BIBIT dan VIRUS KORUPSI
Seorang bupati akan ditangkap KPK, lalu pendukungnya melawan seperti hendak mempertahankan negara dari serbuan Belanda. Parang, linggis, pentungan dan lain-lain diangkat. Episode akhirnya sang Bupati berhasil dibekuk, diborgol seperti maling ayam yang kecebur got dan dibawa ke Jakarta dengan pesawat komersil. Usut punya usut, langkahnya ke kursi Bupati ternyata disokong oleh pengusaha tersohor yang juga petinggi dari partai politik utama di negeri ini. Sang pengusaha tersohor ternyata juga pemimpin tertinggi dari sebuah organisasi keagamaan. Luar biasa, seorang ‘awam’ bisa memimpin sebuah organisasi keagamaan.
Kisah ini adalah salah satu dari ribuan lelucon pahit dengan latar pertautan antara kekuasaan, agama (moral) dan uang. Disebut lelucon pahit karena peristiwa-peristiwa yang nampaknya mustahil terus saja terjadi di negeri ini. Bayangkan saja, untuk pengadaan kitab suci ternyata juga tak lepas dari korupsi.
Dan bagaimana mungkin seorang pegawai rendahan mempunyai puluhan rekening yang nilainya milyard-an rupiah. Apa penjelasan itu ini semua?.
Tenang di bumi Indonesia tercinta, selalu saja ada penjelasan bahkan untuk peristiwa teraneh sekalipun. Di negeri ini tersedia banyak cerdik pandai, pembela, supporter sampai peneliti yang mampu memberikan penjelasan secara rasional, meski di balik itu kita tahu banyak tidak benarnya. Tapi apa yang kita bisa buat, mau mendebat?. Paling akhirnya jadi debat kusir, melebar kemana-mana dan berakhir dengan cilukba atau hompipa saja soal siapa yang salah dan siapa yang benar.
Rasanya kalau kita mencermati setiap kejadian, mendalami dan memikirkanya, saya jamin otak kita bakal meledak. Seseorang yang paling jeniuspun tak akan mampu mengurai dengan jelas dan cukup persoalan negeri ini.
Belum lagi kalau menelisik bagaimana cara pemerintah dan pihak-pihak yang terkait memecahkan persoalan. Pasti otaknya bakal lumer lantaran putus asa. Coba saja, deforestasi dihadapi dengan ‘Gerakan Menanam Semilyards Pohon’, nah apa hubungannya pohon yang ditanam di pinggir jalan atau bahkan di trotoar kota dengan hutan yang ada jauh di pedalaman sana. Penanaman pohon yang dilakukan oleh ‘orang kota’ yang pingin dianggap pro-lingkungan jelas bukan jawaban atas laju pengurangan luas hutan yang mencapai kecepatan ‘rekor dunia’.
Dalam sebuah kesempatan, saat duduk-dudk dengan teman bertukar ‘liur’ di warung kopi, ada seseorang mengungkapkan tanya “Andai mungkin, seumpamanya para nabi dihadirkan bersama di negeri ini, akankah mereka mampu memperbaiki kerusakan negeri ini?”. Ada yang malas menanggapi pertanyaan itu dengan menjawab, “Ya, kalau cuma andai-andai untuk apa?. Bukankah Opie Andaresta pernah menyanyikan lagu andai-andai juga yang pasti kini kamu sudah lupa”. Semuanya nampaknya menyatakan tidak mungkin, bahkan ada yang mengatakan “Saya jamin, kalau Yesus datang dan terlahir kembali disini, sebelum umur 30 tahun pasti sudah disalib”.
Dalam urusan karir, pengembangan ekonomi dan pencapaian diri, saya yakin banyak orang begitu optimis, bahkan over optimis. Saking optimisnya bahkan menjadi tidak awas, sehingga banyak orang tertipu investasi bodong lantaran terlalu bersemangat memperoleh pendapatan. Dan yang menyemangati, tentu saja dengan bayaran juga banyak. Ada sederet motivator yang siap memompa semangat dan mimpi untuk hidup lebih baik (yang diterjemahkan sebagai kaya).
Tapi coba untuk urusan perbaikan pelayanan public, siapa yang memompakan semangat para pelaksana juga masyarakat penerima manfaat?. Tidak banyak, bahkan yang tercium justru aroma pesismistik bahkan sinis.
Masihlah untung jika ada yang meragukan (skeptis), sebab artinya masih ada yang menimbang-nimbang dan mengkaji kebijakan. Tapi kebanyakan justru langsung tidak percaya.
Salah satu amanah reformasi adalah keterbukaan, akuntabilitas yang menuntut kesesuaian antara omongan dan tindakan. Integritas begitu kata kuncinya dan sayangnya tuntutan itu ditanggapi dengan aksi penandatanganan pakta integritas. Seolah-olah kalau sudah menandatangani, sim salabim abracadabra, orang itu jadi berintegritas.
Nah, giliran disoal integritasnya, lantaran ngomong mencla-mencle, eh, kembali ngeles berkelit selicin belut disiram oli.
Saya dan juga kebanyakan orang, rasanya susah untuk mempercayai ucapan para petinggi negeri, penguasa wilayah, elit baik partai maupun organisasi politik kemasyarakatan sekalipun. Sebab sebagian besar tak mempunyai rekam jejak yang bisa membuktikan bahwa ucapan-ucapannya patut dipercaya. Contoh kata, soal pemberantasan korupsi. Rasanya semua elemen negeri ini hanya menyerahkan pemberantasan korupsi pada UU, Rencana Aksi Percepatan
Pemberantasan Korupsi namun tidak pada kelakuan mereka sendiri. Coba berapa persen pejabat yang dengan sukarela melaporkan kekayaan termasuk bagaimana cara mereka memperoleh kekayaan itu.
Di luar para pejabat, dengan mudah kita juga bisa melihat sosok-sosok tertentu yang tak jelas apa pekerjaannya tapi uang dan kekayaannya bertumpuk-tumpuk, entah darimana. Saya tidak yakin kalau kekayaan itu datang dari Tuyul yang dipeliharanya, atau malam-malam dia berubah jadi Babi Ngepet yang nyedot kekayaan orang lain. Sebab orang-orang itu kalau ditelisik pasti dekat atau punya hubungan entah dengan tokoh pemerintahan, partai politik dan pengusaha hitam.
Secara teori, jika kita mengalami kebuntuan, maka untuk melakukan perubahan harus ada sebuah lompatan, break throught. Atau dalam bahasa dan pengalaman religious para nabi dulu adalah hijrah, berpindah dari satu kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Nah, dalam kondisi sekarang ini kita mau melompat atau hijrah kemana?.
Berkali-kali para pembuat kebijakan entah yang ada di lembaga perwakilan maupun lembaga pemerintahan ‘berhijrah’ hingga sampai ujung dunia, untuk belajar dari pemerintah atau masyarakat di dunia luar sana, namun entah apa hasilnya. Indonesia bukan Brazil, bukan juga Afrika Selatan, Amerika Serikat dan Belanda, apalagi Cina dan Arab meski banyak keturunannya beranak pinak di sini.
Yang lazim terjadi justru ketika ada persoalan, para pesohorlah yang mulai ‘hijrah’ dengan lari dan bersembunyi entah dimana. Atau ketika kita memilih menyelesaikan persoalan dengan ekstrim, misalnya jadi ‘teroris’ maka kitapun akan berhijrah dengan ‘mati’ karena bom bunuh diri atau ditembak oleh densus 88. Jadi, apa yang bisa kita lakukan?. Saya juga tidak tahu.
Awalnya saya mengesampingkan semua harapan dan mimpi saya, biarlah itu jadi cita-cita dan harapan anak saya. Tapi apa daya, ketika mulai sekolah, justru pengetahuan yang paling cepat berkembang adalah uang. Karena sekolah anak saya jadi tahu bahwa uang jajan itu penting, bukan hanya untuk membeli makanan di kantin, tapi juga memperoleh banyak teman apabila rajin membagi dengan teman-temannya. Berapapun yang dibawa selalu saja habis. Dan sialnya, bukan hanya ke sekolah saja, saat mau main ke rumah sebelahpun juga meminta uang jajan.
Aneh bin ajaib, saya menyekolahkan anak saya karena agar dia bisa belajar membaca dan menulis juga berhitung. Tapi belum lama bersekolah malah membawa brosur les dan kursus yang dibagi di sekolah. Les dan kursus yang bertujuan untuk memacu anak bisa membaca, menulis dan berhitung dengan tingkat hafalan yang tinggi, entah mengerti apa tidak itu tak penting. Lalu apa tugas guru disekolah, kalau mengajurkan anak-anak didiknya dijejali hafalan bukan pengertian. Tujuan hafalan jelas, agar jika nanti ulangan atau ujian bisa menjawab pertanyaan dengan benar. Seolah kalau murid-murid nilainya bagus, maka guru dan sekolah berhasil mendidik murid-muridnya.
Belum juga enam bulan anak saya sekolah, saya sudah menangkap pendidikan kita tidak mengajarkan hal-hal immaterial. Pendidikan kita lebih memfokuskan pada pencapaian material yang bagi saya tidak lebih dan tidak bukan, sadar atau tidak, pendidikan kita hari ini telah menanamkan bibit korupsi dan kolusi sejak dini.
Pondok Wiraguna, 5 September 2012
@yustinus_esha
Orang boleh pandai setinggi langit, namun kalau tidak menulis maka akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah (Pram)
Pages
Label:
Kolom
Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (4)
Borneo Menulis
Rabu, 05 September 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Cari Blog Ini
Sekolah dan Bengkel Menulis Naladwipa
Merupakan hasil kerjasama Naladwipa Institute, Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Samarinda dan Desantara Foundation. Kegiatan ini diikuti oleh anak-anak muda untuk mengasah wawasan, kepekaan dan ketajaman untuk melihat apa yang terjadi di kesekitarannya.
Menulis Adalah Panggilan Jiwa
Blog ini merupakan wahana bagi peserta sekolah menulis Naladwipa dan Komkep Kasri untuk mempublikasikan tulisannya. Namun tetap terbuka bagi siapapun yang hendak mengirimkan tulisan juga. Silahkan masukkan tulisan ke badan email dan kirim ke borneo.menulis@gmail.com
Tulisan akan ditata sedemikian rupa tanpa merubah isi dan subtansinya.
Tulisan akan ditata sedemikian rupa tanpa merubah isi dan subtansinya.
Popular Posts
-
Antara Antri IPAD dan Bensin Ketika masih duduk di bangku sekolah, libur kenaikan kelas adalah sebuah kegembiraan yang tidak terkira. Sebu...
-
Daun-daun masih basah, karena tadi sore hujan baru usai menyirami kampung yang berada di tepi sungai Kelian. Kini malam berganti terang pur...
-
Hujan rintik-rintik ditemani senja sedang merayap meraih malam di saat saya memasuki pintu gerbang desa Kutai Lama Kecamatan Anggana Kutai ...
-
Masihkan orang berpikir bahwa tato adalah penanda bagi mahkluk yang cenderung kriminal dan tindik (piercing) adalah peradaban massa silam?. ...
-
Berita merupakan produk aktivitas jurnalistik atas dasar informasi yang berdasar pada fakta. Jika sang jurnalis hadir atau berada dalam sebu...
-
Empat bulan lalu Ardi bersama keluarganya pindah rumah, ke tempat tinggal yang kini adalah miliknya sendiri. Bertahun-tahun Ardi, Esta istr...
-
Media memegang peran penting dalam dinamika sosio kultural di masyarakat. Di tengah iklim yang menindas, media bisa menjadi corong dari peng...
-
Resep apa yang digunakan oleh seseorang sehingga mampu melahirkan tulisan yang menawan. Sederhana saja, ramuan jitu dalam menulis hanya satu...
-
Istilah LSM sebenarnya contradictio in terminis atau korupsi makna. Sebagai sebuah institusi yang dinamai dengan Lembaga Swadaya Masyarakat...
-
Kemacetan tak lagi milik kota-kota metropolitan macam Jakarta, Bandung, Surabaya atau Medan. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang kin...
Ayo Menulis
Jika anda percaya bahwa kata-kata mampu menggerakkan perubahan maka mulailah menulis. Semua pantas ditulis dan perlu untuk dibagikan.
Daftar Link
Partisipan
Arsip Blog
- 06/26 - 07/03 (3)
- 07/03 - 07/10 (3)
- 07/10 - 07/17 (6)
- 07/17 - 07/24 (6)
- 07/24 - 07/31 (12)
- 07/31 - 08/07 (3)
- 08/14 - 08/21 (2)
- 08/28 - 09/04 (2)
- 09/04 - 09/11 (3)
- 10/02 - 10/09 (11)
- 09/02 - 09/09 (10)
- 09/09 - 09/16 (4)
- 09/16 - 09/23 (12)
- 09/23 - 09/30 (8)
- 09/30 - 10/07 (12)
- 10/07 - 10/14 (8)
- 10/14 - 10/21 (10)
- 10/28 - 11/04 (9)
- 11/04 - 11/11 (9)
- 11/11 - 11/18 (10)
- 11/18 - 11/25 (8)
- 11/25 - 12/02 (6)
- 12/02 - 12/09 (3)
- 12/09 - 12/16 (3)
- 12/30 - 01/06 (1)
- 01/06 - 01/13 (5)
Kunjungan
BORNEO MENULIS
0 komentar:
Posting Komentar