Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (5)

Rabu, 05 September 2012

Mohon Ampun atas Resistensi dan Kekebalan Kita

Dalam dunia medis modern, berkaitan dengan pemberian obat dikenal istilah imun atau kebal. Pemberian obat yang tidak tepat dan tidak tuntas justru membuat virus atau bakteri penyebab penyakit dalam diri kita menjadi resistant atau mampu menolak khasiat pembunuh dari obat. Virus tidak mati alias kebal terhadap racun (obat) yang ditujukan olehnya. Obat-obat antibiotic yang diberikan oleh dokter biasanya disertai anjuran (perintah) untuk diberikan sampai habis.

Persoalannya, kebanyakan dari kita jika diberi obat maka begitu gejala hilang, pemberian obatpun dihentikan. Belum lagi kebanyakan dari kita juga mengobati diri sendiri dengan membeli obat-obat bebas. Pilihannya bisa berdasar anjuran teman maupun iklan yang gencar di berbagai media. Soal penyakit, kita memang kelewat berani yaitu menyimpulkan bahwa kita menderita ini atau itu hanya dari gejala yang kita lihat atau rasakan. Padahal pendekatan seperti itu kemungkinan besar akan menghasilkan salah diagnose, sebab gejala penyakit tidak tunggal dan satu gejala tidak hanya merujuk pada penyakit tertentu. Belum lagi faktanya sekarang banyak penyakit tidak menunjukkan gejala atau asymtompmatik. Cara kita menghadapi penyakit ternyata juga merupakan representasi dari kita menghadapi persoalan (penyakit) bangsa ini.

Persoalan bangsa ini entah seperti kemiskinan, korupsi, rendahnya tingkat kesejahteraan, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak berpihak pada rakyat dan sebagainya didekati dengan pendekatan ala membeli ‘obat bebas’ di warung-warung. Kita kerap membaca persoalan dan kemudian memutuskan jalan keluar dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi tapi keliru. Contohnya soal kinerja DPR yang buruk justru dihadapi dengan rumusan tata tertib yang didalamnya termasuk melarang pemakaian rok mini di DPR. Nah, apa coba hubungannya?. Penyempurnaan aturan, UU baru, Perda, Perdes, Pergub, Inpres, PP, Permen dan lain sebagainya jumlahnya ribuan dan sulit untuk dihafalkan. Ibarat daftar obat, semua itu bisa dipakai sesuka hati oleh mereka yang ‘mendiagnosis’ persoalan. Padahal kita tahu, imunnitas kita pada peraturan itu tinggi, akal, pikiran dan nalar kita sudah resistant pada aturan dan perundangan.

Tenggoklah kasus rebutan penyidikan kasus korupsi simulator SIM antara KPK dan POLRI, yang dibawa kearah sengketa kewenangan. Bukankah yang jadi patokan bukan undang-undang melainkan MOU antara Polisi, Jaksa dan KPK?. Peristiwa salah obat, yang entah disengaja atau tidak membuat kebanyakan masalah tak selesai secara tuntas. Kembali berulang dengan modus atau peristiwa yang lain. Maka muncullah kasus Cicak vs Buaya part 1, part 2, part 3 dan seterusnya. Serial persoalan yang berulang itu membuktikan bahwa penyakit kita sudah kronis dan sulit disembuhkan. Ruang media kita dipenuhi berita yang menunjukkan bahwa kita sudah kebal (resistant) atau bahkan bebal. Virus sedemikian kuat menguasai hingga tak bisa dibedakan lagi apakah masih sebagai penyakit apa tidak.

Soal korupsi misalnya, nampak sebagian sudah menerima sebagai kewajaran. Maka tak heran jika ada yang mengatakan korupsi sudah menjadi budaya, karena berulang dan bertahan lama atau sudah jadi habitus. Okelah sebagai terminology mungkin penyebutan korupsi sebagai budaya bisa diperdebatkan, tapi sebagai sebuah refleksi rasanya benar adanya. Kalau cuma sekedar kritik, himbauan, pakta, sumpah, dakwaan bahkan tangis dan jeritan masyarakat, semua nampaknya berlalu begitu saja. Lihatlah dalam satu talk show yang popular yaitu ILC di TV One, dengan mudah kita menemukan gejala kematian akal sehat dari para pihak yang paling berkaitan dengan persoalan yang dibahas.

Hampir tak pernah ditemukan telaah atas akar masalah dan jalan keluar yang sesungguhnya atas persoalan yang dibincang. Dan tak semua yang seharusnya turut menyelesaikan persoalan mau bergerak, sebagian malah mau bertahan jadi virus yang turut merusak. Jujur saja, setiap kali menonton acara ILC, apa yang tersaji mampu mendorong saya untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Ya, Tuhan ampunilah dosa dan khilaf mereka”. Tak lupa saya juga memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa untuk Gubernur Kalimantan Timur dan Walikota Samarinda. Sebagai hamba sahaya saya mohon ampun atas kenyataan bahwa begitu di guyur hujan satu jam, jalanan di kota ini tiba-tiba berubah menjadi alur air berarus, mirip wahana di water park.

Saya mohon ampun juga kepada para pengguna jalan di ruas tertentu, dimana pada malam hari berubah menjadi arena sirkuit balap. Anak-anak muda mengendarai dan memacu kendaraan dengan tingkat sopan santun paling rendah. Adakah anak-anak yang mirip Stoner, Lorenzo, Pedrosa dan Rossi ini adalah pemberani, hingga berani menjadikan ruas jalan di samping rumah pribadi Wakil Walikota Samarinda sebagai arena balap. Atau mereka adalah anak-anak yang tidak dididik untuk hormat oleh orang tua mereka. Apa mereka bukan anak-anak yang besok tak bersekolah untuk menuntut ilmu?. Bukan seperti itu rasanya, bocah-bocah itu jelas bukan monster, mereka adalah korban dari kerja produsen motor dan antek-anteknya yang mengobral kredit luar biasa.

Dan berlawanan dengan malam hari, jalanan bakal susah dilalui. Butuh kesabaran untuk turut menjadi ulat bulu, merambat pelan menyusuri jalan meski didera panas dan lapar. Dan lagi-lagi saya harus memohon ampun, apabila di kemacetan jalan ada saja yang kurang sabra. Gemar membunyikan klakson yang sebetulnya tak bermana apa-apa selain mengurangi stroom accu dan membuat jantung berpacu cepat karena terkaget. Belum lagi ulah mereka yang sungguh-sungguh tak tahan, main potong sembarang, bahkan kalau perlu menaiki trotoar karena tak mau mengantri. Terakhir tentu saja saya mau mohon ampun pada Tuhan Yang Maha Penyayang, karena doa saya hanya berisi permohonan ampun melulu, saya jarang bersyukur. Kalau boleh memberi alasan bagaimana saya mau bersyukur kalau setiap hari melalui tayangan televisi tersaji berita kekerasan yang tak masuk diakal.

Kebakaran dan pengusuran yang membuat orang menangis pedih teriris. Petaka lain yang terus menerus terjadi, silih berganti dan menimpa orang-orang kecil. Apakah saya harus bersyukur, jika acara nyanyi-nyanyi di televisi disajikan oleh pembawa acara dengan kelakuan tidak jelas. Gemar mengumbar cela dan tertawa-tiwi karena ulah konyol plus tolol. Belum lagi langgam lagu dan lagak yang menyanyi, bisa bikin hati buram, karena merancukan antara fakta dan fiksi. Adakah mereka sungguh-sungguh bernyanyi atau hanya sekedar menjadi sekrup dalam realitas industry hiburan negeri ini. Rasanya memang tak mungkin menunggu Tuhan bersuara “Tiada ampun bagimu”, sebab Tuhan Maha Pengampun lagi Penyayang. Biarpun adab negeri ini berkembang buruk berlarat-larat. Kepalsuan dimana-mana bahkan ditolerir dengan istilah KW 1, KW 2, KW 3 dan seterusnya.

Keterbukaan, akses informasi yang semakin besar, dan segala macam ‘e’ mulai dari e-gov, e-edu, e-proc dan seterusnya tak selalu menghasilkan kejujuran. Keterbukaan data dan informasi bahkan bisa menyembunyikan pengetahuan yang terpenting yaitu kepentingan kelompok tertentu. Terakhir sekali, saya akan memohon ampun, bahwa saya tak lagi bisa mengampuni.Mengampuni perilaku para pemimpin dan elit dinegeri ini. Mereka yang resistant dan imun pada suara rakyat, hukum dan peraturan. Berjanji tak menepati tapi tak merasa berbohong. Tak malu ketika menjadi tersangka bahkan terus bertahan meski statusnya tidak juga dicabut atau diteruskan. Dan lagi-lagi serta lagi terus memelihara nafsu berkuasa yang mencemaskan. Tak mau berhenti dan meminta maaf karena gagal memenuhi amanah suara rakyat.

Ampuni saya, apabila mereka kembali mencalonkan diri, maka saya tak sudi memberikan suara. Jangankan jadi Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota atau Anggota Dewan, jadi Ketua RT di kampung saya saja, saya tidak bakalan sudi. Semoga Tuhan mengampuni saya, hamba sahaya yang tidak pengampun.

Pondok Wiraguna, 5 September 2012 @yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum