Basa-Basi Pariwisata
Sekali waktu saya menghadiri
perayaan upacara adat, dan adalah lazim
dalam upacara seperti itu akan diundang para pejabat pemerintahan. Dalam
perayaan itu pejabat pemerintahan diminta memberi sambutan. Isinya kira-kira
begini, “Hutan kita hampir habis, juga kekayaan-kekayaan alam lain seperti
batubara dan emas. Kalau itu semua sudah habis, kita akan jatuh miskin, tak
punya apa-apa lagi. Karena itulah kita harus mulai mencari dan mengembangkan
kekayaan kita yang belum tergali. Pariwisata adalah salah satu alternative yang
paling potensial, apalagi kita mempunyai kekayaan budaya yang luar biasa dan
tak akan habis walau pun kita suguhkan setiap bulan”.
Harusnya saya terharu mendengar
kesadaran dari seorang pejabat bahwa sumberdaya alam yang tak bisa diperbaharui
bukan merupakan sandaran bagi kehidupan masyarakat ke depan. Tapi ‘sorry to say’ kalau diri saya ta
sedikitpun tersentuh dengan ucapan pejabat itu. Apa bedanya ucapan itu dengan
pembicaraan para pejabat tentang pertanian, tanaman pangan, kemandirian energi
dan lain sebagainya.
Bagi saya isu pariwisata adalah
isu andalan para pejabat ketika tak tahu harus bicara apa. Para pejabat dan
sebagaian besar dari kita memang kerap melakukan gloryfikasi atas apa yang
disebut sebagai kekayaan bumi Nusantara yaitu budaya. Padahal sadar atau tidak
apa yang kita anggap sebagai kekayaan itu sesungguhnya telah kita habisi.
Setahu saya dalam berbagai
kebudayaan Nusantara, ada kaitan erat antara hidup matinya kebudayaan dengan
lingkungan (alam). Dan kita tahu persis ditempat-tempat yang kekayaan alamnya
luar biasa, telah terjadi ekploitasi besar-besaran yang membuat bentang alam
berubah drastis. Jenis kekayaan flora dan fauna yang menopang kebudayaan
tertentu sulit untuk ditemukan atau bahkan punah. Dalam kondisi seperti ini
sesungguhnya kebudayaan masyarakat di sekitarnya juga mati suri. Kalaupun ada
yang tersisa maka tak lebih bentuk-bentuk kebudayaan dalam rupa kesenian,
tari-tarian, musik atau nyanyian. Tapi apa artinya musik, gerak dan lagu, jika
apa yang digambarkan atau dihadirkan lewat kumandang telah sirna.
Pidato pejabat pemerintahan dalam
banyak kerap merupakan simplifikasi. Seolah membangun pariwisata itu gampang.
Banyak yang secara serampangan pingin berkiblat pada Bali atau sekurang-kurangnya
Yogyakarta. Dua daerah wisata yang kental dengan nuansa kultural setempat. Maka
beramai-ramai pemerintah setempat dan tentu saja dengan mereka yang merasa atau
dianggap sebagai tokoh seni-budaya mulai mencari dan menggali khasanah setempat
yang layak untuk diangkat atau ditampilkan sebagai ikon wisata seni-budaya.
Bahkan beberapa daerah mulai melangkah lebih jauh dengan menetapkan kawasan
entah desa atau komunitas tertentu menjadi desa atau daerah wisata. Sebutan
kerennya adalah desa budaya, entah apakah ini berarti desa lain yang tidak ikut
ditetapkan secara otomatis menjadi desa tak berbudaya.
Atas perilaku seperti ini, saya
menganggap mereka tengah mengalami rabun senja, melangkah dalam remang-remang.
Mereka lupa, Bali dan Yogya menjadi kuat karena ditopang oleh spirit budaya
yang hidup dan kuat. Bali dengan Hindu-nya dan Yogya dengan ketaatan serta
hormat warganya kepada Sri Sultan sebagai junjungan.
Padahal kalau mau belajar dari
pengalaman, desa-desa atau kawasan yang kemudian berkembang menjadi lokasi
wisata budaya, biasanya berkembang secara alamiah. Setapak demi setapak mereka
melangkah hingga kemudian dikenal oleh wisatawan karena disana hidup aktifitas
kebudayaan entah berkaitan religiusitas, adat istiadat yang termanifestasi
dalam bentuk seni, kerajinan, upacara dan bahkan kehidupan sehari-hati. Berbeda
dengan wisata alam baik yang asli maupun artifisial yang bisa dibuat begitu
saja dan indah, wisata seni-budaya harus menempuh jalan panjang untuk mencapai
reputasinya. Menetapkan sebuah daerah menjadi desa budaya tidak secara otomatis
atau serta merta membuat desa itu mampu menarik wisatawan serta menghasilkan
pendapatan.
Setahu saya di Samarinda ada satu
desa wisata yang cukup dikenal yaitu desa Pampang, kampung masyarakat Dayak
Kenyah. Setiap hari minggu atau hari libur di lamin dipentaskan aneka tarian
untuk dipertontonkan pada pengunjung. Pengunjung mesti menyesuaikan diri dengan
waktu itu atau tak bisa datang sewaktu-waktu ke sana. Pada hari biasa kampung
itu tak lebih dari kampung lainnya.
Di sebelah desa Pampang, ada desa
Sungai Bawang yang masuk wilayah Kutai Kartanegara. Desa Kali Bawang juga
merupakan salah satu dari puluhan desa di Kutai Kartanegara yang ditetapkan
menjadi desa budaya. Dan nasib desa budaya di Kutai Kartanegara jauh lebih
buruk daripada Pampang, desa Budaya di Kota Samarinda.
Ada kecenderungan di daerah yang
kaya dengan sumberdaya alam untuk menghibur diri ketika kekayaannya mulai
terkikis maka mulailah muncul impian tentang pariwisata. Atau bahkan ada yang
lebih aneh lagi, misalnya dari sebuah daerah yang bertumpu pada pertambangan
kemudian pasca tambang berharap akan menjadi daerah pertanian (agrobisnis,
agropolitan). Terus terang saya gagal paham soal logika apa yang sedang dipakai
oleh para pemimpinnya. Apakah pemimpin berarti pemimpi di siang bolong?.
Pondok Wiraguna, 6 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar