Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (97)

Senin, 19 November 2012


Kopi Basi

Seingat saya bapak bukan peminum kopi, namun kalau malam-malam ada tetangga yang bertamu biasanya akan disuguhkan kopi. Waktu itu belum banyak kopi kemasan yang dijual di warung. Pemilik warung biasanya mengiling sendiri kopi untuk dijual dalam ‘conthong’ yang terbuat dari kertas. Kopi bubuk dijual eceran dengan ukuran sendok makan.

Saya belajar minum kopi dengan mencicipi sisa kopi yang tidak habis diminum oleh tamu bapak. Sebab membuat kopi untuk diminum sendiri pasti akan dimarahi. Kopi dianggap bukan minuman yang cocok untuk anak-anak, cepat tua nanti begitu kata ibu saya. Aturan minum kopi menjadi sedikit longgar saat ada acara ‘lek-lek-an’, berkumpul bersama malam hari, berjaga-jaga saat ada kedukaan, kelahiran atau acara lainnya. Kopi disajikan sebagai minuman utama agar orang-orang yang hadir tahan ‘melek’ semalaman.  Pada acara itu biasanya orang tua akan membiarkan anak-anak ikut menikmati sedapnya minum kopi.

Almarhum nenek saya adalah satu-satunya orang yang mentolerir kesenangan saya minum kopi sewaktu masih kanak-kanak. Setiap kali saya berlibur ke rumah nenek, bukan susu yang disajikan  oleh nenek melainkan kopi. Ada satu tradisi di rumah nenek sewaktu beliau masih hidup yaitu minum di sore hari, minuman panas yang disajikan bisa teh atau kopi. Semua diseduh tanpa campuran gula, jadi tehnya tawar dan kopinya pahit. Kalau tak ingin minum teh tawar dan kopi pahit, nenek menyediakan bongkahan gula aren, untuk digigit setelah teh atau kopi diteguk.

Rumah nenek berada di daerah pegunungan, dimana kebun-kebunnya banyak ditanami cengkeh, kopi dan vanilli. Hanya saja kopi tidak terlalu terpelihara dan pohonnya sudah tinggi-tinggi serta buahnya tak lagi banyak. Suatu waktu diperkenalkan jenis kopi baru yang pohonnya tidak meninggi melainkan melebar. Seingat saya bapak juga ikut menanam beberapa pohon di halaman depan , namun tak pernah dipanen dan hanya menjadi hiasan pekarangan depan.

Saat sekolah dan tinggal di Sulawesi Utara, ibarat ‘tumbu ketemu tutup’, klop antara kebiasaan masyarakat disana dan kesenangan saya minum kopi. Kopi menjadi sajian yang lumrah, minuman sehari-hari. Bahkan di asrama, saat ‘potus’ (minum sore dan malam) bila tidak cepat-cepat mengambil maka kopi akan habis duluan. Kopi yang tersohor di Sulawesi Utara adalah Kopi Kota Mobagu yang menurut saya keasamannya rendah dan bulat rasanya.

Memang kopi Kota Mobagu kalah tersohor dengan kopi Toraja, Enrekang dan Kalosi dari Sulawesi Selatan, bisa jadi karena hasil panennya tidak terlalu banyak dan terserap habis untuk konsumsi di Sulawesi Utara. Namun di toko oleh-oleh atau souvenir di Manado, kopi ini bisa diperoleh dalam berbagai kemasan berdasarkan beratnya. Salah satu merek yang terkenal adalah kopi cap keluarga.

Dalam lima tahun terakhir ini perkembangan dunia perkopian semakin semarak. Di pasaran banyak beredar kopi-kopi dalam kemasan, baik kopi original maupun blended. Bahkan kini kopi tak perlu lagi diseduh dengan air yang benar-benar mendidih karena ice kopi-pun kini menjadi lazim.

Beredarnya banyak merek dan jenis kopi membuat kita sering bingung dalam menentukan pilihan kopi mana yang hendak diminum atau dinikmati. Rentang harganyapun bermacam-macam, mulai dari 3 ribu rupiah di warung-warung pinggir jalan, sampai ratusan ribu di cafe-cafe ber-ac. Hanya saja tak perlu pusing dengan soal harga, menurut saya tidak ada kopi yang paling enak. Soal rasa kopi tidak tergantung harganya melainkan dari cara pengolahan dan penyajiannya. Kopi mahalpun jika sudah tidak segar dan diseduh serampangan pasti berasa air got.

Lidah setiap orang berbeda-beda dalam menerima rasa kopi. Ada yang doyan meminum kopi beraroma rempah namun ada juga yang menciumnya saja sudah rasa muntah. Konon untuk benar-benar meresapi rasa kopi, seduhan itu harus dicecap tanpa diberi campuran apapun, benar-benar original sehingga kita bisa merasakan keasaman, kepahitan dan juga manis alami dari kopi. Namun terus terang saya tak sanggup untuk terus menerus meminum kopi tanpa gula. Bagi saya tetap yang paling nikmat adalah kopi manis tanpa rasa pahit.

Hanya terkadang kalau menyeduh kopi sendiri, saya akan memberi tambahan gula beberapa saat sesudahnya. Jadi kopi tidak dicampur dengan gula atau apapun terlebih dahulu, agar aroma kopinya keluar. Kebanyakan para ahli kopi menyarankan agar kopi diminum selagi hangat. Dan memang minum kopi sewaktu masih hangat terasa nikmat bukan hanya dimulut melainkan juga aromanya yang menyentuh hidung hingga mengalir sampai hati.

Namun berlawanan dengan kebiasaan banyak orang, saya setiap pagi justru menikmati ‘kopi basi’ selepas bangun tidur. Kopi yang didiamkan semalam itu, menurut kabar yang mungkin tidak perlu dipercaya bisa mencegah penyakit maag. Saya tak tahu apakah demikian persisnya, hanya saja yang pasti sampai sekarang meski kebiasaan makan saya awut-awutan, rasanya amat jarang saya diserang gangguan maag. Satu hal yang pasti, manfaat kopi dingin untuk saya dan mungkin ini tak berlaku untuk anda-anda, adalah sesaat setelah meminumnya saya akan segera nongkrong di kamar kecil dan menyambut hari dengan perut terasa lega.

Pondok Wiraguna, 20 November 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum