Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (44)

Kamis, 04 Oktober 2012


Ziarah Hingga Ke Luar Negeri

Mengapa orang gemar pergi ke tempat suci?. Apa yang sebenarnya mereka cari?.  Tiap orang akan mempunyai jawaban yang berbeda. Hanya saja selalu ada benang merah yaitu ingin bertemu atau merasakan kehadiran Tuhan. Mengalami nikmat spiritual atau pengalaman iman yang semakin mendewasakan dirinya. Banyak orang datang dan berdoa di tempat suci untuk bersyukur tapi tak sedikit pula yang datang bermohon, mengharap penyembuhan entah badani maupun rohani. Dan konon tak sedikit pula yang meminta untuk dilancarkan jodoh serta beroleh kekayaan duniawi.

Kunjungan ke tempat suci atau perjalanan ziarah semakin hari memang semakin populer. Kini bahkan muncul agen atau jasa perjalanan yang khusus mengurusi peziarahan. Paket ziarah yang dikemas dalam wisata rohani menyediakan berbagai tujuan bukan hanya di Indonesia saja melainkan sampai ke luar negeri.

Saya punya teman, seorang pastor yang mengalami ‘sengsara tapi membawa nikmat’. Beberapa tahun lalu mengalami kecelakaan sehingga kakinya bermasalah. Oleh karenanya kemudian ditempatkan bukan di paroki untuk mengurus jemaat, melainkan di tarik ke rumah biara yang ada di Jakarta, untuk mengendalikan urusan rumah tangga sembari terus melakukan perawatan untuk penyembuhan kakinya. Di sela-sela urusan itu, sang pastor melayani kegiatan-kegiata kategorial seperti misa untuk kelompok mahasiswa di Universitas Tarumanegara yang biasanya lebih banyak dihadiri oleh mahasiswi. Pokoknya yang bening-bening begitu katanya.

Nah, nikmat yang terbesar sebagai pastor non job adalah menjadi pembimbing rohani untuk wisatawan yang berziarah ke tanah suci. Berkali-kali sudah pergi ke Timur Tengah terutama ke Yerusalem dengan bonus menjejakkan kaki di tanah Mesir untuk melihat kemegahan budayanya di masa lampau. Tak heran jika kemudian dia hafal sudut-sudut bandara Ben Gurion, pintu masuk dan keluar ke serta dari tanah suci Yerusalem.

Coba andai saja teman pastor ini bertugas sebagai pastor di tanah Papua, tentu akan perlu waktu puluhan tahun hingga kemudian tiba masa cuti besar dan diberi bonus perjalanan ke tanah suci. Saya tidak menanyakan kepadanya apakah dia merasa bahagia dengan ‘kepastorannya’ yang tidak memimpin jemaat.

Sekali waktu saya ke Jakarta dan menemuinya, tidak di biara melainkan di toko buku Gramedia yang ada di Plaza Semanggi. Ngobrol sana-sini mengenang kembali masa-masa sekolah dulu. Saya sempat satu dekolah dengannya ketika SMP, lalu kembali satu medan ketika saya mengikuti Kelas Persiapan Atas di Kolese Petrus Kanisius Mertoyudan. Setelah itu selama beberapa tahun saya bersama lagi satu angkatan menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat di Bumi Nyiur Melambai, Sulawesi Utara.

Saya sempat menanyakan bagaimana kondisi kakinya. Dia menceritakan, penanganan dokter di Jawa Tengah dulu membuat panjang kakinya tidak sama sehingga kerap terasa sakit kalau harus menuruni tangga karena beban kaki kiri dan kanan tidak sama. Ras nyeri kerap menyerang kakinya kala hawa dingin di musim hujan. Ini kaki masih harus direparasi lagi, ucapnya sambil menyebut salah satu RS ternama di Jakarta tempat operasi akan dilakukan.

Setelah pertemuan itu berbulan-bulan saya tak terlalu intensif berkomunikasi hingga kemudian saya mendapat kabar operasinya telah dilakukan. “larang operasine’ begitu ucapnya singkat sambil menyebut angka yang mengejutkan untuk saya. Saya kemudian menanyakan apakah itu berarti dia akan kembali bertugas sebagai kepala jemaat di satu paroki. Dia menjawab, tidak dan malah mengatakan lagi mengurus visa untuk melanjutkan studi entah ke Mesir atau ke Eropa.
Tak lama kemudian lewat grup di BB, teman pastor saya ini mengatakan untuk sementara akan menonaktifkan BB-nya, dia harus segera berangkat ke Italia untuk melanjutkan studi. Ijin studi dari mesir tidak didapatnya maka dia kemudian memilih untuk studi di Roma Italia. Sebulan kemudian BB-nya kembali aktif. Di Roma dia kos di sebuah pastoran yang meski sama-sama Katolik tapi tetap saja memunggut bayaran. Makan dan minuman disediakan tapi seturut kebiasaan mereka yang tentu saja tak cocok untuk perut teman saya ini.

Karena kesalahan informasi, kedatangannya ke Italia terlalu cepat. Pelajaran masih dimulai beberapa bulan lagi. Hari-harinya diisi dengan kursus bahasa, menurutnya perkuliahan disana menuntut penguasaan empat bahasa. Italia dan Latin wajib, ditambah dua bahasa lagi, satu yang dia sudah kuasai yaitu Inggris, kemudian satu lagi yang mesti di pelajari. Saat ditanyai, saya menyarankan untuk belajar bahasa Spanyol saja. Siapa tahu nanti sepulangnya dari sana bisa menjadi komentator sepakbola liga Spanyol yang kini tengah terkenal di Indonesia.

Tentu saja selain belajar, dia juga memanfaatkan waktu untuk jalan-jalan, mendatangi banyak tempat yang dipandang suci di Roma Italia. Berkali-kali dia mengirimi gambar antrian orang yang hendak berziarah ke Basilika St. Petrus. Dan lagi-lagi dia mengatakan “lebih banyak yang bening-bening disini, pakaiannya juga lebih ekonomis”. Ziarah ke Italia memang banyak godaannya, di taman-taman banyak orang berpacaran, cuek saja berciuman meski orang lalu lalang.

Atas pengalamannya saya hanya bisa berpesan padanya untuk membuat dokumentasi, biar saya bisa ikut melihatnya sebab saya tak tahu kapan bisa berziarah hingga ke luar negeri.

Pondok Wiraguna, 3 Oktober 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum