MAFIA MELAYU

Jumat, 15 Juli 2011

Mafia lahir di Italia kemudian tersohor lewat film-film Amerika (Hollywood) dan anehnya menjadi istilah serta praktek perilaku yang amat biasa di Indonesia. Saking merajalelanya paktek ala mafioso, Presiden Indonesia bahkan sampai membentuk satgas yang bertujuan untuk memberangus “Mafia Peradilan/hukum”. Kenapa disebut pula mafia, bukan begal, garong atau preman?. Tentu saja karena lagak lagunya memang mirip sebagaimana digambarkan oleh film-film. Mereka melakukan kegiatan kotor (hitam atau haram) namun tetap bersih dan rapi, memadukan antara gertakan dan suap (termasuk bagi-bagi uang yang biasa disebut deposit). Mempunyai jaringan yang dalam di birokrasi dan kekuatan politik lainnya. Jaringan itu menyusup sampai ke tulang sumsum institusi penegakan hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai kehakiman.
Rekaman yang dibuka berkaitan dengan kasus PT. Massaro menunjukkan bahwa Anggodo dengan mudah menyebut-nyebut “orang tertentu’ di berbagai institusi hukum. Mereka yang disebut-sebut itu nampak punya hubungan dekat, sehingga Anggodo pun sampai tahu apa kesukaannya. Para mafioso memang terbiasa membangun hubungan dengan orang-orang yang ke depan dipandang akan punya kedudukan potensial. Mereka ini bisa mulai didekati atau bahkan dipelihara sejak menempuh pendidikan atau kala masih berpangkat rendah. Maka tak heran ada istilah “Kapolda Swasta” dan orang yang dicap itu adalah pengusaha besar namun doyan judi. Disebut “Kapolda Swasta” karena konon siapa yang hendak menjadi Kapolda di daerahnya harus berkenan kepadanya, jika tidak maka tak lama pasti akan hengkang dari sana.
Kita juga pernah dikejutkan oleh temuan fasilitas di rumah tahanan yang diusahakan sendiri oleh Artalita Suryani, yang adalah seorang pengusaha tapi ditangkap karena kasus suap. Pengusaha yang dikenal punya jaringan yang luas di kalangan pejabat baik pemerintah maupun partai ini ternyata bermewah-mewah dalam penjara. Dia mampu menyulap fasilitas penjara bukan hanya untuk kamar tidurnya saja melainkan juga ruang perawatan tubuh dan tempat bermain untuk cucunya. Konon Artalita kerap juga menganti menu makanan di penjara dengan uang pribadinya. Tak heran jika dia bukan hanya dicintai oleh petugas penjara melainkan juga oleh sesama tahanan lainnya. Artalita kemudian dipindahkan ke tempat tahanan yang lain, namun tak lama kemudian karena kelakuan baiknya, dia dibebaskan. Ketika sampai di daerah asalnya, kedatangannya disambut dengan sebuah syukuran dan tak lupa pemimpin daerahnya berharap Artalita untuk berinvestasi di kampung halamannya sendiri.
Kehebohan terus berlanjut saat terbongkar kasus yang dilakukan oleh Gayus Tambunan. Pegawai biasa di departemen keuangan tapi mempunyai kekayaan yang maha dahsyat. Soal orang kaya tentu tak bisa dilarang tapi tak masuk akal kalau Gayus sampai mempunyai kekayaan sebesar itu. Dan dengan kekayaan yang maha besar itu, dia terus bisa melenggang kesana-kemari meskipun semua mata bangsa ini tengah memelototi kasusnya. Bayangkan ketika dia tengah menjadi “selebritas” nomor satu di Indonesia dan ditahan di tempat penahanan paling disiplin, toh masih bisa merayu para petugasnya untuk meloloskan dirinya pergi “refreshing”. Kekuatan apa yang membuat dirinya mampu membuat orang lain mempertaruhkan kedudukan dan masa depan diri serta keluarganya.
Berkali-kali KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menangkap tangan entah birokrat, politisi atau penegak hukum yang menerima suap. Dari penangkapan ini terlihat bahwa gurita para mafia telah mencengkeram erat. Aksi para mafia tidak selalu bernuansa ekonomi belaka melainkan sudah masuk ke wilayah pengaruh politik atau kedudukan. Mereka seolah-olah bisa mendudukkan orang dalam kedudukan ini atau itu. Begitu pula sebaliknya, bisa menyingkirkan orang dari kedudukannya apabila tidak lagi diinginkan.
Muda, ganteng, tajir dan memiliki berbagai badan usaha yang legal, Nazaruddin mantan bendahara partai Demokrat layak menjadi tipikal mafioso lokal Indonesia. Karir politiknya begitu cepat, namanya dikaitkan dan dekat baik dengan para pembesar negeri maupun penguasa ekonomi. Ketika tersandung sebuah masalah dengan cepat dia mengatisipasi langkah penegak hukum untuk menangkapnya. Dari tempat persembunyiannya dia terus memasok berbagai informasi tentang kasus yang membelit dirinya.
Nazar dengan gencar membeber fakta aliran-aliran uang dari berbagai proyek besar entah berupa succses fee, uang terimakasih, pembagian proyek dan lain-lain pada tokoh-tokoh penting di negeri ini. Dengan motif tidak mau menanggung salah sendiri, Nazar membuka kedok yang menunjukkan watak asli korupsi yaitu kolektifitas dalam melakukan penyelewengan (korupsi selalu berjamaah). Korupsi selalu terjadi dalam sebuah lingkaran, dimana didalamnya ada pengambil keputusan, penyedia jasa, perantara (pelobby) dan kelompok penekan (entah di birokrasi atau legislasi). Kesemuanya itu dijalankan atau disembunyikan dibalik kendaraan partai politik.
“Nazar punya orang di KPK, sehingga dia tahu bahwa ada usaha-usaha dari berbagai kelompok untuk menjerat dirinya sendirian”, begitu ujaran dari “sahabat” Nazar. Lagi-lagi pernyataan ini menunjukkan bahwa Nazar memang layak disebut sebagai mafioso, karena mempunyai ‘orang-orang’ di pelbagai lembaga yang berkaitan dengan penegakan hukum. Dengan demikian Nazar selalu mendapat informasi dari dalam yang membuatnya cepat mengambil langkah berkelit dari pemeriksaan atau penangkapan.
Nazar, tetaplah bersembunyi dan teruslah berkicau. Tak penting apakah yang dinyatakan itu benar atau salah. Namun yang pasti substansi dari segenap kicauannya akan membuka tabir yang selama ini disembunyikan bahwa segenap institusi penting di negeri ini diliputi oleh persengkongkolan busuk. Busuk bukan karena memperkaya diri sendiri tetapi juga untuk mendudukkan diri agar tetap berada dalam lingkaran kekuasaan, sembari mempengaruhi kanan-kiri agar ikut membusuk. Busuk ketemu busuk hasilnya justru “wangi’. Wangi karena mendapat kedudukan tinggi, penting di mata masyarakat dan gemar mengatakan “kami berbakti untuk negeri”.
Seorang teman gemar mengutip kata asing “garbage in, garbage out”. Sebuah sistem politik dan kenegaraan yang dibangun dari “sampah” pasti akan menghasilkan “sampah” pula. Dan segera setelah menyebut kata itu, dia selalu tertawa sambil berkata “itulah negeri kita, Indonesia”.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum