Pesut Tak Lagi Di Mahakam
Ketika liburan kenaikan kelas,
biasanya saya pergi berlibur ke rumah nenek. Hampir seluruh waktu libur akan
saya habiskan disana. Dan kebetulan rumah kakak dan adik, bapak saya tidak
terlalu berjauhan dengan rumah nenek. Dengan demikian saya juga bisa berkunjung
dan bermalam di rumah pak lik – bu lik dan pak de – bu de.
Saat mengunjungi rumah kakak
tertua bapak, saya menemukan sesuatu yang baru di halaman rumahnya. Ternyata
halaman rumah yang tadinya berhias kandang ayam hutan, telah bertambah dengan
hiasan baru. Di halaman rumah Pak De, berdiri dengan gagah, sosok patung
kambing jantan. Kambing jantan besar dan gagah seperti yang dipatungkan,
bukanlah sosok yang asing buat saya. Kambing model begitu adalah kambing PE
atau peranakan etawa. Jenis kambing yang banyak dipelihara di kecamatan
Kaligesing, kabupaten Purworejo, tanah kelahiran bapak saya.
Pak De membuat patung kambing di
halaman rumah bukan untuk gaya-gayaan. Sebab, ternyata kambing yang dipatungkan
adalah kambing juara. Kambing yang membuat Pak De memperoleh penghargaan
upakarti, penghargaan yang bergengsi di jaman pemerintahan orde baru karena
akan diserahkan langsung oleh presiden waktu itu yaitu Presiden Suharto. Di
jaman itu, jika di ruang tamu terpasang foto bersama presiden Suharto bakal
membuat para tamu segan. Begitu melihat foto itu Pak RT yang datang untuk
menagih iuran kampung bisa jadi bakal urung menagih dan berbalik jadi
silaturahmi serta mengucap puja-puji karena berhasil bertemu presiden.
Membuat patung untuk menjadi
tanda peringatan akan sebuah prestasi adalah kebiasaan yang jamak. Pak De
dengan patung kambingnya hanyalah contoh kecil saja. Kalo kita punya kesempatan
berkeliling ke berbagai daerah di nusantara, pasti di berbagai tempat strategis
bakal menemui entah itu patung sapi, kerbau, kuda, orang hutan, beruang madu,
ikan, kura-kura, badak dan sebagainya. Tentu patung-patung itu dibuat dan
dipasang bukan tanpa makna. Patung adalah penanda dan juga identitas entah dari
wilayah atau masyarakat di daerah itu.
Apa yang mau ditunjukkan lewat
patung itu barangkali adalah prestasi, bahwa daerah itu adalah penghasil ternak
(sapi, kerbau, kambing atau ayam) yang tersohor. Atau barangkali merupakan
penanda kekhasan, satwa yang dipatungkan adalah satwa endemik daerah itu yang
tidak dipunyai atau sulit ditemukan di daerah lainnya. Harapannya begitu
melihat patung Tarsius Spectrum (Tangkasi) maka orang akan ingat Sulawesi
Utara, atau ketika melihat patung Macan Dahan maka orang akan teringat dengan
Kutai Barat.
Dan ketika saya pertama datang ke
Samarinda tahun 2001, lalu menyempatkan diri berfoto di tepian sungai Mahakam,
yang membuat saya kagum karena lebarnya, tak sengaja mata menatap patung Pesut
yang bentuknya sudah kusut. Pesut, dulu saya menyangka sama dengan lumba-lumba
hidup di laut. Tapi ternyata tidak, seperti yang dikatakan oleh pemandu
pertunjukkan pesut di Taman Impian Jaya Ancol, tempat saya piknik waktu SMP
dulu yang mengatakan bahwa pesut adalah binatang air tawar. Barangkali pesut
yang saya tonton di Ancol dulu kakek neneknya berasal dari sungai Mahakam ini.
Pesut pasti termasuk satwa
penting di Kalimantan Timur, terbukti patungnya diletakkan di seberang depan
kantor Gubernur. Ada juga LSM yang memakai nama Pesut, dan menjelang pemilu
2004, saya sendiri pernah terlibat ikut ramai-ramai dalam koalisi LSM Pesut
Mahakam. Memang urusannya bukan soal pesut melainkan pendidikan politik untuk
akar rumput. Dinamai Pesut Mahakam mungkin sebagai penghargaan atas Pesut
sebagai satwa kebanggaan Kalimantan Timur.
Sayangnya patung adalah penanda
yang tidak menghadirkan. Sebagai ekpresi kebanggaan, memang iya, tapi tidak
dengan sendirinya keberadaan patung itu adalah bukti kebanggaan tetap dan
selalu terjaga. Toh Pesut di sungai Mahakam itu kini antara ada dan tiada.
Sebagaimana patungnya yang tidak terpelihara, habitat alamiahnyapun tidak
terjaga.
Dua tahun lalu, saya sempat
mampir ke rumah Pak De saya setelah lebih dari duapuluh tahun tak berkunjung ke
sana. Lingkungan di desa itu telah berubah, penanda-penanda yang saya ingat
sudah sirna. Dan patung kambing yang berdiri di depan halaman rumahlah yang
menyelamatkan saya dari kebingungan. Patungnya masih sama, terawat dan tetap
gagah. Pak De pun bercerita bahwa kini Kaligesing semakin termashsyur sebagai
penghasil kambing PE terbaik. Pasar hewannya yang seminggu sekali semakin ramai
dikunjungi para pembeli dari kabupaten-kabupaten lain. Konon, salah seorang
saudara jauh saya, bahkan telah rutin mengirim kambing PE hingga sampai ke Malaysia.
Cerita di balik patung Kambing
dan Pesut ternyata berbeda, sama-sama patung tapi beda nasib. Pak De terus
memelihara patung kebanggaannya meski kambing aslinya telah tiada. Apa yang
dibanggakan dan terus dijaga ternyata berkembang dan semakin membanggakan.
Sementara patung Pesut yang berdiri di depan kantor pemerintahan dari salah
satu propinsi terkaya di Indonesia justru merana. Barangkali tak banyak yang
menenggok dan tahu kalau ada patung itu disitu.
Adalah nasib binatang atau satwa
langka di Indonesia selalu sama saja. Dibanggakan, diceritakan kepada orang
luar tapi tak dipedulikan. Nama dan ujudnya kembali diperbincangkan saat
menjelang lomba pemilihan ikon atau maskot untuk event-event tertentu saja.
Nampaknya anak saya, yang lahir di bumi Pesut ini kembali akan bernasib sama
dengan saya yakni melihat wujud Pesut hidup di Taman Impian Jaya Ancol. Entah
kebetulan atau tidak, kini impian anak saya pada saat liburan adalah pergi ke
Ancol yang begitu gencar diiklankan menjelang hari raya Idul Fitri lalu.
Kapankah kita kembali bisa
melihat Pesut di Mahakam bukan di tepian yang kusam?.
Pondok Wiraguna, 4 September 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar