Kontemplasi : HASTAG (5)

Rabu, 28 November 2012


#jancuk

Setiap kali ada jenis layanan baru di jagad social media biasanya saya ikut-ikutan membuat account. Dan kemudian membiarkan hingga saat jenis layanan itu booming, saya sudah lupa nama account beserta passwordnya. Meski sebenarnya mudah untuk melacaknya namun biasanya saya malas dan memilih membuat account baru.

Cukup lama saya punya account twitter namun tak pernah saya gunakan karena tak terlalu paham apa guna twitter itu. Saya waktu itu lebih memilih aktif sebagai facebookers karena saya anggap layanan ini lebih memasyarakat dan mampu mewadahi keperluan saya terutama untuk mengupload tulisan. Facebook menyediakan layanan ‘catatan/note’ yang memungkinkan saya memasang tulisan sehingga bisa dibaca oleh mereka yang terhubung dengan saya.

Saya kurang memperhatikan twitter, karena layanan ‘berkicau’ ini lebih populer di kalangan selebritis atau mahkluk-mahkluk ternama dalam masyarakat. Dan karena saya tak termasuk sedikitpun dalam kategori itu maka saya tak memberdayakan account untuk ikut-ikut berkicau.

Namun lama kelamaan saya jadi ‘ketinggalan berita’ gara-gara topik utama perbincangan ketika ngumpul-ngumpul dengan teman-teman adalah pokok-pokok yang sedang menjadi trending topic di twittland. Saya yang tidak memantau timeline di twitter kerap kali bertanya-tanya apa yang sedang dibicarakan ini sembari pura-pura mengerti dengan ikut nimbrung pendek-pendek.

Akhirnya tanpa disuruh, sebuah account saya buat dan kemudian mulai mem-follow account-account twitter yang populer. Puluhan account populer saya ikuti sehingga timeline bergerak cepat, kicauan-kicauan silih berganti menyebar dan menebar berbagai informasi, fakta, opini, renungan, gosip dan juga fitnah. Alhasil dengan account twitter yang aktif saya bisa kembali mensejajarkan diri dengan teman-teman ketika berbincang sambil ngopi-ngopi.

Sepanjang ikut aktif di dunia twittland, salah satu twitterian yang konsisten berkicau adalah Sujiwotedjo, dalang dan budayawan yang kerap disebut sebagai presiden jancukers. Jancuk yang adalah kata makian favorit di daerah seantero Jawa Timur kemudian berkembang menjadi kata yang lazim di twitter gara-gara secara konsisten dipakai oleh mbah Sujiwotedjo. Banyak orang menjadi fasih dan tak risih mengucapkan kata jancuk, termasuk Karni Illyas, host diskusi Indonesia Lawyer Club di TV One.

Para pengikut dan pengemar Sujiwotedjo bahkan tak keberatan disebut sebagai jancukers. Saking banyaknya jancukers maka Sujiwotedjo kemudian dianggap sebagai presiden Jancuk di Republik jancukers. Bahkan Vicky Vette, artis porno yang membuat anggota DPR RI dari PKS terjungkal dari kursinya juga ikut-ikutan fasih menyebut kata jancuk.

Saya tak tahu apa istilah yang tepat untuk menyebut kenyataan bahwa kata makian kerap kali tak sungguh-sungguh bermakna makian kala digunakan. Jancuk yang kemudian kerap ditekan pengucapannya menjadi juancuk atau jiancuk, nyatanya bisa juga dipakai untuk menyatakan kekaguman atas seseorang atau sesuatu yang luar biasa. “Jiancuk wis gede kowe le, nganteng maneh”, tentu ini bukan kalimat makian dari seseorang yang tiba-tiba ketemu seorang yang dulu dikenal sewaktu masih kecil dan kemudian ketemu lagi saat sudah tumbuh besar.  Jiancuk disini mewakili perasaan kaget sekaligus kagum, tidak menyangka anak yang dulu kecil, item dan umbel-an kini sudah tinggi, besar dan gagah.

Fenomena seputar kata makian yang saat diucapkan namun tidak membuat orang lain tersinggung sebenarnya merupakan hal yang biasa dalam berbagai kebudayaan di Indonesia. Kata seperti cukimai, pukimai atau lubang puki jelas tak baik artinya namun dalam konteks tertentu pengucapakan kata itu dari seorang ke orang lainnya tidak sungguh ditujukan untuk memakai, menunjukkan emosi tidak senang atau kemarahan, melainkan malah menjadi tanda keakraban, mengungkapkan kekaguman dan rasa heran atas sesuatu hal yang nilainya positif.

Dalam dunia cerita fiksi misalnya, kita mengenal cerita Wiro Sableng dan Sinto Gendeng. Sableng dan gendeng adalah sebutan lain dari edan atau gila. Namun penulis cerita memberi imbuhan sableng dan gendeng pada Wiro dan Sinta pasti bukan dimaksudkan untuk mengambarkan pada pembaca bahwa kedua figur itu sungguh-sungguh edan atau gila. Sablengnya Wiro dan gendengnya Sinto justru untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar luar biasa, sakti, menguasai ilmu kanuragan namun tidak mewujud dalam model yang selama ini dikenal atau ditunjukkan oleh orang sakti sebagaimana biasanya. Maka sableng dan gendeng dalam cerita Wiro Sableng adalah pengakuan bahwa figur Wiro dan Sinto merupakan pendekar dan guru kanuragan yang luar biasa.

Dalam bahasa manapun selalu ada kosa kata yang digunakan untuk memaki, kosa kata yang dalam sopan santun berbahasa dipandang sebagai kata kotor yang sebanyak mungkin harus dihindari dalam pengunaan atau komunikasi sehari-hari.  Namun bahasa tak selamanya berpatokan pada aturan sopan-santun belaka. Melainkan juga berkaitan dengan rasa, dan apa yang kerap dipandang sebagai yang tidak sopan ternyata malah justru menimbulkan ‘rasa’ tertentu saat dipakai. Kata yang sebenarnya adalah kata makian, dalam konteks tertentu justru malah menjadi tanda kedekatan antara seseorang dengan orang lainnya, tanda kekaguman antara seseorang dengan orang lainnya.

Begitupula sebaliknya, kata-kata luhur, bijak dan manis tidak selamanya akan berarti atau dimaksudkan untuk kebaikan. Maka tak heran ada pepatah “indah di ucapan, namun pahit dalam kenyataan”.

Pondok Wiraguna, 26 November 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum