Menulis Setiap Hari
Dalam perbincangan, dosen etika
saya memberi sebuah rasionalisasi tentang manusia dan keabadian dan manusia
dengan penjelasan yang sangat masuk akal dan tidak berbau spiritualisasi.
Menurutnya manusia abadi karena setelah mati karena masih diingat oleh manusia lain,
terutama oleh orang-orang yang dekat dengannya. Seseorang diceritakan dan
dikenang dari satu generasi ke generasi lainnya. Itulah kenapa tujuan hidup
tertinggi kerap dirumuskan dengan kata menjadi berarti untuk sesama. Seorang
tokoh pendidikan dari Sulawesi Utara, Dr. GSSJ Sam Ratulangi mempopulerkan
istilah Si Tou Tumou Tou, manusia hidup untuk menghidupkan orang lain. Semboyan
yang melawan kata homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi manusia
lainnya.
Apa yang diterangkan oleh Dosen
saya mempunyai benang merah dengan apa yang disampaikan oleh Sam Ratulangi
dengan konsekwensi tertentu yaitu tingkat keabadian antar orang menjadi tidak
sama. Orang-orang dengan lingkaran pengaruh lebih luas maka akan lebih ‘abadi’.
Diceritakan dari generasi ke generasi oleh banyak orang, bahkan secara formal
melalui mata pelajaran di sekolah. Maka celakalah orang meskipun baik namun
karena lingkaran pengaruhnya kecil,
sehingga tak lama setelah meninggal sudah terlupakan.
Maka sebenarnya keabadian menjadi
‘ajeg’ apabila ditulis, dinarasi bukan hanya dalam cerita lisan dan tersimpan
dalam ingatan orang per orang melainkan terangkum
dalam kitab. Pramoedya Ananta Toer kalau tidak salah pernah mengungkapkan pernyataan
“Orang boleh pandai setinggi langit, namun kalau tidak menulis maka akan hilang
dalam masyarakat dan dari sejarah”. Sebuah pernyataan yang dengan jelas
menunjukkan bahwa menulis dan tulisan adalah jalan untuk menjadikan sesuatu
atau seseorang menjadi tetap dikenang atau abadi.
Saya setuju dengan apa yang
dikatakan oleh Pram dan saya memandatkan kepada diri saya sendiri untuk menulis setiap hari, entah jadi atau
tidak. Namun saya menulis bukan untuk memenuhi apa yang dikatakan olehnya. Mandat
pada diri oleh menulis sebenarnya dipengaruhi oleh nasehat seseorang yang saya
dengar ketika mengatakannya pada seorang teman. Jadi sebenarnya saya melakukan
nasehat yang tidak langsung ditujukan pada saya.
“Menulislah setiap hari”, begitu
katanya. Entah apa yang membuat orang itu mengatakan hal demikian. Namun saya
menduga, kawan saya itu bertanya tentang bagaimana bisa menulis dengan bagus.
Dan setahu saya yang ditanya itu adalah seseorang yang saya kenal mempunyai
kemampuan menulis di atas rata-rata. Seseorang yang bisa menghasilkan tulisan
dengan cepat namun isinya tetap bernas.
Sejauh yang saya alami, memang
banyak orang yang ingin bisa menulis dengan baik, namun hanya berhenti menjadi
sebuah keinginan karena mulai dipusingkan dengan tetek benggek teori yang
membuatnya tidak memulai untuk menulis. Maka ungkapan atau kata-kata
“Menulislah setiap hari”, menjadi sama persis dengan ‘Memotretlah sesering
mungkin”, sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana bisa menghasilkan foto yang
bagus. Allah bisa karena biasa, begitu pepatah yang biasa kita dengar.
Menulis dan memotret adalah dua
hal yang kelihatan berbeda namun sejatinya sama. Dibalik gambar dan tulisan
selalu ada pesan yang ingin kita sampaikan hanya saja mediumnya berbeda. Namun
tulisan maupun gambar sama-sama akan ‘bercerita’ dengan sudut tertentu sesuai
dengan apa yang dipilih oleh penulis atau fotografernya.
Dan adalah benar dengan menulis
setiap hari sesungguhnya kita sedang ‘learning by doing’, belajar sambil
melakukan. Langkah demi langkah kita akan belajar dengan sendiri tentang
menulis dan menghasilkan sebuah tulisan yang baik dengan refleksi dan evaluasi
atas tulisan kita sendiri. Menulis setiap hari akan membuat kita secara
otomatis menyusun outline, kerangka tulisan di balik kepala.
Dengan menulis setiap hari,
segera kita akan merasa betapa pengetahuan itu penting dan ternyata pengetahuan
kita akan sesuatu terbatas. Dengan demikian ada dorongan untuk terus menambah
pengetahuan, peka terhadap keadaan di sekeliling, melihat dengan lebih dalam
apa yang terjadi. Dan yang paling penting kita akan tahu dan sadar bahwa
membaca itu penting, karena dengan membaca maka pengetahuan dan pemahaman kita
akan sesuatu menjadi bertambah dan semakin baik.
Pengetahuan dan wawasan yang
lebih luas karena bacaan akan membuat kita tidak kesulitan dalam membuat
tulisan. Tidak kekurangan bahan dan ide tentang apa yang akan ditulis. Saya tak tahu apa yang hendak saya tulis,
lagi nda ada ide, saya sedang menunggu datangnya ilham dan inspirasi untuk saya
tulis, begitu sering dikatakan oleh banyak orang ketika ditanya kenapa belum
juga menulis. Padahal di sekitar kita banyak bahan yang bisa ditulis. Namun
kita menjadi buntu ketika akan menulis karena berpikir muluk-muluk, bahwa
tulisan harus sempurna, ilmiah, rasional dan seterusnya.
Ketika saya belajar tentang
pendidikan orang dewasa, fasilitator berkali-kali mengatakan satu pokok penting
untuk disimpan dalam kesadaran terdalam yaitu “kenyataan bahwa setiap orang
selalu punya pengetahuan yang khas pada dirinya sendiri”. Pengetahuan yang khas
muncul dari apa yang disebut sebagai sudut pandang. Orang akan menerima sesuatu
dari sudut pandangnya sendiri, sudut pandang yang dibangun dari segenap
pengalaman dari perjalanan hidupnya yang khas. Dengan demikian pengetahuan
seseorang selalu unik.
Setiap hari kita pasti akan
berhadapan dan mengalami sebuah kejadian baik secara langsung maupun tidak.
Sebuah perjumpaan yang akan menghasilkan ‘pengetahuan’ sebagai hasil
permenungan, perbandingan, perkembangan, pembaharuan dan seterusnya. Dan untuk
saya inilah yang akan saya tulis, saya menulis segala sesuatu dari sudut
pandang diri saya yang bisa saja kemudian diperbandingkan dengan sudut pandang
orang lain atau sudut pandang umum, ilmu pengetahuan, moral, agama dan
sebagainya.
Di jaman kita sekarang ini segala
macam hal telah terungkap, namun meski telah ada ribuan tulisan tentang sesuatu
hal tetap kita masih bisa menghasilkan satu tulisan tentang hal itu dengan
sebuah kekhasan kita sendiri. Itu terjadi karena kita mempunyai ‘mind map’
sendiri atas sesuatu hal dengan demikian selalu tersisa ruang yang tidak
dilihat atau dipunyai oleh orang lain. Sebuah tulisan menjadi orisinil bukan
karena apa yang kita tulis belum pernah ditulis orang lain. Sebuah tulisan
menjadi orisinil justru karena dalam tulisan itu ada style dan identitas diri
kita yang tak mungkin ditiru oleh orang lain.
Memang bisa saja pada
awal-awalnya kita meniru gaya atau terpengaruh dengan model tulisan orang lain.
Sebagai sebuah pembelajaran, meniru bukanlah sesuatu yang haram. Toh, sejak
kecil kita melakukan sesuatu juga dimulai dengan meniru orang lain. Namun
perlahan-lahan pasti kita akan menemukan gaya kita sendiri, gaya yang menurut
kita paling cocok dengan diri kita.
Terus terang saya memilih menulis
dengan gaya bertutur, menulis seperti tengah bercerita atau berbicara, sebuah
gaya yang dipakai oleh banyak penulis ternama. Tapi saya yakin apa yang saya
ceritakan, saya tuturkan meski menyorot soal yang sama akan berbeda dengan apa
yang dituturkan oleh Farid Gaban, Emha Ainun Nadjib, Zaim Zaidi, Hamid Barsyaib,
Mahbud Djunaidi, Samuel Mulia, Budiarto Shambazi dan lain sebagainya.
Jadi sebenarnya tidak ada satu
alasan yang membuat kita sulit untuk menulis. Dan agar menulis tidak terasa
semakin sulit serta bikin sakit kepala, maka kalau ada orang yang bertanya pada
saya tentang bagaimana cara menulis, saya akan mengulangi jawaban temannya
teman saya yaitu menulislah setiap hari. Lalu agar tulisan mengalir dan mudah
dicerna, akan saya tambahkan lagi satu nasehar yaitu menulislah seperti kita
sedang berbicara.
Pondok Wiraguna, 22
November 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar