Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (3)

Rabu, 05 September 2012


Pesut Tak Lagi Di Mahakam

Ketika liburan kenaikan kelas, biasanya saya pergi berlibur ke rumah nenek. Hampir seluruh waktu libur akan saya habiskan disana. Dan kebetulan rumah kakak dan adik, bapak saya tidak terlalu berjauhan dengan rumah nenek. Dengan demikian saya juga bisa berkunjung dan bermalam di rumah pak lik – bu lik dan pak de – bu de. 

Saat mengunjungi rumah kakak tertua bapak, saya menemukan sesuatu yang baru di halaman rumahnya. Ternyata halaman rumah yang tadinya berhias kandang ayam hutan, telah bertambah dengan hiasan baru. Di halaman rumah Pak De, berdiri dengan gagah, sosok patung kambing jantan. Kambing jantan besar dan gagah seperti yang dipatungkan, bukanlah sosok yang asing buat saya. Kambing model begitu adalah kambing PE atau peranakan etawa. Jenis kambing yang banyak dipelihara di kecamatan Kaligesing, kabupaten Purworejo, tanah kelahiran bapak saya.

Pak De membuat patung kambing di halaman rumah bukan untuk gaya-gayaan. Sebab, ternyata kambing yang dipatungkan adalah kambing juara. Kambing yang membuat Pak De memperoleh penghargaan upakarti, penghargaan yang bergengsi di jaman pemerintahan orde baru karena akan diserahkan langsung oleh presiden waktu itu yaitu Presiden Suharto. Di jaman itu, jika di ruang tamu terpasang foto bersama presiden Suharto bakal membuat para tamu segan. Begitu melihat foto itu Pak RT yang datang untuk menagih iuran kampung bisa jadi bakal urung menagih dan berbalik jadi silaturahmi serta mengucap puja-puji karena berhasil bertemu presiden.

Membuat patung untuk menjadi tanda peringatan akan sebuah prestasi adalah kebiasaan yang jamak. Pak De dengan patung kambingnya hanyalah contoh kecil saja. Kalo kita punya kesempatan berkeliling ke berbagai daerah di nusantara, pasti di berbagai tempat strategis bakal menemui entah itu patung sapi, kerbau, kuda, orang hutan, beruang madu, ikan, kura-kura, badak dan sebagainya. Tentu patung-patung itu dibuat dan dipasang bukan tanpa makna. Patung adalah penanda dan juga identitas entah dari wilayah atau masyarakat di daerah itu. 

Apa yang mau ditunjukkan lewat patung itu barangkali adalah prestasi, bahwa daerah itu adalah penghasil ternak (sapi, kerbau, kambing atau ayam) yang tersohor. Atau barangkali merupakan penanda kekhasan, satwa yang dipatungkan adalah satwa endemik daerah itu yang tidak dipunyai atau sulit ditemukan di daerah lainnya. Harapannya begitu melihat patung Tarsius Spectrum (Tangkasi) maka orang akan ingat Sulawesi Utara, atau ketika melihat patung Macan Dahan maka orang akan teringat dengan Kutai Barat. 

Dan ketika saya pertama datang ke Samarinda tahun 2001, lalu menyempatkan diri berfoto di tepian sungai Mahakam, yang membuat saya kagum karena lebarnya, tak sengaja mata menatap patung Pesut yang bentuknya sudah kusut. Pesut, dulu saya menyangka sama dengan lumba-lumba hidup di laut. Tapi ternyata tidak, seperti yang dikatakan oleh pemandu pertunjukkan pesut di Taman Impian Jaya Ancol, tempat saya piknik waktu SMP dulu yang mengatakan bahwa pesut adalah binatang air tawar. Barangkali pesut yang saya tonton di Ancol dulu kakek neneknya berasal dari sungai Mahakam ini. 

Pesut pasti termasuk satwa penting di Kalimantan Timur, terbukti patungnya diletakkan di seberang depan kantor Gubernur. Ada juga LSM yang memakai nama Pesut, dan menjelang pemilu 2004, saya sendiri pernah terlibat ikut ramai-ramai dalam koalisi LSM Pesut Mahakam. Memang urusannya bukan soal pesut melainkan pendidikan politik untuk akar rumput. Dinamai Pesut Mahakam mungkin sebagai penghargaan atas Pesut sebagai satwa kebanggaan Kalimantan Timur. 

Sayangnya patung adalah penanda yang tidak menghadirkan. Sebagai ekpresi kebanggaan, memang iya, tapi tidak dengan sendirinya keberadaan patung itu adalah bukti kebanggaan tetap dan selalu terjaga. Toh Pesut di sungai Mahakam itu kini antara ada dan tiada. Sebagaimana patungnya yang tidak terpelihara, habitat alamiahnyapun tidak terjaga. 

Dua tahun lalu, saya sempat mampir ke rumah Pak De saya setelah lebih dari duapuluh tahun tak berkunjung ke sana. Lingkungan di desa itu telah berubah, penanda-penanda yang saya ingat sudah sirna. Dan patung kambing yang berdiri di depan halaman rumahlah yang menyelamatkan saya dari kebingungan. Patungnya masih sama, terawat dan tetap gagah. Pak De pun bercerita bahwa kini Kaligesing semakin termashsyur sebagai penghasil kambing PE terbaik. Pasar hewannya yang seminggu sekali semakin ramai dikunjungi para pembeli dari kabupaten-kabupaten lain. Konon, salah seorang saudara jauh saya, bahkan telah rutin mengirim kambing PE hingga sampai ke Malaysia.

Cerita di balik patung Kambing dan Pesut ternyata berbeda, sama-sama patung tapi beda nasib. Pak De terus memelihara patung kebanggaannya meski kambing aslinya telah tiada. Apa yang dibanggakan dan terus dijaga ternyata berkembang dan semakin membanggakan. Sementara patung Pesut yang berdiri di depan kantor pemerintahan dari salah satu propinsi terkaya di Indonesia justru merana. Barangkali tak banyak yang menenggok dan tahu kalau ada patung itu disitu. 

Adalah nasib binatang atau satwa langka di Indonesia selalu sama saja. Dibanggakan, diceritakan kepada orang luar tapi tak dipedulikan. Nama dan ujudnya kembali diperbincangkan saat menjelang lomba pemilihan ikon atau maskot untuk event-event tertentu saja. Nampaknya anak saya, yang lahir di bumi Pesut ini kembali akan bernasib sama dengan saya yakni melihat wujud Pesut hidup di Taman Impian Jaya Ancol. Entah kebetulan atau tidak, kini impian anak saya pada saat liburan adalah pergi ke Ancol yang begitu gencar diiklankan menjelang hari raya Idul Fitri lalu. 

Kapankah kita kembali bisa melihat Pesut di Mahakam bukan di tepian yang kusam?. 

Pondok Wiraguna, 4 September 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum