#jancuk
Setiap kali ada jenis layanan
baru di jagad social media biasanya saya ikut-ikutan membuat account. Dan
kemudian membiarkan hingga saat jenis layanan itu booming, saya sudah lupa nama
account beserta passwordnya. Meski sebenarnya mudah untuk melacaknya namun
biasanya saya malas dan memilih membuat account baru.
Cukup lama saya punya account
twitter namun tak pernah saya gunakan karena tak terlalu paham apa guna twitter
itu. Saya waktu itu lebih memilih aktif sebagai facebookers karena saya anggap
layanan ini lebih memasyarakat dan mampu mewadahi keperluan saya terutama untuk
mengupload tulisan. Facebook menyediakan layanan ‘catatan/note’ yang
memungkinkan saya memasang tulisan sehingga bisa dibaca oleh mereka yang
terhubung dengan saya.
Saya kurang memperhatikan
twitter, karena layanan ‘berkicau’ ini lebih populer di kalangan selebritis
atau mahkluk-mahkluk ternama dalam masyarakat. Dan karena saya tak termasuk
sedikitpun dalam kategori itu maka saya tak memberdayakan account untuk
ikut-ikut berkicau.
Namun lama kelamaan saya jadi
‘ketinggalan berita’ gara-gara topik utama perbincangan ketika ngumpul-ngumpul
dengan teman-teman adalah pokok-pokok yang sedang menjadi trending topic di
twittland. Saya yang tidak memantau timeline di twitter kerap kali bertanya-tanya
apa yang sedang dibicarakan ini sembari pura-pura mengerti dengan ikut nimbrung
pendek-pendek.
Akhirnya tanpa disuruh, sebuah
account saya buat dan kemudian mulai mem-follow account-account twitter yang
populer. Puluhan account populer saya ikuti sehingga timeline bergerak cepat,
kicauan-kicauan silih berganti menyebar dan menebar berbagai informasi, fakta,
opini, renungan, gosip dan juga fitnah. Alhasil dengan account twitter yang
aktif saya bisa kembali mensejajarkan diri dengan teman-teman ketika berbincang
sambil ngopi-ngopi.
Sepanjang ikut aktif di dunia
twittland, salah satu twitterian yang konsisten berkicau adalah Sujiwotedjo,
dalang dan budayawan yang kerap disebut sebagai presiden jancukers. Jancuk yang
adalah kata makian favorit di daerah seantero Jawa Timur kemudian berkembang
menjadi kata yang lazim di twitter gara-gara secara konsisten dipakai oleh mbah
Sujiwotedjo. Banyak orang menjadi fasih dan tak risih mengucapkan kata jancuk,
termasuk Karni Illyas, host diskusi Indonesia Lawyer Club di TV One.
Para pengikut dan pengemar
Sujiwotedjo bahkan tak keberatan disebut sebagai jancukers. Saking banyaknya
jancukers maka Sujiwotedjo kemudian dianggap sebagai presiden Jancuk di
Republik jancukers. Bahkan Vicky Vette, artis porno yang membuat anggota DPR RI
dari PKS terjungkal dari kursinya juga ikut-ikutan fasih menyebut kata jancuk.
Saya tak tahu apa istilah yang
tepat untuk menyebut kenyataan bahwa kata makian kerap kali tak sungguh-sungguh
bermakna makian kala digunakan. Jancuk yang kemudian kerap ditekan
pengucapannya menjadi juancuk atau jiancuk, nyatanya bisa juga dipakai untuk
menyatakan kekaguman atas seseorang atau sesuatu yang luar biasa. “Jiancuk wis gede kowe le, nganteng maneh”,
tentu ini bukan kalimat makian dari seseorang yang tiba-tiba ketemu seorang
yang dulu dikenal sewaktu masih kecil dan kemudian ketemu lagi saat sudah
tumbuh besar. Jiancuk disini mewakili
perasaan kaget sekaligus kagum, tidak menyangka anak yang dulu kecil, item dan
umbel-an kini sudah tinggi, besar dan gagah.
Fenomena seputar kata makian yang
saat diucapkan namun tidak membuat orang lain tersinggung sebenarnya merupakan
hal yang biasa dalam berbagai kebudayaan di Indonesia. Kata seperti cukimai,
pukimai atau lubang puki jelas tak baik artinya namun dalam konteks tertentu
pengucapakan kata itu dari seorang ke orang lainnya tidak sungguh ditujukan
untuk memakai, menunjukkan emosi tidak senang atau kemarahan, melainkan malah
menjadi tanda keakraban, mengungkapkan kekaguman dan rasa heran atas sesuatu
hal yang nilainya positif.
Dalam dunia cerita fiksi
misalnya, kita mengenal cerita Wiro Sableng dan Sinto Gendeng. Sableng dan
gendeng adalah sebutan lain dari edan atau gila. Namun penulis cerita memberi
imbuhan sableng dan gendeng pada Wiro dan Sinta pasti bukan dimaksudkan untuk
mengambarkan pada pembaca bahwa kedua figur itu sungguh-sungguh edan atau gila.
Sablengnya Wiro dan gendengnya Sinto justru untuk menunjukkan bahwa mereka
benar-benar luar biasa, sakti, menguasai ilmu kanuragan namun tidak mewujud dalam
model yang selama ini dikenal atau ditunjukkan oleh orang sakti sebagaimana
biasanya. Maka sableng dan gendeng dalam cerita Wiro Sableng adalah pengakuan
bahwa figur Wiro dan Sinto merupakan pendekar dan guru kanuragan yang luar
biasa.
Dalam bahasa manapun selalu ada
kosa kata yang digunakan untuk memaki, kosa kata yang dalam sopan santun
berbahasa dipandang sebagai kata kotor yang sebanyak mungkin harus dihindari
dalam pengunaan atau komunikasi sehari-hari.
Namun bahasa tak selamanya berpatokan pada aturan sopan-santun belaka.
Melainkan juga berkaitan dengan rasa, dan apa yang kerap dipandang sebagai yang
tidak sopan ternyata malah justru menimbulkan ‘rasa’ tertentu saat dipakai.
Kata yang sebenarnya adalah kata makian, dalam konteks tertentu justru malah
menjadi tanda kedekatan antara seseorang dengan orang lainnya, tanda kekaguman
antara seseorang dengan orang lainnya.
Begitupula sebaliknya, kata-kata
luhur, bijak dan manis tidak selamanya akan berarti atau dimaksudkan untuk
kebaikan. Maka tak heran ada pepatah “indah di ucapan, namun pahit dalam
kenyataan”.
Pondok Wiraguna, 26 November 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar