Antara Kendari dan Samarinda
Kendari, propinsi Sulawesi
Tenggara merupakan satu-satunya ibu kota propinsi di pulau Sulawesi yang belum
sempat saya kunjungi ketika saya tinggal
selama 10 tahunan di Sulawesi Utara. Kesempatan untuk berkunjung ke Kota Kendari
justru datang ketika saya telah berpindah dan tinggal di Samarinda Kalimantan
Timur. Seorang kolega mengajak untuk mengerjakan sebuah proyek riset dan
pengembangan di Pomalaa, Kabupaten Kolaka.
Sebelum pergi ke Pomalaa, saya
sempat tinggal beberapa hari di Kota Kendari, bertemu dan berdiskusi dengan
beberapa teman disana untuk mendapat sedikit gambaran tentang propinsi Sulawesi
Tenggara yang tidak saya kenal sama sekali. Selain itu saya juga merekrut
beberapa orang surveyor untuk membantu mengumpulkan informasi dan melakukan
wawancara dengan beberapa narasumber baik di Kendari, Kolaka maupun Pomalaa.
Saya lupa persis berapa jam
perjalanan Kendari – Pomalaa dengan kendaraan roda empat, yang jelas lebih dari
empat jam. Pomalaa dikenal sebagai daerah penghasil nikel yang ditambang oleh
PT. Aneka Tambang atau lebih dikenal dengan singkatan Antam. Memasuki Pomalaa,
saya menemukan kompleks kuburan yang dari gapura masuknya jelas menandakan itu
adalah kompleks kuburan orang-orang Toraja. Besarnya kompleks kuburan itu
menunjukkan bahwa banyak orang Toraja tinggal di Pomalaa dan pasti sudah sejak
lama.
Pertanyaan saya tentang orang
Toraja, nanti akan terjawab ketika saya berbincang-bincang dengan pensiunan
pegawai Antam yang masih tinggal di kompleks perumahan pegawai. Menurut Kakek
yang mulai menurun pendengarannya itu, dulu di tahun 60-70 an, tidak banyak
orang di sekitar kawasan tambang Antam mau bekerja sebagai pekerja tambang.
Konon katanya tambang saat itu masih manual, ore (tanah yang mengandung nikel)
dikeruk dengan cangkul dan skop dan dimasukkan ke dalam lori yang didorong atau
ditarik oleh manusia. Jelas ini merupakan pekerjaan yang berat sehingga tidak
banyak orang sekitar yang tertarik. Akibatnya Antam mendatangkan orang-orang
dari Toraja untuk bekerja di tambang itu.
Banyak orang Toraja yang
didatangkan dan kemudian beranak pinak di Pomalaa, sehingga sekarang
kurang-kurangnya ada dua kampung yang mayoritas dihuni oleh keturunan orang
Toraja. Sebagian masih ada yang meneruskan pekerjaan orang tua mereka di Antam
namun sebagian besar lainnya memilih pekerjaan lainnya.
Ketika tambang sudah berkembang
dan mulai menggunakan peralatan mekanis, mulailah orang-orang setempat melirik
dan ingin bekerja di Antam, namun formasi pekerjaan yang tersedia di Antam juga
tidak lagi banyak, sehingga tak setiap tahun bisa menerima pegawai dari warga
setempat. Masalah ini kemudian menjadi soal dan Antam kerap di demo karena
dianggap tidak memberi kontribusi besar dalam penyediaan lapangan kerja bagi
masyarakat sekitar.
Apa yang terjadi di Pomalaa
sebenarnya merupakan kasus klasik, kasus yang terus berulang sampai sekarang di
daerah-daerah lainnya. Di kalimantan Timur, pengembangan perkebunan kelapa
Sawit mungkin sudah memasuki tahun ke 10. Namun dalam rentang waktu itu ternyata
sebagian besar pekerja di sektor perkebunan Sawit masih di dominasi oleh orang
‘luar’. Apakah ini terjadi karena orang
setempat tidak melirik peluang pekerjaan di sektor perkebunan sawit, atau
justru karena perusahaan sawit yang tidak berniat untuk merekrut pekerja dari
masyarakat sekitar wilayah operasinya.
Bisa jadi masyarakat setempat
memandang pekerjaan di kebun sawit terlalu berat dan tidak seimbang antara
tenaga yang dikeluarkan dengan upah yang diterima. Atau bisa jadi perusahaan
mendatangkan orang dari luar karena berkaitan dengan tingkat ketrampilan
pekerja, yang mana pekerja dari luar telah siap atau terbiasa kerja di
perkebunan sawit.
Pemerintah selalu menyatakan
investasi ditujukan untuk mensejahterakan masyarakat setempat. Kesehteraan yang
dibangun dengan terbukanya lapangan kerja serta efek langsung maupun tidak
langsung dari operasi usaha di sebuah daerah (trickle down efect). Setiap
investasi juga mempunyai tanggungjawab untuk meningkatkan kapasitas masyarakat
setempat sehingga bisa memenuhi kebutuhan sektor usaha yang beroperasi di
daerah tersebut.
Namun sejak dari jaman bahari
hingga saat ini apa yang dibayangkan dan dinyatakan ini tak selalu terjadi.
Investasi selalu mempunyai problem yaitu menimbulkan kesenjangan pada
masyarakat lokal yang kemudian kerap menimbulkan gejolak bahkan hingga menjadi
konflik yang manifest dalam bentuk kekerasan.
Apa yang terjadi di perkebunan
sawit yang beroperasi di Kalimantan Timur adalah sebuah contoh, dimana usaha
yang sudah mencapai rentang 10 tahun belum juga mampu menumbuhkan kapasitas
pada masyarakat lokal untuk menjadi pekerja atau pekebun sawit yang handal.
Tenaga terus didatangkan dari luar yang bisa berakibat menimbulkan kecemburuan
sosial. Persoalan antara masyarakat setempat dengan perusahaan sawit, kemudian
bisa beralih menjadi persoalan masyarakat setempat dengan pekerja sawit yang
berasal dari luar.
Saya juga baru mendapat
informasi, ternyata ada perkebunan sawit di daerah Berau yang mendatangkan
pekerja anak dari Nias. Konon sudah tiga gelombang yang didatangkan dan jumlah
pekerja anak lebih dari 100 orang. Ternyata anak-anak ini bekerja dalam kondisi
kerja dan imbalan yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Anak-anak
dipekerjakan sebagai penyemprot bahan untuk mematikan rumput, tidak dilengkapi
dengan peralatan safety seperti masker (mulut dan hidung) dan sepatu boot.
Sulit bagi anak-anak ini untuk keluar dari situasi itu karena lokasi perkebunan
yang sangat jauh dari pemukiman. Cerita ini terbongkar kala ada seorang anak
yang berhasil melarikan diri dengan menembus kawasan tanpa pemukiman berjalan
kaki selama 3 hari dengan hanya berbekal uang 6 ribu di saku.
Di balik pidato megah tentang
investasi dan capaian kinerjanya untuk ekonomi daerah ternyata selalu
tersembunyi cerita suram baik bagi masyarakat setempat, maupun masyarakat luar
yang sengaja didatangkan untuk menopang roda investasi itu. Cerita yang
bagaikan roda berputar terus menerus, berkutat pada persoalan yang sama seakan
kita tak pernah belajar untuk ‘move on’. Bergerak dari satu persoalan ke
persoalan lain yang menghasilkan situasi yang lebih baik.
Saat ini dalam sektor investasi
dan hubungannya baik dengan pemerintah maupun masyarakat telah dirumuskan
sebuah pengertian bersama yang menempatkan baik masyarakat, pemerintah maupun dunia
usaha sebagai pemegang kepentingan yang setara. Dunia usaha sebagai entitas
menyadari tugas dari keberadaannya yang tidak sekedar mencari untuk untung
semata (profit) dengan melupakan masyarakat (people) dan abai pada kelestarian
alam (planet). Namun kebanyakan ini masih bertahan sebagai rumusan, kalimat
yang hanya fasih terucap namun tak terbukti dalam kenyataan. Hubungan antara
Pemerintah, Dunia Usaha dan Masyarakat masih diwarnai cerita suram. Kabar yang
tidak sedap karena pemerintah lebih kerap berpihak dan membela kepentingan
pengusaha dengan mengorbankan kepentingan masyarakatnya.
Pondok Wiraguna, 23 November 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar