Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (42)

Kamis, 04 Oktober 2012


Anak Jakarta Memang Bernyali

Sebenarnya saya gagal menangkap dengan utuh dan menerangkan dengan cukup tentang apa yang melatari fenomena semakin maraknya anak-anak sekolah terlibat tawuran hingga sampai menimbulkan korban jiwa. Oleh karena itu dari pada susah-susah memikirkan serta mencari rujukkan teori atas fenomena itu, jauh lebih mudah bagi saya untuk berempati, mencoba menyelami, gerang apa yang dialami oleh anak-anak itu.

Pertama harus saya akui bahwa mereka jauh lebih pemberani daripada saya kala duduk di bangku SMP dan SMA dulu. Seingat saya, selama duduk di bangku SMP sampai SMA hanya sekali terlibat perkelahian massal, itupun tak berlangsung lama serta terjadi di sekitar sekolah. Waktu itu sempat ada batu melayang mengenai papan nama sekolah yang terbuat dari seng sehingga penyok.

Kedua, harus juga saya akui bahwa anak-anak yang terlibat tawuran sekarang ini jelas solidaritasnya lebih tinggi tinimbang saya dulu dengan teman-teman lainnya. Saya lebih banyak mengatakan tidak karena takut berbuat kesalahan di sekolah. Bukan apa-apa karena saya bakal kena marah dua kali, satu di sekolah dan satu lagi di rumah. Sebabnya bapak saya adalah guru di sekolah lain yang se-yayasan dengan sekolah saya, maka pasti guru saya bakal lapor ke bapak apabila saya berbuat kesalahan di sekolah.

Nyali dan solidaritas yang besar apabila tidak diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang positif tentu saja berpotensi untuk mengalir dalam tindakan yang negatif. Nah, di Jakarta tentu berbeda jauh dengan kota tempat saya hidup dan belajar. Saya belajar di kota kecil saat SMP, di Ibukota Kabupaten Purworejo, lalu saat SMA saya justru belajar di kota kecamatan, kecamatan yang paling tidak ramai di kabupaten Purworejo. Dalam kondisi seperti itu maka wajar kalau guru-guru saya mengenal murid-muridnya dengan baik. Bisa mengawasi murid-muridnya bahkan saat jam sekolah sudah berakhir.

Dengan baju seragam saya selalu hati-hati bertindak, sebab bukan tidak mungkin ada guru yang melihat meski sudah pulang sekolah atau dalam perjalanan dari sekolah ke rumah. Kerap kali saya juga satu angkot baik dengan bu guru atau pak guru yang tinggal tak jauh dari rumah saya.

Pengalaman seperti itu tentu saja tidak dialami oleh anak-anak Jakarta yang doyan tawuran itu. Arah datang dan pergi baik guru atau murid barangkali tak seiring sejalan. Kesibukan guru dan murid juga sudah berlainan sepulang sekolah. Guru buru-buru pingin cepat pulang agar tidak kena macet atau mengejar waktu untuk urusan lain. Tentu saja guru sulit meluangkan waktu untuk mengawasi murid-muridnya sepulang jam sekolah.

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, begitu kata pepatah. Demikian pula anak-anak, pelajar dengan segenap persepsi, sikap dan perilakunya tentu merupakan hasil (buah) dari lingkungannya. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang ruwet, sempit, pengap dan sesak, terkurung dalam bangunan-bangunan menjulang tapi kehilangan tempat bermain tentu beda dengan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan persawahan, sungai yang masih jernih dan pepohonan ada di mana-mana.

Anak-anak Jakarta adalah generasi yang hidup dalam tekanan dari segala arah. Jauh lebih banyak godaan tetapi juga lebih banyak pula kekhawatiran yang menghantui diri mereka. Pagi-pagi saja sudah berpacu dengan waktu agar bisa sampai sekolah dengan tepat waktu. Pulangnya kembali mereka berjuang agar bisa sampai rumah tanpa terjebak kemacetan. Andai rumah dan lingkungan di sekitarnya tidak menyenangkan maka waktu antara pulang sekolah dan sampai dirumah, akan diisi dengan aktivitas lain untuk menghilangkan kepenatan. Dan waktu-waktu seperti inilah yang berpotensi untuk diisi dengan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan status mereka sebagai pelajar.

Siapa yang mengawasi dan menemani mereka, anak-anak yang cepat bosan di tengah rimba Jakarta?. Orang tua kah?. Tentu saja tidak mungkin sebab orang tuanya juga sibuk membanting tulang, berangkat dari rumah di pagi buta, pulang kala mentari sudah lama tertidur dalam pelukkan senja. Begitu keluar rumah dan keluar sekolah, anak-anak menjadi mahkluk liar tanpa pengawasan, meski berada di tengah-tengah lingkungan yang modern. Siapa lagi yang peduli pada anak-anak, para pelajar ketika mereka berada di jalanan?.

Memasuki jalanan di Kota Jakarta dan juga kota-kota besar lainnya ibarat memasuki medan pertempuran. Semua berebut untuk mendapatkan jalur terlebih dahulu tak peduli membuat yang lainnya terhambat. Perjuangan di jalanan adalah menahklukkan lampu lalulintas agar kita tak terjebak terlalu lama karenanya. Dan hampir sebagian besar waktu anak-anak, para pelajar di habiskan di jalanan, berjuang untuk ‘survive’ agar tepat waktu sampai di sekolah dan sampai dirumah. Watak jalanan adalah watak yang membentuk kepribadiaannya.

Saya semasa kecil dulu sering beradu nyali dengan teman-teman sepermainan dengan cara menyebrangi sungai, terjun dari tebing, memanjat pohon yang tinggi, menaiki kerbau, melempar sarang tawon dan sesekali mencuri buah di rumah orang dengan cara ‘menyambit’ di siang hari. Dan tentu saja beda dengan adu nyali anak-anak Jakarta, yang mesti berani memacu kendaraan (motor) meliuk-liuk di antara keramaian, bergantungan di metro mini, menghentikan kendaraan angkutan, meloncat ke dalam kereta meski belum berhenti dan seterusnya. Nyali yang dipertaruhkan bukan karena untuk mendapat kesenangan melainkan sebagai kemestian agar tidak tertinggal dan terlambat.

Saya sadar bahwa dahulu juga pernah berkelahi, main keroyokkan, tawuran memperebutkan lapangan sepakbola dengan anak-anak kampung sebelah. Tapi tetap harus saya akui anak-anak Jakarta lebih punya nyali, lebih berani dan lebih rajin berkelahi. Dulu saya dan teman-teman kalau berkelahi hampir tak pernah memakai alat bantu, berkalahi hanya bermodal tangan kosong, walau terkadang juga memakai batu. Tapi saya dan teman-teman jelas akan lari terbirit-birit ketakutan jika ada lawan yang terkena batu dan berdarah. Saya dan teman-teman jadi takut sendiri. Jadi sejatinya batu hanya digunakan untuk menakut-nakuti bukan sungguh-sungguh ingin menyakiti.

Jadi soal berkelahi sebetulnya tak terlalu menghkhawatirkan. Toh, itu terjadi pada siapa saja, bukankah para petinggi juga kerap menunjukkan bahwa mereka doyan berkelahi bahkan di gedung-gedung yang terhormat. Mereka bahkan bukan hanya berkelahi tapi juga mencuri meski mereka adalah orang-orang terhormat. Dan anak-anak belajar bahwa para pencuri yang terhormat ternyata tak pernah menunjukkan sesal dan rasa salah. Status tersangka tak membuat mereka merunduk dan kehilangan senyum.

Maka meskipun saya prihatin ketika ada anak-anak berkelahi, melukai lawannya dan tidak menyesal bahkan merasa puas karena memenangkan perang; namun saya mahfum karena mereka hanya belajar dari para tetua yang sesungguhnya tetap berlaku bak anak-anak yang abadi.

Pondok Wiraguna, 4 Oktober 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum