Mencipta Rekor Lewat Kuliner
Siapa yang tak butuh prestasi?.
Rasanya tak banyak yang berani menjawab dirinya tak butuh prestasi. Prestasi
atas salah satu cara merupakan bahan bakar yang mampu memompa semangat
seseorang untuk menjalankan hidup dan kehidupannya dengan benar. Ada banyak
ukuran bahwa seseorang disebut sebagai berprestasi atau tidak. Namun di ruang
publik, ukuran prestasi semakin lama semakin tinggi. Standar yang dituntut
semakin berat karena kemajuan jaman telah mencapai kecepatan yang luar biasa.
Demam untuk mencipta rekor dengan
jeli ditangkap oleh Jaya Suprana lewat MURI (museum rekor Indonesia). Pasti Pak
Jaya sadar betul, bakal sedikit sekali orang Indonesia yang akan mencatatkan
dirinya di Guinnes World Records. Maka perlu dicari wadah lain yang paling
sejenis walau cakupannya ada di wilayah nasional. Dan kehadiran MURI ternyata disambut baik,
berbagai macam rekor lahir atau dicatatkan. Muncul kebanggaan-kebanggaan baru
baik bagi seseorang, kelompok maupun daerah karena namanya dicatatkan dalam
piagam rekor MURI.
Tanpa bermaksud untuk mengecilkan
makna rekor yang pada dasarnya selalu luar biasa, sebenarnya ada dalam diri
saya muncul sedikit pertanyaan. Apakah benar peristiwa-peristiwa yang
dicatatkan di musium rekor Indonesia itu pantas disebut rekor karena pencapaian
tertentu. Yang agak aneh bagi saya adalah catatan-catatan rekor yang berkaitan
dengan makanan. Ada rekor barisan tumpeng terpanjang, sate terpanjang, lemang
terpanjang, makan durian terbanyak dan lain sebagainya. Bukan apa-apa, kalau
ada nasi tumpeng sebesar stupa candi Borubudur ya wajar kalau kita berdecak
kagum, tapi kalau jajaran tumpeng biasa lalu ditata atau diarak sepanjang satu
kilometer, ya sebetulnya biasa saja, tak ada hebat-hebatnya.
Tapi ya sudahlah, barangkali kita
memang rindu akan sebuah prestasi. Karena bulutangkis keok, sepakbola
amburadul, pemerintahan kacau, suap disana sini, maka perlu stimulus lain agar
masyarakat tak frustasi. Disitulah pentingnya ada kebanggaan dan syukur-syukur
dianggap sebagai prestasi bersama. Prestasi tentu saja tak mudah untuk
diciptakan dalam waktu sesaat, tapi toh banyak orang tak kehilangan akal dengan
cara memanfaatkan apa yang sudah ada. Setiap daerah selalu (merasa) mempunyai
makanan yang khas. Ini yang kemudian dimanfaatkan untuk menciptakan rekor,
menorehkan prestasi dan pengakuan dengan selembar piagam dari MURI.
Kuliner sekarang ini memang
sedang naik daun. Acara masak memasak di televisi sudah lama ada, namun Bondan
Mak Nyus yang barangkali membuat acara makan makan menjadi populer. Rasanya
makanan apa saja jika disajikan oleh Pak Bondan, rasanya bakal mak nyus, kerasa
di lidah dan membekas di hati. Popularitas Mak Nyus membuat acara kuliner di
televisi mencapai rekor tersendiri. Kalau dulu acara kuliner TV hanya tayang di
hari minggu atau hari libur, kini mulai dari pagi hingga malam hari, acara
kuliner susul menyusul. Ada yang dipadu dengan berita pagi, musik, talkshow dan
bahkan liputan hangat didunia hinggar binggar malam hari.
Selain dunia IT, Gadget dan
musik, dunia kuliner adalah salah satu yang dengan sangat pesat berkembang di
Indonesia. Kalau dulu Rica-Rica hanya populer di Manado, kini bahkan di kota
kelahiran saya Purworejo, menu rica-rica tertulis besar-besar di kain pembatas
kios atau warung makan. Kalau di tanah asal rica-rica, masakannya berbahan
daging ayam, ikan, babi dan anjing, kini bahkan di Samarinda bisa ditemui bakso
rica-rica.
Entah angin apa yang tiba-tiba
membuat pencinta kuliner doyan yang serba pedas-pedas. Selain rica-rica muncul
juga oseng-oseng mercon, bebek super pedas dan lain sebagainya. Masakan yang
bisa membuat rambut berdiri dan mata meleleh saat mencicipinya.
Gairah dalam dunia kuliner
memunculkan istilah wisata kuliner. Entah apa maksudnya, saya sendiri tak
begitu paham dengan sebutan wisata kuliner. Barangkali istilah itu mau
menunjukkan kalau motif seseorang untuk datang ke tempat tertentu pada saat ini
didorong oleh keinginan untuk mencicipi atau menikmati makanan yang ada di
daerah itu. Kini barangkali ragam dan pesona makanan suatu daerah merupakan
daya tarik bagi warga atau masyarakat untuk mendatanginya.
Hanya saja istilah wisata kuliner
sekarang menampakkan gejala latah. Lihat saja, di sekitar stadion Segiri
terutama di dekat kolam renang berjejer tenda-tenda bertuliskan wisata kuliner
kota Samarinda. Atau begitu memasuki kawasan Lambung Mangkurat, tertulis juga
pesan yang hampir kurang lebih sama yaitu menyatakan kita tengah memasuki
kawasan wisata kuliner, utamanya nasi kuning.
Kenapa latah?. Seseorang
berwisata tentu saja bukan sekedar untuk merasa, menikmati dan kemudian
memperoleh sensasi kebahagiaan. Namun wisata juga mempunyai unsur penambahan
pengetahuan, wisata memperkaya wawasan seseorang. Coba pengetahuan apa yang
hendak diberikan kepada yang datang, andai disitu hanyalah deretan warung, yang
menjual aneka makanan mulai dari gado-gado, bakso, rawon, soto, ayam penyet,
gepuk dan seterusnya, itu saja tanpa embel-embel lain.
Apakah kemunculan pusat-pusat
jajanan sungguh-sungguh direncanakan sebagai bagian dari pendidikan masyarakat
atas kekayaan kuliner nusantara, atau sekedar (sadar atau tidak sadar)
mendorong masyarakat untuk lebih menyukai makan di luar rumah, menjadi lebih
konsumtif karena membelanjakan uang untuk makanan jadi?.
Jumlah rumah makan (warung, kios,
tenda,dll) yang luar biasa bagi pemerintah adalah potensi. Andai dikenai
retribusi (bahkan pajak) makan jumlah uang yang dikumpulkan tentu saja besar.
Ingat tidak ketika pemda DKI hendak menerapkan pajak resto dan rumah makan ke
warung tegal di Jakarta, motivasinya jelas, jumlah warung tegal yang banyak
akan menyumbangkan sejumlah pendapatan untuk mengisi pundi-pundi APBD.
Dan andai retribusi atau pajak
(makanan dan minuman) bisa diterapkan sampai ke warung, kios, tenda dan grobak,
maka bisa tercipta rekor baru di MURI, rekor pendapatan pemerintah dari sektor
kuliner. Maka patut dicurigai gembar-gembor wisata kuliner yang tidak disertai
dengan perencanaan dan program yang jelas adalah sekedar jalan halus pemerintah
daerah untuk mengenjot pendapatan melalui bidang isi mengisi perut.
Pondok Wiraguna, 1 September 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar