Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (100)

Jumat, 23 November 2012


Menulis Setiap Hari

Dalam perbincangan, dosen etika saya memberi sebuah rasionalisasi tentang manusia dan keabadian dan manusia dengan penjelasan yang sangat masuk akal dan tidak berbau spiritualisasi. Menurutnya manusia abadi karena setelah mati  karena masih diingat oleh manusia lain, terutama oleh orang-orang yang dekat dengannya. Seseorang diceritakan dan dikenang dari satu generasi ke generasi lainnya. Itulah kenapa tujuan hidup tertinggi kerap dirumuskan dengan kata menjadi berarti untuk sesama. Seorang tokoh pendidikan dari Sulawesi Utara, Dr. GSSJ Sam Ratulangi mempopulerkan istilah Si Tou Tumou Tou, manusia hidup untuk menghidupkan orang lain. Semboyan yang melawan kata homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya.

Apa yang diterangkan oleh Dosen saya mempunyai benang merah dengan apa yang disampaikan oleh Sam Ratulangi dengan konsekwensi tertentu yaitu tingkat keabadian antar orang menjadi tidak sama. Orang-orang dengan lingkaran pengaruh lebih luas maka akan lebih ‘abadi’. Diceritakan dari generasi ke generasi oleh banyak orang, bahkan secara formal melalui mata pelajaran di sekolah. Maka celakalah orang meskipun baik namun karena  lingkaran pengaruhnya kecil, sehingga tak lama setelah meninggal sudah terlupakan.

Maka sebenarnya keabadian menjadi ‘ajeg’ apabila ditulis, dinarasi bukan hanya dalam cerita lisan dan tersimpan dalam ingatan orang per orang  melainkan terangkum dalam kitab. Pramoedya Ananta Toer kalau tidak salah pernah mengungkapkan pernyataan “Orang boleh pandai setinggi langit, namun kalau tidak menulis maka akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah”. Sebuah pernyataan yang dengan jelas menunjukkan bahwa menulis dan tulisan adalah jalan untuk menjadikan sesuatu atau seseorang menjadi tetap dikenang atau abadi.

Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Pram dan saya memandatkan kepada diri saya sendiri  untuk menulis setiap hari, entah jadi atau tidak. Namun saya menulis bukan untuk memenuhi apa yang dikatakan olehnya. Mandat pada diri oleh menulis sebenarnya dipengaruhi oleh nasehat seseorang yang saya dengar ketika mengatakannya pada seorang teman. Jadi sebenarnya saya melakukan nasehat yang tidak langsung ditujukan pada saya.

“Menulislah setiap hari”, begitu katanya. Entah apa yang membuat orang itu mengatakan hal demikian. Namun saya menduga, kawan saya itu bertanya tentang bagaimana bisa menulis dengan bagus. Dan setahu saya yang ditanya itu adalah seseorang yang saya kenal mempunyai kemampuan menulis di atas rata-rata. Seseorang yang bisa menghasilkan tulisan dengan cepat namun isinya tetap bernas.

Sejauh yang saya alami, memang banyak orang yang ingin bisa menulis dengan baik, namun hanya berhenti menjadi sebuah keinginan karena mulai dipusingkan dengan tetek benggek teori yang membuatnya tidak memulai untuk menulis. Maka ungkapan atau kata-kata “Menulislah setiap hari”, menjadi sama persis dengan ‘Memotretlah sesering mungkin”, sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana bisa menghasilkan foto yang bagus. Allah bisa karena biasa, begitu pepatah yang biasa kita dengar.

Menulis dan memotret adalah dua hal yang kelihatan berbeda namun sejatinya sama. Dibalik gambar dan tulisan selalu ada pesan yang ingin kita sampaikan hanya saja mediumnya berbeda. Namun tulisan maupun gambar sama-sama akan ‘bercerita’ dengan sudut tertentu sesuai dengan apa yang dipilih oleh penulis atau fotografernya.

Dan adalah benar dengan menulis setiap hari sesungguhnya kita sedang ‘learning by doing’, belajar sambil melakukan. Langkah demi langkah kita akan belajar dengan sendiri tentang menulis dan menghasilkan sebuah tulisan yang baik dengan refleksi dan evaluasi atas tulisan kita sendiri. Menulis setiap hari akan membuat kita secara otomatis menyusun outline, kerangka tulisan di balik kepala.

Dengan menulis setiap hari, segera kita akan merasa betapa pengetahuan itu penting dan ternyata pengetahuan kita akan sesuatu terbatas. Dengan demikian ada dorongan untuk terus menambah pengetahuan, peka terhadap keadaan di sekeliling, melihat dengan lebih dalam apa yang terjadi. Dan yang paling penting kita akan tahu dan sadar bahwa membaca itu penting, karena dengan membaca maka pengetahuan dan pemahaman kita akan sesuatu menjadi bertambah dan semakin baik.

Pengetahuan dan wawasan yang lebih luas karena bacaan akan membuat kita tidak kesulitan dalam membuat tulisan. Tidak kekurangan bahan dan ide tentang apa yang akan ditulis.  Saya tak tahu apa yang hendak saya tulis, lagi nda ada ide, saya sedang menunggu datangnya ilham dan inspirasi untuk saya tulis, begitu sering dikatakan oleh banyak orang ketika ditanya kenapa belum juga menulis. Padahal di sekitar kita banyak bahan yang bisa ditulis. Namun kita menjadi buntu ketika akan menulis karena berpikir muluk-muluk, bahwa tulisan harus sempurna, ilmiah, rasional dan seterusnya.

Ketika saya belajar tentang pendidikan orang dewasa, fasilitator berkali-kali mengatakan satu pokok penting untuk disimpan dalam kesadaran terdalam yaitu “kenyataan bahwa setiap orang selalu punya pengetahuan yang khas pada dirinya sendiri”. Pengetahuan yang khas muncul dari apa yang disebut sebagai sudut pandang. Orang akan menerima sesuatu dari sudut pandangnya sendiri, sudut pandang yang dibangun dari segenap pengalaman dari perjalanan hidupnya yang khas. Dengan demikian pengetahuan seseorang selalu unik.

Setiap hari kita pasti akan berhadapan dan mengalami sebuah kejadian baik secara langsung maupun tidak. Sebuah perjumpaan yang akan menghasilkan ‘pengetahuan’ sebagai hasil permenungan, perbandingan, perkembangan, pembaharuan dan seterusnya. Dan untuk saya inilah yang akan saya tulis, saya menulis segala sesuatu dari sudut pandang diri saya yang bisa saja kemudian diperbandingkan dengan sudut pandang orang lain atau sudut pandang umum, ilmu pengetahuan, moral, agama dan sebagainya.

Di jaman kita sekarang ini segala macam hal telah terungkap, namun meski telah ada ribuan tulisan tentang sesuatu hal tetap kita masih bisa menghasilkan satu tulisan tentang hal itu dengan sebuah kekhasan kita sendiri. Itu terjadi karena kita mempunyai ‘mind map’ sendiri atas sesuatu hal dengan demikian selalu tersisa ruang yang tidak dilihat atau dipunyai oleh orang lain. Sebuah tulisan menjadi orisinil bukan karena apa yang kita tulis belum pernah ditulis orang lain. Sebuah tulisan menjadi orisinil justru karena dalam tulisan itu ada style dan identitas diri kita yang tak mungkin ditiru oleh orang lain.

Memang bisa saja pada awal-awalnya kita meniru gaya atau terpengaruh dengan model tulisan orang lain. Sebagai sebuah pembelajaran, meniru bukanlah sesuatu yang haram. Toh, sejak kecil kita melakukan sesuatu juga dimulai dengan meniru orang lain. Namun perlahan-lahan pasti kita akan menemukan gaya kita sendiri, gaya yang menurut kita paling cocok dengan diri kita.

Terus terang saya memilih menulis dengan gaya bertutur, menulis seperti tengah bercerita atau berbicara, sebuah gaya yang dipakai oleh banyak penulis ternama. Tapi saya yakin apa yang saya ceritakan, saya tuturkan meski menyorot soal yang sama akan berbeda dengan apa yang dituturkan oleh Farid Gaban, Emha Ainun Nadjib, Zaim Zaidi, Hamid Barsyaib, Mahbud Djunaidi, Samuel Mulia, Budiarto Shambazi dan lain sebagainya.

Jadi sebenarnya tidak ada satu alasan yang membuat kita sulit untuk menulis. Dan agar menulis tidak terasa semakin sulit serta bikin sakit kepala, maka kalau ada orang yang bertanya pada saya tentang bagaimana cara menulis, saya akan mengulangi jawaban temannya teman saya yaitu menulislah setiap hari. Lalu agar tulisan mengalir dan mudah dicerna, akan saya tambahkan lagi satu nasehar yaitu menulislah seperti kita sedang berbicara.

Pondok Wiraguna, 22  November 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum