Pengusiran Setan
“Ada kurang lebih 50.000 aduan
yang masuk ke tahta suci tentang kerasukan setan. Oleh karenanya tahta suci
kembali berniat membuka kembali fakultas eksosisme”. Begitu kira-kira sebuah
cuplikan dialog dalam film The Rite yang menceritakan kisah kerasukan dan
pengusiran setan dengan latar belakang Gereja Katolik. Alm. Paus Yohannes
Paulus II sendiri pernah menyatakan bahwa tugas untuk mengusir setan
sebagaimana dilaksanakan oleh Santo Michael Agung masih berlangsung hingga
sekarang. Gereja terus melakukan hal itu karena kerajaan iblis masih bekerja
dan semakin merajalela.
Sebagai orang Katolik yang lahir
di Jawa tengah, saya mengenal tradisi pengusiran setan (exorcis).Upacara
pengusiran setan biasanya dilakukan saat melakukan pemberkatan rumah baru.
Pastor melakukan pembersihan rumah dari anasir-anasir jahat dengan memercikkan
air suci mengelilingi rumah dan ruangan-ruangan yang ada dalam rumah itu.
Selain itu juga dilakukan pemasangan salib yang telah diberkati. Dengan upacara
ini diharapkan rumah itu mendatangkan ketentraman bagi penghuninya karena telah
terbebas dari gangguan setan dan iblis.
Tradisi pengusiran setan bukan
hanya tradisi dalam agama-agama samawi. Kebudayaan dan kepercayaan masyarakat
tradisional juga melakukan hal itu. Dalam berbagai kebudayaan dan kepercayaan
adat diyakini bahwa ada kekuatan-kekuatan baik dan kekuatan jahat di luar diri
namun bisa merasuk ke dalam diri manusia. Kemasukan roh yang baik akan membuat
seseorang mampu melakukan hal-hal yang istimewa, seperti menyembuhkan penyakit,
mencari barang hilang dan lain sebagainya. Maka di Jawa sering kali terdengar
istilah ‘dukun tiban’, seseorang yang tidak mempelajari ilmu tertentu tiba-tiba
saja mampu melakukan berbagai penyembuhan. Lain halnya jika kemudian kemasukan
roh jahat dimana orang tiba-tiba berperilaku aneh, menakutkan dan bahkan
merusak. Tak heran jika kemudian ada orang yang ngamuk dan marah-marah tanpa
alasan kerap dibilang ‘kemasukan setan’.
Dulu sewaktu masih tinggal di
kampung halaman, saya dan teman-teman gemar menyaksikan Jaran Kepang dan
Ndolalak. Tarian tradisonal yang secara sengaja mengundang roh untuk merasuki
para penarinya. Jika seorang penari terasuki maka akan melakukan
tindakan-tindakan yang tak lazim dilakukan oleh orang normal. Contohnya
mengupas kelapa dengan mulut, memakan kembang seolah-olah makanan lezat,
mengunyah beling serasa seperti keripik, tahan di pecut dan sebagainya. Ketika
dahi mereka ditepuk oleh pawang dan dibawa bersimpuh di depan kendang biasanya
penari itu sadar. Terlihat mereka kelelahan setelahnya.
Saya tak tahu roh apa yang
merasuki mereka, entah baik atau jahat. Namun yang pasti kerasukan menjadi
hiburan tersendiri. Contoh lain adalah pertunjukan Nini Towok. Boneka yang
terbuat dari Siwur, semacam gayung yang terbuat dari batok kelapa yang diberi
gagang bambu. Sebelum dipakai untuk pertunjukkan, Siwur itu ditaruh terlebih
dahulu di kuburan. Roh dipanggil dan kemudian ‘manjing’ dalam Siwur itu,
bergerak kesana kemari. Perlu dua orang untuk memegangnya. Pertunjungan Nini
Towok ini mirip permainan yang sering dimainkan anak-anak dahulu yaitu
Jalangkung. Kadang kala dalam pertunjukkan seperti ini konon roh yang diundang
tak mau pulang dan bahkan kemudian merasuki orang yang ada disekitar situ.
Saya kemudian berpetualang ke
Sulawesi Utara, tinggal bergantian di Minahasa maupun Manado. Dan saya tak
menemui apa yang lazim saya saksikan di Jawa. Masyarakat Minahasa dan Manado
setahu saya termasuk salah satu masyarakat yang modern. Masyarakat yang sudah
meninggalkan kepercayaan-kepercayaan lama. Bahkan ada seloroh kalau di Minahasa
yang menakutkan itu bukan setan melainkan orang mabuk di jalanan. Menurut
mereka Kuntilanak-pun kalau sudah
dikasih rica-rica akan jadi ikang (lauk).
Pandangan saya berubah ketika
suatu saat saya menyaksikan Om Utu’ sibuk mempersiapkan sesuatu. Dia memotong
ruas-ruas bambu menjadi semacam gelas, mengulung tembakau menjadi rokok
lintingan dan kemudian menaruh nasi dalam kepalan untuk dibentuk menjadi
bola-bola. Saya tidak bertanya, hanya melihat dengan penasaran. Tak lama
kemudian Om Utu’ berjalan ke belakang rumah, sebuah pondok yang baru selesai
dibangun. Ditaruhnya daun nasi sebagai alas, ada tujuh lembar. Kemudian
masing-masing lembar diberi bola-bola nasi, sebutir telur dan segelas bambu cap
tikus di sampingnya. Lintingan rokok disulut lalu ditaruh di atas gelas bambu.
Kemudian Om Utu berkomat-kamit entah mengucapkan apa.
Setelah selesai semuanya saya
bertanya soal apa yang dilakukan tadi. Om Utu menjawab “Kase makang voor yang
batunggu ini tampa supaya nyanda baganggu pa torang yang tinggal disini”. Nah,
ternyata orang Minahasa juga mempunyai tradisi atau kebiasaan berkaitan dengan
roh-roh halus. Tradisi memberi makan pada roh halus agar tidak menganggu orang
yang tinggal di sekitar wilayah roh itu berada. Penunggu demikian sering
dikatakan untuk menyebut roh-roh yang berada di suatu tempat. Entah itu
pekarangan, pohon besar, belokkan, jembatan, sumber air dan lain sebagainya.
Dan tidak seperti ajaran agama samawi, ajaran adat atau tradisi biasanya lebih
akomodatif pada roh-roh, bukan diusir melainkan diberi ‘makan’ dengan
permintaan tidak menganggu. Manifestasi gangguan roh pada masyarakat dalam
kepercayaan adat adalah kesialan yang terus menerus, bencana, wabah penyakit ,
gagal panen dan sebagainya.
Namun baik kepercayaan
tradisional maupun ajaran agama anak cucu Ibrahim sama-sama mempunyai keyakinan
ada mahkluk-mahkluk di luar mahkluk hidup lainnya (manusia, binatang dan
tumbuhan) yang bisa mempengaruhi manusia. Pengaruhnya bisa berupa pengaruh baik
dan pengaruh buruk. Oleh sebab itu harus ditangkal. Nah urusan menangkal ini
caranya beda-beda, ada yang melalui negosiasi (akomodatif) tapi ada juga yang
melalui konfrontasi (pengusiran).
Saya sendiri tak bisa menyangkal
maupun menerima 100% soal urusan setan, iblis dan segala macam pasukannya itu.
Saya tak juga khawatir soal kerasukan atau gangguan dari para ‘penunggu’. Saya
saya khawatirkan justru sekarang ini bukan lagi jamannya orang kerasukan setan,
melainkan setan mungkin sudah kerasukan orang. Alhasil kitalah yang menjadi
setan bagi yang lainnya sesuatu yang atas salah satu cara dikatakan lewat
pepatah latin, Homo Homini Lupus.
Pondok Wiraguna, 8 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar