Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (51)

Senin, 08 Oktober 2012


Bias Merk

Konon, orang tua di Madura saat dipamiti anak perempuannya untuk pergi merantau akan memberi pesan, “Baik-baiklah di tanah seberang, kalau ketemu jodoh carilah yang Islam, minimal Muhammadiah”. Bagi orang yang tidak mengenal sosiokultural dan religius orang Madura, pesan ini seolah-olah menempatkan Muhammadiah dalam level Islam yang minimal. Kalau bahasa komputer adalah yang spek-nya paling rendah. Tapi jangan begitu sebab yang dimaksudkan memang bukan itu.

Bagi orang Madura, konon Islam itu ya NU, itu yang mereka tahu sejak kecil dan terbawa dalam diri mereka. Maka minimal Muhammadiah justru merupakan bentuk kemajuan, karena mereka akhirnya membuka pintu pemahaman bahwa selain Islam NU ternyata ada Islam lainnya. Meski begitu tetap saja yang identik dengan Islam adalah NU.

Saya tak bermaksud berolok-olok dengan cerita diatas, itu hanya merupakan sebuah ilustrasi betapa sesuatu yang tertanam di dalam hati dalam kebanyakan anggota masyarakat, diturunkan dari generasi ke generasi akan berkembang menjadi pemahaman yang umum.  Saking terkenalnya Honda Bebek misalnya, maka penyebutan untuk semua motor bebek didahului dengan Honda, jadi tak usah kaget kalau ada yang menyebut  Honda Bebek Yamaha atau Honda Bebek Suzuki.

Hal yang sama berlaku juga untuk bubuk pembersih  (sabun cuci), karena yang dikenal dan melekat dalam ingatan adalah Rinso , maka ibu-ibu ketika menyuruh anaknya ke warung untuk membeli bubuk pembersih akan mengatakan “Belikan mamak Rinso ya, yang Daia atau kalau nda ada pilih Rinso yang merknya Woow”.

Penyebutan sebuah merek menjadi sebutan barang bukanlah tipikal pada masyarakat tertentu. Kebiasaan ini berlaku umum. Dan biasanya terus bertahan karena diturunkan dari generasi ke generasi. Sebutan itu kemudian hilang jika mulai ada yang kritis menentangnya atau terjadi perubahan pengetahuan dalam masyarakat.

Namun toh tidak mudah untuk menghapus kebiasaan itu. Menurut saya contoh yang lumayan masih aktual adalah Aqua. Aqua, adalah merk air minum dalam kemasan yang pertama di Indonesia. Selama bertahun-tahun Aqua berjuang agar air minum dalam kemasan diterima masyarakat luas. Aqua pada awalnya dikenal dengan sebuatan air mineral meski sebenarnya bukan. Perjuangan   Aqua  untuk memperkenalkan dirinya menjadi air dalam kemasan hingga kemudian terkenal dan tertanam dalam benak masyarakat Indonesia, membuat Aqua identik dengan air dalam kemasan. Semua air dalam kemasan akan disebut sebagai Aqua. Tak heran jika kemudian kita mendengar, “Beli Aqua ya nanti, yang Ades atau Q-bic saja, lebih murah harganya”.

Salah kaprah bukan hanya menimpa urusan merk dan jenis barang. Cap yang sama kerap kali berlaku untuk urusan pemahaman masyarakat yang satu pada masyarakat yang lain. Orang luar Papua selalu menganggap bahwa semua suku di Papua memakai koteka. Padahal hanya suku tertentu disana yang memakai koteka. Begitu juga orang Manado kerap di cap suka gaya dan pesta-pesta, padahal para ‘party animal’ justru kebanyakan ada di Jakarta.

Seorang yang kalem, bicara pelan dan gaya tubuhnya menunjukkan sikap hormat, biar bernama Batak akan dikira sebagai orang Jawa. Konon orang Jawa kerap dianggap halus budi bahasanya. Padahal hampir seluruh tukang bom dan biang teror adalah orang Jawa. Orang-orang Cina dianggap pelit maka kalau ada permintaan sumbangan dilewatinya. Lebih baik tidak meminta daripada sakit hati karena tidak diberi, begitu mungkin yang ada di benak peminta sumbangan. Padahal ternyata tidak demikian, saya kerap mengalami, teman sekolah saya yang kebanyakan anak Thionghoa dengan mudah meminjamkan sesuatu bahkan terkadang malah memberikannya.

Dalam hal-hal tertentu bias merek bisa jadi bersifat netral, tidak menguntungkan tapi tak juga merugikan. Namun sebaliknya bias perilaku yang kemudian dicap sebagai watak suku sedikit banyak akan merupakan buruk. Cap atas suku tertentu sadar atau tidak akan berkembang menjadi sebuah salah sangka yang tidak disadari. Dan kalau hal ini tersimpan dalam alam sadar sedikit banyak akan mempengaruhi sikap kita pada mereka yang suku atau agamanya berbeda dari kita. Hal yang kemudian akan membuat orang lain merasa tidak senang dan tidak nyaman.

Saya menemukan di setiap kelompok masyarakat selalu berkembang kecenderungan untuk melakukan generalisasi atas sebuah sikap atau perilaku tertentu sebagai milik suku atau kelompok tertentu pula. Ada yang berlangsung sudah sangat lama sehingga berkembang menjadi keyakinan yang salah (mitos), dimana isinya juga pengambaran dan bahkan penghakiman sesat atas kelompok atau suku lainnya (stereotype dan stigma).

Harus saya akui di masa lalu saya juga kerap kali terjebak dalam perilaku seperti itu. Sikap yang kerap terlontar lewat ucapan verbal dan bahasa tubuh yang pasti akan membuat orang lain tidak nyaman dan tidak senang atau bahkan sakit hati. Perjumpaan dengan berbagai kelompok yang berbeda, diberbagai tempat perlahan mengikis sedikit demi sedikit kecenderungan untuk secara semena-mena memberi cap, menerima mentah-mentah generalisasi. Keterbukaan, kemauan untuk mengenali kelompok lain secara lebih mendalam akan memberikan pengetahuan yang merubah sikap atau perilaku kita sebelum yang cenderung negatif dalam memandang kelompok lain.

Saya sadar bahwa tidak selalu mudah untuk menghapus kecenderungan generalisasi yang menyesatkan. Namun saya juga bersyukur, saat ini banyak sosok-sosok yang bertekun dalam melakukan dakwah multikultural. Sebuah laku yang barangkali sunyi untuk menghapus bias merk, cap dan penilaian buruk atau menyimpang terutama yang berlatar suku dan agama. Kerja para aktor-aktor perdamaian ini kelak yang akan menyelamatkan Indonesia dari perpecahan karena kekonyolan sikap dan perilaku kita.

Pondok Wiraguna, 6 Oktober 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum