#saveTKI
Suatu kali saya diminta bicara di
depan ibu-ibu tentang perempuan dan korupsi. Tema itu sekelebat memunculkan
bayangan wajah-wajah perempuan yang setahun terakhir ini banyak diperbincangkan
pada ruang publik. Angelina Sondakh, Nunun Nurbaety, Wa Ode Nurhayati, Miranda
Goeltom, Hartato Moerdaya Poe dan lain-lain, adalah sosok perempuan yang
pintar, punya kedudukan tinggi, pergaulan luas dan kompeten pada bidang
masing-masing. Namun kemudian mereka
jadi bulan-bulanan pemberitaan karena ditenggarai terperosok dalam Tindak
Pidana Korupsi.
Saat memikirkan outline untuk
membuat tulisan sebagai bahan presentasi, saya mengingatkan pada diri sendiri
agar tidak ikut-ikutan membahas tema perempuan dan korupsi dengan kehebohan
layaknya berita-berita di media massa. Saya tak bisa menutup mata soal bias
gender dalam pemberitaan media tentang korupsi andai pelakuknya adalah
perempuan. Berita menjadi lebih berwarna dengan pokok-pokok lain yang tak ada
hubungannya dengan perilaku korupsinya. Angelina Sondakh misalnya diobrak-abrik
sampai urusan belanja, baju, merk sepatu, tas hingga sampai urusan yang hampir
mendekati kamar tidur.
Pembuat berita seolah ingin
mengkonstruksi kalau perilaku koruptif perempuan didorong oleh ‘kebutuhan’
untuk memenuhi gaya hidupnya yang tinggi, standard gaya tertentu yang harus
diikuti pada kelas sosialita. Standard yang mungkin tak akan bisa dipenuhi
andai hanya mengandalkan isi dompet dari gaji dan tunjangan semata. Tentu saja
imajinasi seperti ini amat naif terutama jika disangkutkan dengan jenis korupsi
yang terkait dengan politik. Korupsi yang maha raksasa dan tak tentu uang yang
dirampok masuk ke kantong sendiri.
Bukan karena ingin menyenangkan
pengundang yang adalah kaum perempuan kalau kemudian saya menegaskan tidak
relevan membahas korupsi dari sisi penyebab dengan status atau jenis kelamin
pelakuknya. Korupsi tak punya urusan apakah seseorang laki-laki atau perempuan.
Probabilitas untuk melakukan korupsi sama antara perempuan dan laki-laki. Sebab
korupsi lebih terkait dengan kedudukan, kekuasaan, peluang dan tekanan pada
seseorang yang berada di sebuah sistem.
Secara sosilogis dan psikologis
ada pandangan bahwa perempuan lebih mampu menahan diri untuk tidak melakukan
penyimpangan karena mempunyai standar moral lebih tinggi dari laki-laki. Namun
pandangan seperti ini tidak mutlak benar adanya. Dalam sebuah sistem yang
korup, standar moral seseorang menjadi tak berguna karena tekanan. Seseorang
bisa bertahan tidak korupsi andai kemudian memilih keluar dari lingkungan itu.
Namun siapa yang berani melakukan tindakan frontal seperti ini?. Saya yakin
tidak banyak yang berani melakukannya dengan segala pertimbangan di
belakangnya.
Oleh karenanya saya justru lebih
memfokuskan pada perilaku koruptif dan dampaknya pada perempuan. Bagi saya perempuan
justru lebih sering menjadi korban utama dari perilaku korupsi. Perempuan
menanggung kerugian dan beban tambahan akibat perilaku korupsi yang dilakukan
oleh orang lain.
Sekali lagi tak ada maksud bagi
saya untuk menyenangkan kaum perempuan dengan seolah-olah mendudukkan diri
sebagai orang yang peduli pada kelompok ini. Realita TKI utamanya Tenaga Kerja
Wanita di luar negeri adalah salah satu pokok yang bisa menjadi contoh tentang
perempuan sebagai korban perilaku koruptif. Para ahli dengan aneka penelitian
berani menyatakan bahwa salah satu dampak dari korupsi adalah pada perekonomian
negara yang melemah. Ekonomi yang tidak mampu memberi kesejahteraan pada
masyarakatnya secara luas, perkembangan ekonomi yang tidak mampu mewadahi
‘partisipasi perempuan’ untuk bekerja, mencari pendapatan untuk menopang
kehidupan dan kebutuhan hidup baik dirinya sendiri maupun keluarga.
Tingginya perilaku dan praktek
korupsi dalam penyelenggaraan kepemerintahan di Indonesia membuat investasi
yang tumbuh subur adalah ‘investasi hitam’, investasi yang merusak lingkungan
karena bertumpu pada industri ektraktif yang ekploitatif. Industri ini adalah
industri yang tidak ramah terhadap perempuan, dimana jumlah peluang kerja untuk
perempuan sedikit. Selain itu industri ektraktif biasanya juga mendorong tumbuh
suburnya industri hiburan malam dimana perempuan menjadi korban karena
dijadikan ‘komoditas’ untuk menarik pelanggan yang utamanya adalah laki-laki.
Dampak dari industri ektratif yaitu polutan, juga amat merugikan perempuan
utamanya jika sampai menimbulkan gangguan pada reproduksi. Pencemaran udara dan
air bisa mengakibatkan kasus keguguran pada ibu hamil atau kelahiran dengan
bayi yang cacat secara genetis.
Banyaknya industri di Indonesia
yang tidak menyediakan kesempatan kerja pada perempuan dalam jumlah yang besar
mengakibatkan banyak perempuan terutama yang tidak mempunyai ketrampilan khusus
memilih untuk bekerja menjadi TKW di luar negeri. Pilihan pekerjaan yang penuh
resiko karena mereka bekerja di lingkungan yang jauh dari rumah dan berada di
luar jangkauan serta pengawasan dari pemerintah. Apapun bisa terjadi terhadap
mereka tanpa diketahui oleh kita yang ada disini. Banyak cerita yang menunjukkan bahwa TKW
terus menerus menjadi korban sejak masih berada di Indonesia hingga sampai ke
luar negeri dan kembali lagi ke Indonesia.
Kisah lingkaran korupsi nampaknya
dekat dengan para TKW, mulai dari menyuap untuk memperoleh dokumen-dokumen yang
diperlukan untuk keberangkatan, gaji yang dipotong dengan hitungan yang tidak transparan
oleh agen pengirim dan kemudian menjadi sasaran pemerasan ketika pulang oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab di pintu masuk wilayah NKRI.
Bahwa kemudian pemerintah bekerja
keras untuk memperbaiki kondisi lewat
berbagai satgas atau pokja itu perlu diapresiasi. Namun kisah derita TKW mulai
dari saat hendak berangkat, ketika bekerja di luar negeri dan saat kembali ke
Indonesia masih saja menceritakan banyak lakon duka nestapa. Tak heran jika
kemudian hastag #saveTKI menjadi salah satu pokok yang kerap muncul dalam
twitterland.
Pondok Wiraguna, 27 November 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar