Kopi Basi
Seingat saya bapak bukan peminum
kopi, namun kalau malam-malam ada tetangga yang bertamu biasanya akan
disuguhkan kopi. Waktu itu belum banyak kopi kemasan yang dijual di warung.
Pemilik warung biasanya mengiling sendiri kopi untuk dijual dalam ‘conthong’
yang terbuat dari kertas. Kopi bubuk dijual eceran dengan ukuran sendok makan.
Saya belajar minum kopi dengan
mencicipi sisa kopi yang tidak habis diminum oleh tamu bapak. Sebab membuat
kopi untuk diminum sendiri pasti akan dimarahi. Kopi dianggap bukan minuman
yang cocok untuk anak-anak, cepat tua nanti begitu kata ibu saya. Aturan minum
kopi menjadi sedikit longgar saat ada acara ‘lek-lek-an’, berkumpul bersama
malam hari, berjaga-jaga saat ada kedukaan, kelahiran atau acara lainnya. Kopi
disajikan sebagai minuman utama agar orang-orang yang hadir tahan ‘melek’
semalaman. Pada acara itu biasanya orang
tua akan membiarkan anak-anak ikut menikmati sedapnya minum kopi.
Almarhum nenek saya adalah
satu-satunya orang yang mentolerir kesenangan saya minum kopi sewaktu masih
kanak-kanak. Setiap kali saya berlibur ke rumah nenek, bukan susu yang
disajikan oleh nenek melainkan kopi. Ada
satu tradisi di rumah nenek sewaktu beliau masih hidup yaitu minum di sore hari,
minuman panas yang disajikan bisa teh atau kopi. Semua diseduh tanpa campuran
gula, jadi tehnya tawar dan kopinya pahit. Kalau tak ingin minum teh tawar dan
kopi pahit, nenek menyediakan bongkahan gula aren, untuk digigit setelah teh
atau kopi diteguk.
Rumah nenek berada di daerah
pegunungan, dimana kebun-kebunnya banyak ditanami cengkeh, kopi dan vanilli.
Hanya saja kopi tidak terlalu terpelihara dan pohonnya sudah tinggi-tinggi
serta buahnya tak lagi banyak. Suatu waktu diperkenalkan jenis kopi baru yang
pohonnya tidak meninggi melainkan melebar. Seingat saya bapak juga ikut menanam
beberapa pohon di halaman depan , namun tak pernah dipanen dan hanya menjadi
hiasan pekarangan depan.
Saat sekolah dan tinggal di
Sulawesi Utara, ibarat ‘tumbu ketemu tutup’, klop antara kebiasaan masyarakat
disana dan kesenangan saya minum kopi. Kopi menjadi sajian yang lumrah, minuman
sehari-hari. Bahkan di asrama, saat ‘potus’ (minum sore dan malam) bila tidak
cepat-cepat mengambil maka kopi akan habis duluan. Kopi yang tersohor di
Sulawesi Utara adalah Kopi Kota Mobagu yang menurut saya keasamannya rendah dan
bulat rasanya.
Memang kopi Kota Mobagu kalah
tersohor dengan kopi Toraja, Enrekang dan Kalosi dari Sulawesi Selatan, bisa
jadi karena hasil panennya tidak terlalu banyak dan terserap habis untuk
konsumsi di Sulawesi Utara. Namun di toko oleh-oleh atau souvenir di Manado,
kopi ini bisa diperoleh dalam berbagai kemasan berdasarkan beratnya. Salah satu
merek yang terkenal adalah kopi cap keluarga.
Dalam lima tahun terakhir ini
perkembangan dunia perkopian semakin semarak. Di pasaran banyak beredar
kopi-kopi dalam kemasan, baik kopi original maupun blended. Bahkan kini kopi
tak perlu lagi diseduh dengan air yang benar-benar mendidih karena ice kopi-pun
kini menjadi lazim.
Beredarnya banyak merek dan jenis
kopi membuat kita sering bingung dalam menentukan pilihan kopi mana yang hendak
diminum atau dinikmati. Rentang harganyapun bermacam-macam, mulai dari 3 ribu
rupiah di warung-warung pinggir jalan, sampai ratusan ribu di cafe-cafe ber-ac.
Hanya saja tak perlu pusing dengan soal harga, menurut saya tidak ada kopi yang
paling enak. Soal rasa kopi tidak tergantung harganya melainkan dari cara
pengolahan dan penyajiannya. Kopi mahalpun jika sudah tidak segar dan diseduh
serampangan pasti berasa air got.
Lidah setiap orang berbeda-beda
dalam menerima rasa kopi. Ada yang doyan meminum kopi beraroma rempah namun ada
juga yang menciumnya saja sudah rasa muntah. Konon untuk benar-benar meresapi
rasa kopi, seduhan itu harus dicecap tanpa diberi campuran apapun, benar-benar
original sehingga kita bisa merasakan keasaman, kepahitan dan juga manis alami
dari kopi. Namun terus terang saya tak sanggup untuk terus menerus meminum kopi
tanpa gula. Bagi saya tetap yang paling nikmat adalah kopi manis tanpa rasa
pahit.
Hanya terkadang kalau menyeduh
kopi sendiri, saya akan memberi tambahan gula beberapa saat sesudahnya. Jadi
kopi tidak dicampur dengan gula atau apapun terlebih dahulu, agar aroma kopinya
keluar. Kebanyakan para ahli kopi menyarankan agar kopi diminum selagi hangat.
Dan memang minum kopi sewaktu masih hangat terasa nikmat bukan hanya dimulut
melainkan juga aromanya yang menyentuh hidung hingga mengalir sampai hati.
Namun berlawanan dengan kebiasaan
banyak orang, saya setiap pagi justru menikmati ‘kopi basi’ selepas bangun
tidur. Kopi yang didiamkan semalam itu, menurut kabar yang mungkin tidak perlu
dipercaya bisa mencegah penyakit maag. Saya tak tahu apakah demikian persisnya,
hanya saja yang pasti sampai sekarang meski kebiasaan makan saya awut-awutan,
rasanya amat jarang saya diserang gangguan maag. Satu hal yang pasti, manfaat
kopi dingin untuk saya dan mungkin ini tak berlaku untuk anda-anda, adalah
sesaat setelah meminumnya saya akan segera nongkrong di kamar kecil dan
menyambut hari dengan perut terasa lega.
Pondok Wiraguna, 20 November 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar