Anak Jakarta Memang Bernyali
Sebenarnya saya gagal menangkap
dengan utuh dan menerangkan dengan cukup tentang apa yang melatari fenomena
semakin maraknya anak-anak sekolah terlibat tawuran hingga sampai menimbulkan
korban jiwa. Oleh karena itu dari pada susah-susah memikirkan serta mencari
rujukkan teori atas fenomena itu, jauh lebih mudah bagi saya untuk berempati,
mencoba menyelami, gerang apa yang dialami oleh anak-anak itu.
Pertama harus saya akui bahwa
mereka jauh lebih pemberani daripada saya kala duduk di bangku SMP dan SMA
dulu. Seingat saya, selama duduk di bangku SMP sampai SMA hanya sekali terlibat
perkelahian massal, itupun tak berlangsung lama serta terjadi di sekitar
sekolah. Waktu itu sempat ada batu melayang mengenai papan nama sekolah yang
terbuat dari seng sehingga penyok.
Kedua, harus juga saya akui bahwa
anak-anak yang terlibat tawuran sekarang ini jelas solidaritasnya lebih tinggi
tinimbang saya dulu dengan teman-teman lainnya. Saya lebih banyak mengatakan
tidak karena takut berbuat kesalahan di sekolah. Bukan apa-apa karena saya
bakal kena marah dua kali, satu di sekolah dan satu lagi di rumah. Sebabnya
bapak saya adalah guru di sekolah lain yang se-yayasan dengan sekolah saya,
maka pasti guru saya bakal lapor ke bapak apabila saya berbuat kesalahan di
sekolah.
Nyali dan solidaritas yang besar
apabila tidak diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang positif tentu saja
berpotensi untuk mengalir dalam tindakan yang negatif. Nah, di Jakarta tentu
berbeda jauh dengan kota tempat saya hidup dan belajar. Saya belajar di kota
kecil saat SMP, di Ibukota Kabupaten Purworejo, lalu saat SMA saya justru
belajar di kota kecamatan, kecamatan yang paling tidak ramai di kabupaten
Purworejo. Dalam kondisi seperti itu maka wajar kalau guru-guru saya mengenal
murid-muridnya dengan baik. Bisa mengawasi murid-muridnya bahkan saat jam
sekolah sudah berakhir.
Dengan baju seragam saya selalu
hati-hati bertindak, sebab bukan tidak mungkin ada guru yang melihat meski
sudah pulang sekolah atau dalam perjalanan dari sekolah ke rumah. Kerap kali
saya juga satu angkot baik dengan bu guru atau pak guru yang tinggal tak jauh
dari rumah saya.
Pengalaman seperti itu tentu saja
tidak dialami oleh anak-anak Jakarta yang doyan tawuran itu. Arah datang dan
pergi baik guru atau murid barangkali tak seiring sejalan. Kesibukan guru dan
murid juga sudah berlainan sepulang sekolah. Guru buru-buru pingin cepat pulang
agar tidak kena macet atau mengejar waktu untuk urusan lain. Tentu saja guru
sulit meluangkan waktu untuk mengawasi murid-muridnya sepulang jam sekolah.
Buah jatuh tak jauh dari
pohonnya, begitu kata pepatah. Demikian pula anak-anak, pelajar dengan segenap
persepsi, sikap dan perilakunya tentu merupakan hasil (buah) dari
lingkungannya. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang ruwet, sempit,
pengap dan sesak, terkurung dalam bangunan-bangunan menjulang tapi kehilangan
tempat bermain tentu beda dengan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang
penuh dengan persawahan, sungai yang masih jernih dan pepohonan ada di
mana-mana.
Anak-anak Jakarta adalah generasi
yang hidup dalam tekanan dari segala arah. Jauh lebih banyak godaan tetapi juga
lebih banyak pula kekhawatiran yang menghantui diri mereka. Pagi-pagi saja
sudah berpacu dengan waktu agar bisa sampai sekolah dengan tepat waktu.
Pulangnya kembali mereka berjuang agar bisa sampai rumah tanpa terjebak
kemacetan. Andai rumah dan lingkungan di sekitarnya tidak menyenangkan maka
waktu antara pulang sekolah dan sampai dirumah, akan diisi dengan aktivitas
lain untuk menghilangkan kepenatan. Dan waktu-waktu seperti inilah yang
berpotensi untuk diisi dengan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan status
mereka sebagai pelajar.
Siapa yang mengawasi dan menemani
mereka, anak-anak yang cepat bosan di tengah rimba Jakarta?. Orang tua kah?.
Tentu saja tidak mungkin sebab orang tuanya juga sibuk membanting tulang,
berangkat dari rumah di pagi buta, pulang kala mentari sudah lama tertidur
dalam pelukkan senja. Begitu keluar rumah dan keluar sekolah, anak-anak menjadi
mahkluk liar tanpa pengawasan, meski berada di tengah-tengah lingkungan yang
modern. Siapa lagi yang peduli pada anak-anak, para pelajar ketika mereka
berada di jalanan?.
Memasuki jalanan di Kota Jakarta
dan juga kota-kota besar lainnya ibarat memasuki medan pertempuran. Semua
berebut untuk mendapatkan jalur terlebih dahulu tak peduli membuat yang lainnya
terhambat. Perjuangan di jalanan adalah menahklukkan lampu lalulintas agar kita
tak terjebak terlalu lama karenanya. Dan hampir sebagian besar waktu anak-anak,
para pelajar di habiskan di jalanan, berjuang untuk ‘survive’ agar tepat waktu
sampai di sekolah dan sampai dirumah. Watak jalanan adalah watak yang membentuk
kepribadiaannya.
Saya semasa kecil dulu sering
beradu nyali dengan teman-teman sepermainan dengan cara menyebrangi sungai,
terjun dari tebing, memanjat pohon yang tinggi, menaiki kerbau, melempar sarang
tawon dan sesekali mencuri buah di rumah orang dengan cara ‘menyambit’ di siang
hari. Dan tentu saja beda dengan adu nyali anak-anak Jakarta, yang mesti berani
memacu kendaraan (motor) meliuk-liuk di antara keramaian, bergantungan di metro
mini, menghentikan kendaraan angkutan, meloncat ke dalam kereta meski belum
berhenti dan seterusnya. Nyali yang dipertaruhkan bukan karena untuk mendapat
kesenangan melainkan sebagai kemestian agar tidak tertinggal dan terlambat.
Saya sadar bahwa dahulu juga
pernah berkelahi, main keroyokkan, tawuran memperebutkan lapangan sepakbola
dengan anak-anak kampung sebelah. Tapi tetap harus saya akui anak-anak Jakarta
lebih punya nyali, lebih berani dan lebih rajin berkelahi. Dulu saya dan
teman-teman kalau berkelahi hampir tak pernah memakai alat bantu, berkalahi
hanya bermodal tangan kosong, walau terkadang juga memakai batu. Tapi saya dan
teman-teman jelas akan lari terbirit-birit ketakutan jika ada lawan yang
terkena batu dan berdarah. Saya dan teman-teman jadi takut sendiri. Jadi
sejatinya batu hanya digunakan untuk menakut-nakuti bukan sungguh-sungguh ingin
menyakiti.
Jadi soal berkelahi sebetulnya
tak terlalu menghkhawatirkan. Toh, itu terjadi pada siapa saja, bukankah para
petinggi juga kerap menunjukkan bahwa mereka doyan berkelahi bahkan di
gedung-gedung yang terhormat. Mereka bahkan bukan hanya berkelahi tapi juga
mencuri meski mereka adalah orang-orang terhormat. Dan anak-anak belajar bahwa
para pencuri yang terhormat ternyata tak pernah menunjukkan sesal dan rasa
salah. Status tersangka tak membuat mereka merunduk dan kehilangan senyum.
Maka meskipun saya prihatin
ketika ada anak-anak berkelahi, melukai lawannya dan tidak menyesal bahkan
merasa puas karena memenangkan perang; namun saya mahfum karena mereka hanya
belajar dari para tetua yang sesungguhnya tetap berlaku bak anak-anak yang
abadi.
Pondok Wiraguna, 4 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar