Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (43)

Kamis, 04 Oktober 2012

Merayakan Bumi Bersama-Sama

 Saya tak ingat kapan mulai ikut ramai-ramai pergi ke kuburan desa yang ada di puncak bukit kira-kira 3 km dari dusun tempat saya tinggal. Pagi-pagi orang se-kampung pergi ke sana, membawa peralatan untuk bersih-bersih seperti cangkul, sabit, cetok dan sapu. Sebagian yang lain membawa alat perlengkapan dapur. Semua beriringan berjalan menelusuri jalan tanah dengan bebatuan yang tidak rata. Kalau kebetulan musim hujan dibeberapa tempat terasa licin karena tanahnya lempung (tanah liat). Sesampai di kuburan itu, saya langsung bersih-bersih kubur. Semua dibersihkan tanpa melihat itu kubur siapa. Semua bahu membahu sehingga kubur terlihat bersih tak ada semak atau rerumputan yang menutupi nisan. Disaat yang lain bersih-bersih, sebagian yang lain mulai menyembelih kambing dan ayam, ada pula yang mulai memasak nasi dan sayuran. Semua dilakukan di kuburan.

Menjelang tengah hari, kuburan telah bersih dan makanan telah masak. Diatas hamparan tikar dan kemudian beralaskan daun pisang utuh yang dijajar, nasi, lauk dan sayur yang dimasak ditata. Kemudian Pak Kaum akan memimpin rangkaian doa, mendoakan arwah dan para leluhur dan memintakan keselamatan untuk warga satu desa agar terhindar dari penyakit dan sial lainnya. Setelah doa selesai, semua serempak maju menyerbu, menyantap makanan yang tersedia. Apa yang saya ikuti dulu adalah kebiasaan masyarakat tradisional, bukan hanya ditempat saya tapi lazim juga dilakukan di berbagai tempat dan kebudayaan lain.

Masyarakat mempunyai kebiasaan untuk melakukan upacara bersih bumi. Ada yang dilakukan secara berkala (tahunan) dan ada pula yang didasarkan pada kejadian-kejadian yang menimpa masyarakat itu di waktu yang lalu. Kejadian-kejadian besar seperti bencana, adanya wabah penyakit (pagebluk), gagal panen,kecelakaan, serangan hama dan meningkatnya kejahatan di masyarakat yang datang silih berganti pertanda ada yang tidak beres dalam hubungan antara alam manusia dengan alam atas. Yang di atas sana tidak berkenan terhadap lagak dan laku dari mahkluk-mahkluk terutama manusia di atas bumi. Segala macam penderitaan, kesialan dan kesengsaraan harus dihentikan. Oleh karenanya dilakukanlah upacara bersih bumi.

Upacara sakral yang dilakukan masyarakat untuk membersihkan lingkungannya dari anasir-anasir jahat yang menyebabkan berbagai macam penderitaan. Upacara itu juga merupakan bentuk atau ekpresi niat kolektif untuk membersihkan diri, sehingga tidak lagi mendapat penghukuman dari Yang Maha Kuasa. Masyarakat tradisional menganggap bahwa apa yang terjadi di bumi adalah cermin dari sikap dan perilaku mereka dalam hubungan dengan sesama ciptaan maupun Sang Hyang menguasai bumi dan segala isinya.

Pada bagian lain, ketika saya di Sulawesi Utara, pada masa-masa tertentu di berbagai desa yang ada di pelosok Minahasa dilaksanakan upacara Pengucapan. Upacara ini pada dasarnya adalah pengucapan syukur atas hasil panenan yang berlimpah. Karena dulu cengkeh mendatangkan kemakmuran bagi hampir sebagian besar masyarakat Minahasa, maka biasanya upacara pengucapan dilaksanakan setelah panen cengkeh. Pada saat hari pengucapan, semua warga memasak, membuat nasi jaha yang dimasak di bambu (semacam lemang). Setiap orang saling berkunjung dari rumah ke rumah dan pulangnya akan diberi oleh-oleh ‘meriam’, nasi jaha yang masih utuh dengan bambunya.

Di Long Anai, Kutai Kartanegara pada masa setelah panen padi juga dilakukan upacara syukuran yang serupa. Upacara makan beras baru, beras yang baru dipanen dari kebun. Saat itu juga dibuat semacam kue yang bahannya tepung beras dan dimasak dalam bambu.

Upacara syukur baik setelah panen cengkeh maupun padi pada dasarnya sama. Warga masyarakat bersama-sama mengucapkan syukur atas panenan yang berlimpah, panenan yang baik sembari berharap di hari ke depan akan menikmati panennya yang sama berlimpah, terhindar dari hama dan gangguan lain. Upacara kolektif itu kini semakin pudar dan mengalami pergeseran. Perjumpaan peradaban dan kepercayaan tradisional dengan agama-agama Ibrahim melahirkan tafsir dan wujud baru dalam upacara-upacara tradisional. Upacara atau peringatan tetap dilaksanakan tapi kehilangan roh keramaian, kolektifitas dan spirit awal.

Kini upacara itu lebih banyak dilakukan di gedung atau rumah ibadah atau bahkan di gedung pertemuan. Lebih sial lagi dengan mengundang pemuka-pemuka pemerintahan yang kemudian akan memberi sambutan dan juga pidato yang membuat acara menjadi membosankan. Saya yakin kini anak-anak di desa saya tak lagi pergi ke kuburan di atas bukit untuk ramai-ramai membersihkan kuburan dan makan bersama di sana.

Demikian juga di Minahasa sana, pasti pengucapan tak lagi membuat jalanan antara Pineleng sampai Tomohon macet saking ramainya karena semua tumpah ruah ‘pasiar’ ke kampung yang mengadakan pengucapan. Semakin kesini, masyarakat kita semakin kehilangan event atau peristiwa untuk merayakan kebersamaan, merayakan syukur secara kolektif atas anugerah yang diberikan oleh Tuhan melalui alam.

Pondok Wiraguna, 5 Oktober 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum