Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (4)

Rabu, 05 September 2012

BIBIT dan VIRUS KORUPSI

Seorang bupati akan ditangkap KPK, lalu pendukungnya melawan seperti hendak mempertahankan negara dari serbuan Belanda. Parang, linggis, pentungan dan lain-lain diangkat. Episode akhirnya sang Bupati berhasil dibekuk, diborgol seperti maling ayam yang kecebur got dan dibawa ke Jakarta dengan pesawat komersil. Usut punya usut, langkahnya ke kursi Bupati ternyata disokong oleh pengusaha tersohor yang juga petinggi dari partai politik utama di negeri ini. Sang pengusaha tersohor ternyata juga pemimpin tertinggi dari sebuah organisasi keagamaan. Luar biasa, seorang ‘awam’ bisa memimpin sebuah organisasi keagamaan. Kisah ini adalah salah satu dari ribuan lelucon pahit dengan latar pertautan antara kekuasaan, agama (moral) dan uang. Disebut lelucon pahit karena peristiwa-peristiwa yang nampaknya mustahil terus saja terjadi di negeri ini. Bayangkan saja, untuk pengadaan kitab suci ternyata juga tak lepas dari korupsi.

Dan bagaimana mungkin seorang pegawai rendahan mempunyai puluhan rekening yang nilainya milyard-an rupiah. Apa penjelasan itu ini semua?. Tenang di bumi Indonesia tercinta, selalu saja ada penjelasan bahkan untuk peristiwa teraneh sekalipun. Di negeri ini tersedia banyak cerdik pandai, pembela, supporter sampai peneliti yang mampu memberikan penjelasan secara rasional, meski di balik itu kita tahu banyak tidak benarnya. Tapi apa yang kita bisa buat, mau mendebat?. Paling akhirnya jadi debat kusir, melebar kemana-mana dan berakhir dengan cilukba atau hompipa saja soal siapa yang salah dan siapa yang benar. Rasanya kalau kita mencermati setiap kejadian, mendalami dan memikirkanya, saya jamin otak kita bakal meledak. Seseorang yang paling jeniuspun tak akan mampu mengurai dengan jelas dan cukup persoalan negeri ini.

Belum lagi kalau menelisik bagaimana cara pemerintah dan pihak-pihak yang terkait memecahkan persoalan. Pasti otaknya bakal lumer lantaran putus asa. Coba saja, deforestasi dihadapi dengan ‘Gerakan Menanam Semilyards Pohon’, nah apa hubungannya pohon yang ditanam di pinggir jalan atau bahkan di trotoar kota dengan hutan yang ada jauh di pedalaman sana. Penanaman pohon yang dilakukan oleh ‘orang kota’ yang pingin dianggap pro-lingkungan jelas bukan jawaban atas laju pengurangan luas hutan yang mencapai kecepatan ‘rekor dunia’.

Dalam sebuah kesempatan, saat duduk-dudk dengan teman bertukar ‘liur’ di warung kopi, ada seseorang mengungkapkan tanya “Andai mungkin, seumpamanya para nabi dihadirkan bersama di negeri ini, akankah mereka mampu memperbaiki kerusakan negeri ini?”. Ada yang malas menanggapi pertanyaan itu dengan menjawab, “Ya, kalau cuma andai-andai untuk apa?. Bukankah Opie Andaresta pernah menyanyikan lagu andai-andai juga yang pasti kini kamu sudah lupa”. Semuanya nampaknya menyatakan tidak mungkin, bahkan ada yang mengatakan “Saya jamin, kalau Yesus datang dan terlahir kembali disini, sebelum umur 30 tahun pasti sudah disalib”.

Dalam urusan karir, pengembangan ekonomi dan pencapaian diri, saya yakin banyak orang begitu optimis, bahkan over optimis. Saking optimisnya bahkan menjadi tidak awas, sehingga banyak orang tertipu investasi bodong lantaran terlalu bersemangat memperoleh pendapatan. Dan yang menyemangati, tentu saja dengan bayaran juga banyak. Ada sederet motivator yang siap memompa semangat dan mimpi untuk hidup lebih baik (yang diterjemahkan sebagai kaya). Tapi coba untuk urusan perbaikan pelayanan public, siapa yang memompakan semangat para pelaksana juga masyarakat penerima manfaat?. Tidak banyak, bahkan yang tercium justru aroma pesismistik bahkan sinis.

Masihlah untung jika ada yang meragukan (skeptis), sebab artinya masih ada yang menimbang-nimbang dan mengkaji kebijakan. Tapi kebanyakan justru langsung tidak percaya. Salah satu amanah reformasi adalah keterbukaan, akuntabilitas yang menuntut kesesuaian antara omongan dan tindakan. Integritas begitu kata kuncinya dan sayangnya tuntutan itu ditanggapi dengan aksi penandatanganan pakta integritas. Seolah-olah kalau sudah menandatangani, sim salabim abracadabra, orang itu jadi berintegritas.

Nah, giliran disoal integritasnya, lantaran ngomong mencla-mencle, eh, kembali ngeles berkelit selicin belut disiram oli. Saya dan juga kebanyakan orang, rasanya susah untuk mempercayai ucapan para petinggi negeri, penguasa wilayah, elit baik partai maupun organisasi politik kemasyarakatan sekalipun. Sebab sebagian besar tak mempunyai rekam jejak yang bisa membuktikan bahwa ucapan-ucapannya patut dipercaya. Contoh kata, soal pemberantasan korupsi. Rasanya semua elemen negeri ini hanya menyerahkan pemberantasan korupsi pada UU, Rencana Aksi Percepatan

Pemberantasan Korupsi namun tidak pada kelakuan mereka sendiri. Coba berapa persen pejabat yang dengan sukarela melaporkan kekayaan termasuk bagaimana cara mereka memperoleh kekayaan itu. Di luar para pejabat, dengan mudah kita juga bisa melihat sosok-sosok tertentu yang tak jelas apa pekerjaannya tapi uang dan kekayaannya bertumpuk-tumpuk, entah darimana. Saya tidak yakin kalau kekayaan itu datang dari Tuyul yang dipeliharanya, atau malam-malam dia berubah jadi Babi Ngepet yang nyedot kekayaan orang lain. Sebab orang-orang itu kalau ditelisik pasti dekat atau punya hubungan entah dengan tokoh pemerintahan, partai politik dan pengusaha hitam.

Secara teori, jika kita mengalami kebuntuan, maka untuk melakukan perubahan harus ada sebuah lompatan, break throught. Atau dalam bahasa dan pengalaman religious para nabi dulu adalah hijrah, berpindah dari satu kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Nah, dalam kondisi sekarang ini kita mau melompat atau hijrah kemana?. Berkali-kali para pembuat kebijakan entah yang ada di lembaga perwakilan maupun lembaga pemerintahan ‘berhijrah’ hingga sampai ujung dunia, untuk belajar dari pemerintah atau masyarakat di dunia luar sana, namun entah apa hasilnya. Indonesia bukan Brazil, bukan juga Afrika Selatan, Amerika Serikat dan Belanda, apalagi Cina dan Arab meski banyak keturunannya beranak pinak di sini. Yang lazim terjadi justru ketika ada persoalan, para pesohorlah yang mulai ‘hijrah’ dengan lari dan bersembunyi entah dimana. Atau ketika kita memilih menyelesaikan persoalan dengan ekstrim, misalnya jadi ‘teroris’ maka kitapun akan berhijrah dengan ‘mati’ karena bom bunuh diri atau ditembak oleh densus 88. Jadi, apa yang bisa kita lakukan?. Saya juga tidak tahu.

Awalnya saya mengesampingkan semua harapan dan mimpi saya, biarlah itu jadi cita-cita dan harapan anak saya. Tapi apa daya, ketika mulai sekolah, justru pengetahuan yang paling cepat berkembang adalah uang. Karena sekolah anak saya jadi tahu bahwa uang jajan itu penting, bukan hanya untuk membeli makanan di kantin, tapi juga memperoleh banyak teman apabila rajin membagi dengan teman-temannya. Berapapun yang dibawa selalu saja habis. Dan sialnya, bukan hanya ke sekolah saja, saat mau main ke rumah sebelahpun juga meminta uang jajan.

Aneh bin ajaib, saya menyekolahkan anak saya karena agar dia bisa belajar membaca dan menulis juga berhitung. Tapi belum lama bersekolah malah membawa brosur les dan kursus yang dibagi di sekolah. Les dan kursus yang bertujuan untuk memacu anak bisa membaca, menulis dan berhitung dengan tingkat hafalan yang tinggi, entah mengerti apa tidak itu tak penting. Lalu apa tugas guru disekolah, kalau mengajurkan anak-anak didiknya dijejali hafalan bukan pengertian. Tujuan hafalan jelas, agar jika nanti ulangan atau ujian bisa menjawab pertanyaan dengan benar. Seolah kalau murid-murid nilainya bagus, maka guru dan sekolah berhasil mendidik murid-muridnya.

Belum juga enam bulan anak saya sekolah, saya sudah menangkap pendidikan kita tidak mengajarkan hal-hal immaterial. Pendidikan kita lebih memfokuskan pada pencapaian material yang bagi saya tidak lebih dan tidak bukan, sadar atau tidak, pendidikan kita hari ini telah menanamkan bibit korupsi dan kolusi sejak dini.

Pondok Wiraguna, 5 September 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum