Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (52)

Senin, 08 Oktober 2012

Mencoba Berkelit Dari Jurus McWorld

Tahun 1989, sebelum berlayar menuju Bitung Sulawesi Utara saya dan teman-teman seperjuangan berkumpul terlebih dahulu di Jakarta. Seorang senior di Jakarta kemudian mengajak kami jalan-jalan terlebih dahulu. Pertama kami diajak menyusuri jalan Tol yang menurutnya merupakan Tol terpanjang se Asia Tenggara. Kemudian saat makan siang, dia mengajak pergi ke gerai Mc Donald. Pilihan kesana bukan tanpa alasan, menurutnya kami harus mencoba hamburger terlebih dahulu sebab dalam pandangannya makanan ini belum tentu akan kami temui di Sulawesi Utara bahkan dalam masa 5 tahun mendatang, begitu ucapnya. Maka mumpung ada di Jakarta, kami diajak untuk mencicipinya.

Saya dan teman-teman ikut saja, nurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Mengigit setangkup roti isi daging dan sayuran yang entah apa enaknya. Tanpa sadar, saya dan teman-teman mengamini bahwa makanan Amerika ini merupakan tanda kemajuan. Siapa yang pernah memakan hamburger maka termasuk manusia maju, orang modern. Saat itu bacaan saya atas dunia masih terbatas, belum mampu melihat bahwa hamburger (dan juga donat) adalah cara Amerika meng-hegemoni dan meng-homogenisasi dunia yang tidak selalu lewat pendekatan politik serta militer melainkan juga melalui peradaban/budaya populer. McDonalisasi misalnya merujuk pada ekspansi Paman McDonald keluar dari negeri Paman Sam ke pelbagai pelosok dunia. Bahkan konon di Mc Donald’s merupakan bangunan restoran luar negeri pertama di

Kota Plauen sejak datangnya Jerman Baru (rumtuhnya tembok Berlin dan bergabungnya Jerman Timur dengan Jerman Barat). Sosiolog Benyamin R Barber memakai istilah “McWorld” untuk mengambarkan realitas nilai, rasa dan praktek industri fastfood Amerika ke setiap pelosok penjuru bumi untuk menciptakan peradaban (budaya) internasional yang homogen. Istilah ini sebenarnya bukan hanya untuk urusan makan minum, melainkan juga soal gaya hidup, musik dan film. Pasukan Jihad McWorld diwakili bukan hanya oleh Mc Donald’s melainkan juga Coca Cola, Pepso, BurgerKing, KFC, MTV, Pizza Hut, Strarbuck, Hollywood, Disney, Playboy,Penthouse dan sederetan lainnya. Pasukan McWorld sukses menginvasi negeri-negeri di luar Amerika karena sistem pemasaran mereka yang membidik sosok yang paling minim ikatannya dengan tradisi. Anak-anak dan orang muda adalah sasaran mereka. Maka persetan jika orang tua tak sudi memakan Chicken Wing atau Chicken Pepper with Hot Rice tapi anak-anak akan meronta dan menangis sejadi-jadinya apabila keluar pulang dari Mall tanpa terlebih dahulu berkunjung ke gerai KFC atau Pizza Hut.

Dan anak-anak di belahan bumi manapun sama saja, mereka menganggap Paman Ron (Donald’s) dan Kolonel Sander’s adalah orang baik hati yang paham soal makanan dan mainan apa yang mereka sukai. Di tangan para pebisnis waralaba Amerika inilah anak-anak dididik dan ditemani dalam tiap tahapan hidup mereka. Hasilnya adalah generasi global yang pikiran dan kelakuannya berorientasi pada budaya popular. Dalam kampanyenya (iklan) produsen fasfood dan industri lainnya menggunakan apa yang disebut sebagai multilocal campaign. Mereka tak segan-segan menggunakan idiom-idiom lokal untuk menarik kelompok sasaran dan menjadi jemaah yang mengimani ayat “selera lokal dengan citarasa global”. Anak-anak belajar doyan makan nasi, bukan karena bujukkan orang tua melainkan karena menu PANAS (paket nasi) yang ditawarkan oleh satu gerai fastfood.

Eksekutif muda yang gemar Hang Out, mengerti bahwa Indonesia adalah salah satu penghasil kopi terbaik di dunia saat mereka meneguk segelas kopi di gerai Starbuck. Budaya minum kopi justru diajarkan oleh pengimport dan pemilik kedai kopi yang berasal dari luar negeri. Klop sudah, serbuan budaya pop dari Negeri Obama - yang gemar makan sate dan nasi goreng – datang dikala semakin banyak keluarga yang kedua orangtuanya (bapak dan ibu) bekerja.

Waktu orang tua untuk menemani dan mengawasi anak-anaknya menjadi semakin terbatas. Pulang bekerja bukannya waktu terbaik untuk bercengkrama dengan anak-anak melainkan untuk beristirahat. Pengasuhan anak digantikan oleh saluran televisi, game console, netbook, tab, Iphone yang pada akhirnya membuat anak-anakpun bahagia tanpa orang tua. Dan melalui berbagai saluran inilah para produsen terus memupuk loyalitas, mengisi pemahaman dan menjadi sahabat serta teman yang baik bagi anak-anak. Tak heran jika kemudian anak-anak tak kenal ikan Wader juga Trakulu sebab mereka merasa terhibur oleh Nemo.

Pencak Silat apalagi Tarung Drajat tak ada dalam benak mereka, sebab soal beladiri yang ada di otak mereka hanyalah Kungfu Panda. Hantu-hantu tradisional tak bakal menakutkan lagi, kuntilanak, pocong, lampor, memedi sawah jelas kalah keren dengan zombie atau dracula. Ilmu sihir memang mereka kenal, tapi bukan sejenis tenung, santet atau pelet melainkan melalui sekolah sihir tempat Harry Potter dan teman-temannya belajar.

Saya berjuang keras untuk membuat anak saya mencintai makanan lokal. Dan hasilnya cukup terbukti, putri semata wayang saya, doyan Coto Makassar, Soto Banjar, Soto Lamongan dan Soto Madura. Tapi tetap saya tak bisa menghindari, kalo sesekali waktu dia minta dibelikan paket Chaki di KFC. Bukan karena dia doyan ayam goreng tepung Amerika itu, melainkan ada bonus mainan yang diincarnya. Pertama saya heran, bagaimana dia bisa tahu kalau Chaki ada mainannya. Usut punya usut, televisilah yang memberitahukannya. Dan begitulah Amerika, merampok orang tua melalui anak-anaknya.

Pondok Wiraguna, 6 Oktober 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum