tanah suci Yerusalem.
Coba andai saja teman pastor ini bertugas
sebagai pastor di tanah Papua, tentu akan perlu waktu puluhan tahun hingga
kemudian tiba masa cuti besar dan diberi bonus perjalanan ke tanah suci. Saya
tidak menanyakan kepadanya apakah dia merasa bahagia dengan ‘kepastorannya’
yang tidak memimpin jemaat.
Sekali waktu saya ke Jakarta dan
menemuinya, tidak di biara melainkan di toko buku Gramedia yang ada di Plaza
Semanggi. Ngobrol sana-sini mengenang kembali masa-masa sekolah dulu. Saya
sempat satu dekolah dengannya ketika SMP, lalu kembali satu medan ketika saya
mengikuti Kelas Persiapan Atas di Kolese Petrus Kanisius Mertoyudan. Setelah
itu selama beberapa tahun saya bersama lagi satu angkatan menempuh pendidikan
di Sekolah Tinggi Filsafat di Bumi Nyiur Melambai, Sulawesi Utara.
Saya sempat menanyakan bagaimana
kondisi kakinya. Dia menceritakan, penanganan dokter di Jawa Tengah dulu
membuat panjang kakinya tidak sama sehingga kerap terasa sakit kalau harus
menuruni tangga karena beban kaki kiri dan kanan tidak sama. Ras nyeri kerap
menyerang kakinya kala hawa dingin di musim hujan. Ini kaki masih harus direparasi
lagi, ucapnya sambil menyebut salah satu RS ternama di Jakarta tempat operasi
akan dilakukan.
Setelah pertemuan itu
berbulan-bulan saya tak terlalu intensif berkomunikasi hingga kemudian saya
mendapat kabar operasinya telah dilakukan. “larang operasine’ begitu ucapnya
singkat sambil menyebut angka yang mengejutkan untuk saya. Saya kemudian
menanyakan apakah itu berarti dia akan kembali bertugas sebagai kepala jemaat
di satu paroki. Dia menjawab, tidak dan malah mengatakan lagi mengurus visa
untuk melanjutkan studi entah ke Mesir atau ke Eropa.
Tak lama kemudian lewat grup di
BB, teman pastor saya ini mengatakan untuk sementara akan menonaktifkan BB-nya,
dia harus segera berangkat ke Italia untuk melanjutkan studi. Ijin studi dari
mesir tidak didapatnya maka dia kemudian memilih untuk studi di Roma Italia.
Sebulan kemudian BB-nya kembali aktif. Di Roma dia kos di sebuah pastoran yang
meski sama-sama Katolik tapi tetap saja memunggut bayaran. Makan dan minuman
disediakan tapi seturut kebiasaan mereka yang tentu saja tak cocok untuk perut
teman saya ini.
Karena kesalahan informasi,
kedatangannya ke Italia terlalu cepat. Pelajaran masih dimulai beberapa bulan
lagi. Hari-harinya diisi dengan kursus bahasa, menurutnya perkuliahan disana
menuntut penguasaan empat bahasa. Italia dan Latin wajib, ditambah dua bahasa
lagi, satu yang dia sudah kuasai yaitu Inggris, kemudian satu lagi yang mesti
di pelajari. Saat ditanyai, saya menyarankan untuk belajar bahasa Spanyol saja.
Siapa tahu nanti sepulangnya dari sana bisa menjadi komentator sepakbola liga
Spanyol yang kini tengah terkenal di Indonesia.
Tentu saja selain belajar, dia
juga memanfaatkan waktu untuk jalan-jalan, mendatangi banyak tempat yang
dipandang suci di Roma Italia. Berkali-kali dia mengirimi gambar antrian orang
yang hendak berziarah ke Basilika St. Petrus. Dan lagi-lagi dia mengatakan
“lebih banyak yang bening-bening disini, pakaiannya juga lebih ekonomis”.
Ziarah ke Italia memang banyak godaannya, di taman-taman banyak orang
berpacaran, cuek saja berciuman meski orang lalu lalang.
Atas pengalamannya saya hanya
bisa berpesan padanya untuk membuat dokumentasi, biar saya bisa ikut melihatnya
sebab saya tak tahu kapan bisa berziarah hingga ke luar negeri.
Pondok Wiraguna, 3 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar