Bias Merk
Konon, orang tua di Madura saat
dipamiti anak perempuannya untuk pergi merantau akan memberi pesan,
“Baik-baiklah di tanah seberang, kalau ketemu jodoh carilah yang Islam, minimal
Muhammadiah”. Bagi orang yang tidak mengenal sosiokultural dan religius orang
Madura, pesan ini seolah-olah menempatkan Muhammadiah dalam level Islam yang
minimal. Kalau bahasa komputer adalah yang spek-nya paling rendah. Tapi jangan
begitu sebab yang dimaksudkan memang bukan itu.
Bagi orang Madura, konon Islam
itu ya NU, itu yang mereka tahu sejak kecil dan terbawa dalam diri mereka. Maka
minimal Muhammadiah justru merupakan bentuk kemajuan, karena mereka akhirnya
membuka pintu pemahaman bahwa selain Islam NU ternyata ada Islam lainnya. Meski
begitu tetap saja yang identik dengan Islam adalah NU.
Saya tak bermaksud berolok-olok
dengan cerita diatas, itu hanya merupakan sebuah ilustrasi betapa sesuatu yang
tertanam di dalam hati dalam kebanyakan anggota masyarakat, diturunkan dari
generasi ke generasi akan berkembang menjadi pemahaman yang umum. Saking terkenalnya Honda Bebek misalnya, maka
penyebutan untuk semua motor bebek didahului dengan Honda, jadi tak usah kaget
kalau ada yang menyebut Honda Bebek
Yamaha atau Honda Bebek Suzuki.
Hal yang sama berlaku juga untuk
bubuk pembersih (sabun cuci), karena
yang dikenal dan melekat dalam ingatan adalah Rinso , maka ibu-ibu ketika
menyuruh anaknya ke warung untuk membeli bubuk pembersih akan mengatakan
“Belikan mamak Rinso ya, yang Daia atau kalau nda ada pilih Rinso yang merknya
Woow”.
Penyebutan sebuah merek menjadi
sebutan barang bukanlah tipikal pada masyarakat tertentu. Kebiasaan ini berlaku
umum. Dan biasanya terus bertahan karena diturunkan dari generasi ke generasi.
Sebutan itu kemudian hilang jika mulai ada yang kritis menentangnya atau
terjadi perubahan pengetahuan dalam masyarakat.
Namun toh tidak mudah untuk
menghapus kebiasaan itu. Menurut saya contoh yang lumayan masih aktual adalah
Aqua. Aqua, adalah merk air minum dalam kemasan yang pertama di Indonesia.
Selama bertahun-tahun Aqua berjuang agar air minum dalam kemasan diterima
masyarakat luas. Aqua pada awalnya dikenal dengan sebuatan air mineral meski
sebenarnya bukan. Perjuangan Aqua untuk memperkenalkan dirinya menjadi air dalam
kemasan hingga kemudian terkenal dan tertanam dalam benak masyarakat Indonesia,
membuat Aqua identik dengan air dalam kemasan. Semua air dalam kemasan akan
disebut sebagai Aqua. Tak heran jika kemudian kita mendengar, “Beli Aqua ya
nanti, yang Ades atau Q-bic saja, lebih murah harganya”.
Salah kaprah bukan hanya menimpa
urusan merk dan jenis barang. Cap yang sama kerap kali berlaku untuk urusan
pemahaman masyarakat yang satu pada masyarakat yang lain. Orang luar Papua
selalu menganggap bahwa semua suku di Papua memakai koteka. Padahal hanya suku
tertentu disana yang memakai koteka. Begitu juga orang Manado kerap di cap suka
gaya dan pesta-pesta, padahal para ‘party animal’ justru kebanyakan ada di
Jakarta.
Seorang yang kalem, bicara pelan
dan gaya tubuhnya menunjukkan sikap hormat, biar bernama Batak akan dikira
sebagai orang Jawa. Konon orang Jawa kerap dianggap halus budi bahasanya.
Padahal hampir seluruh tukang bom dan biang teror adalah orang Jawa.
Orang-orang Cina dianggap pelit maka kalau ada permintaan sumbangan
dilewatinya. Lebih baik tidak meminta daripada sakit hati karena tidak diberi,
begitu mungkin yang ada di benak peminta sumbangan. Padahal ternyata tidak
demikian, saya kerap mengalami, teman sekolah saya yang kebanyakan anak Thionghoa
dengan mudah meminjamkan sesuatu bahkan terkadang malah memberikannya.
Dalam hal-hal tertentu bias merek
bisa jadi bersifat netral, tidak menguntungkan tapi tak juga merugikan. Namun
sebaliknya bias perilaku yang kemudian dicap sebagai watak suku sedikit banyak
akan merupakan buruk. Cap atas suku tertentu sadar atau tidak akan berkembang
menjadi sebuah salah sangka yang tidak disadari. Dan kalau hal ini tersimpan
dalam alam sadar sedikit banyak akan mempengaruhi sikap kita pada mereka yang
suku atau agamanya berbeda dari kita. Hal yang kemudian akan membuat orang lain
merasa tidak senang dan tidak nyaman.
Saya menemukan di setiap kelompok
masyarakat selalu berkembang kecenderungan untuk melakukan generalisasi atas
sebuah sikap atau perilaku tertentu sebagai milik suku atau kelompok tertentu
pula. Ada yang berlangsung sudah sangat lama sehingga berkembang menjadi
keyakinan yang salah (mitos), dimana isinya juga pengambaran dan bahkan
penghakiman sesat atas kelompok atau suku lainnya (stereotype dan stigma).
Harus saya akui di masa lalu saya
juga kerap kali terjebak dalam perilaku seperti itu. Sikap yang kerap terlontar
lewat ucapan verbal dan bahasa tubuh yang pasti akan membuat orang lain tidak
nyaman dan tidak senang atau bahkan sakit hati. Perjumpaan dengan berbagai
kelompok yang berbeda, diberbagai tempat perlahan mengikis sedikit demi sedikit
kecenderungan untuk secara semena-mena memberi cap, menerima mentah-mentah
generalisasi. Keterbukaan, kemauan untuk mengenali kelompok lain secara lebih
mendalam akan memberikan pengetahuan yang merubah sikap atau perilaku kita
sebelum yang cenderung negatif dalam memandang kelompok lain.
Saya sadar bahwa tidak selalu
mudah untuk menghapus kecenderungan generalisasi yang menyesatkan. Namun saya
juga bersyukur, saat ini banyak sosok-sosok yang bertekun dalam melakukan
dakwah multikultural. Sebuah laku yang barangkali sunyi untuk menghapus bias
merk, cap dan penilaian buruk atau menyimpang terutama yang berlatar suku dan
agama. Kerja para aktor-aktor perdamaian ini kelak yang akan menyelamatkan
Indonesia dari perpecahan karena kekonyolan sikap dan perilaku kita.
Pondok Wiraguna, 6 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar