Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (99)

Jumat, 23 November 2012


Antara Kendari dan Samarinda

Kendari, propinsi Sulawesi Tenggara merupakan satu-satunya ibu kota propinsi di pulau Sulawesi yang belum sempat saya kunjungi  ketika saya tinggal selama 10 tahunan di Sulawesi Utara. Kesempatan untuk berkunjung ke Kota Kendari justru datang ketika saya telah berpindah dan tinggal di Samarinda Kalimantan Timur. Seorang kolega mengajak untuk mengerjakan sebuah proyek riset dan pengembangan di Pomalaa, Kabupaten Kolaka.

Sebelum pergi ke Pomalaa, saya sempat tinggal beberapa hari di Kota Kendari, bertemu dan berdiskusi dengan beberapa teman disana untuk mendapat sedikit gambaran tentang propinsi Sulawesi Tenggara yang tidak saya kenal sama sekali. Selain itu saya juga merekrut beberapa orang surveyor untuk membantu mengumpulkan informasi dan melakukan wawancara dengan beberapa narasumber baik di Kendari, Kolaka maupun Pomalaa.

Saya lupa persis berapa jam perjalanan Kendari – Pomalaa dengan kendaraan roda empat, yang jelas lebih dari empat jam. Pomalaa dikenal sebagai daerah penghasil nikel yang ditambang oleh PT. Aneka Tambang atau lebih dikenal dengan singkatan Antam. Memasuki Pomalaa, saya menemukan kompleks kuburan yang dari gapura masuknya jelas menandakan itu adalah kompleks kuburan orang-orang Toraja. Besarnya kompleks kuburan itu menunjukkan bahwa banyak orang Toraja tinggal di Pomalaa dan pasti sudah sejak lama.

Pertanyaan saya tentang orang Toraja, nanti akan terjawab ketika saya berbincang-bincang dengan pensiunan pegawai Antam yang masih tinggal di kompleks perumahan pegawai. Menurut Kakek yang mulai menurun pendengarannya itu, dulu di tahun 60-70 an, tidak banyak orang di sekitar kawasan tambang Antam mau bekerja sebagai pekerja tambang. Konon katanya tambang saat itu masih manual, ore (tanah yang mengandung nikel) dikeruk dengan cangkul dan skop dan dimasukkan ke dalam lori yang didorong atau ditarik oleh manusia. Jelas ini merupakan pekerjaan yang berat sehingga tidak banyak orang sekitar yang tertarik. Akibatnya Antam mendatangkan orang-orang dari Toraja untuk bekerja di tambang itu.

Banyak orang Toraja yang didatangkan dan kemudian beranak pinak di Pomalaa, sehingga sekarang kurang-kurangnya ada dua kampung yang mayoritas dihuni oleh keturunan orang Toraja. Sebagian masih ada yang meneruskan pekerjaan orang tua mereka di Antam namun sebagian besar lainnya memilih pekerjaan lainnya.

Ketika tambang sudah berkembang dan mulai menggunakan peralatan mekanis, mulailah orang-orang setempat melirik dan ingin bekerja di Antam, namun formasi pekerjaan yang tersedia di Antam juga tidak lagi banyak, sehingga tak setiap tahun bisa menerima pegawai dari warga setempat. Masalah ini kemudian menjadi soal dan Antam kerap di demo karena dianggap tidak memberi kontribusi besar dalam penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.

Apa yang terjadi di Pomalaa sebenarnya merupakan kasus klasik, kasus yang terus berulang sampai sekarang di daerah-daerah lainnya. Di kalimantan Timur, pengembangan perkebunan kelapa Sawit mungkin sudah memasuki tahun ke 10. Namun dalam rentang waktu itu ternyata sebagian besar pekerja di sektor perkebunan Sawit masih di dominasi oleh orang ‘luar’.  Apakah ini terjadi karena orang setempat tidak melirik peluang pekerjaan di sektor perkebunan sawit, atau justru karena perusahaan sawit yang tidak berniat untuk merekrut pekerja dari masyarakat sekitar wilayah operasinya.

Bisa jadi masyarakat setempat memandang pekerjaan di kebun sawit terlalu berat dan tidak seimbang antara tenaga yang dikeluarkan dengan upah yang diterima. Atau bisa jadi perusahaan mendatangkan orang dari luar karena berkaitan dengan tingkat ketrampilan pekerja, yang mana pekerja dari luar telah siap atau terbiasa kerja di perkebunan sawit.

Pemerintah selalu menyatakan investasi ditujukan untuk mensejahterakan masyarakat setempat. Kesehteraan yang dibangun dengan terbukanya lapangan kerja serta efek langsung maupun tidak langsung dari operasi usaha di sebuah daerah (trickle down efect). Setiap investasi juga mempunyai tanggungjawab untuk meningkatkan kapasitas masyarakat setempat sehingga bisa memenuhi kebutuhan sektor usaha yang beroperasi di daerah tersebut.

Namun sejak dari jaman bahari hingga saat ini apa yang dibayangkan dan dinyatakan ini tak selalu terjadi. Investasi selalu mempunyai problem yaitu menimbulkan kesenjangan pada masyarakat lokal yang kemudian kerap menimbulkan gejolak bahkan hingga menjadi konflik yang manifest dalam bentuk kekerasan.

Apa yang terjadi di perkebunan sawit yang beroperasi di Kalimantan Timur adalah sebuah contoh, dimana usaha yang sudah mencapai rentang 10 tahun belum juga mampu menumbuhkan kapasitas pada masyarakat lokal untuk menjadi pekerja atau pekebun sawit yang handal. Tenaga terus didatangkan dari luar yang bisa berakibat menimbulkan kecemburuan sosial. Persoalan antara masyarakat setempat dengan perusahaan sawit, kemudian bisa beralih menjadi persoalan masyarakat setempat dengan pekerja sawit yang berasal dari luar.

Saya juga baru mendapat informasi, ternyata ada perkebunan sawit di daerah Berau yang mendatangkan pekerja anak dari Nias. Konon sudah tiga gelombang yang didatangkan dan jumlah pekerja anak lebih dari 100 orang. Ternyata anak-anak ini bekerja dalam kondisi kerja dan imbalan yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Anak-anak dipekerjakan sebagai penyemprot bahan untuk mematikan rumput, tidak dilengkapi dengan peralatan safety seperti masker (mulut dan hidung) dan sepatu boot. Sulit bagi anak-anak ini untuk keluar dari situasi itu karena lokasi perkebunan yang sangat jauh dari pemukiman. Cerita ini terbongkar kala ada seorang anak yang berhasil melarikan diri dengan menembus kawasan tanpa pemukiman berjalan kaki selama 3 hari dengan hanya berbekal uang 6 ribu di saku.

Di balik pidato megah tentang investasi dan capaian kinerjanya untuk ekonomi daerah ternyata selalu tersembunyi cerita suram baik bagi masyarakat setempat, maupun masyarakat luar yang sengaja didatangkan untuk menopang roda investasi itu. Cerita yang bagaikan roda berputar terus menerus, berkutat pada persoalan yang sama seakan kita tak pernah belajar untuk ‘move on’. Bergerak dari satu persoalan ke persoalan lain yang menghasilkan situasi yang lebih baik.

Saat ini dalam sektor investasi dan hubungannya baik dengan pemerintah maupun masyarakat telah dirumuskan sebuah pengertian bersama yang menempatkan baik masyarakat, pemerintah maupun dunia usaha sebagai pemegang kepentingan yang setara. Dunia usaha sebagai entitas menyadari tugas dari keberadaannya yang tidak sekedar mencari untuk untung semata (profit) dengan melupakan masyarakat (people) dan abai pada kelestarian alam (planet). Namun kebanyakan ini masih bertahan sebagai rumusan, kalimat yang hanya fasih terucap namun tak terbukti dalam kenyataan. Hubungan antara Pemerintah, Dunia Usaha dan Masyarakat masih diwarnai cerita suram. Kabar yang tidak sedap karena pemerintah lebih kerap berpihak dan membela kepentingan pengusaha dengan mengorbankan kepentingan masyarakatnya.

Pondok Wiraguna, 23 November 2012
@yustinus_esha  

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum