Orang Terhormat Dengan Otak Palsu

Rabu, 05 Oktober 2011


Dalam dunia olahraga, turnamen, kompetisi atau pertandingan biasa berlangsung ketat, penuh persaingan dan menguras emosi. Dengan demikian kekerasan, kecurangan atau kelicikan sangat mungkin terjadi entah direncanakan atau terjadi begitu saja. Oleh karenanya fairplay, sportivitas menjadi ukuran penanda untuk menakar apakah seorang olahragawan (pribadi, klub dan kontingen) berkualitas dunia atau berkelas kampungan alias pecundang. Mereka akan dihargai dan diakui bukan hanya karena kemenangan, melainkan karena tekun bekerja keras, bertanding dengan penuh semangat dan berlaku sebagai “orang terhormat” baik di dalam maupun di luar lapangan.

Pada pertandingan sepakbola kita kerap menyaksikan dua klub yang bertanding layaknya bertempur. Mereka bukan hanya berlari kesana kemari membawa dan mengejar bola, melainkan juga menendang dan menanduk lawan, saling sikut, lawan dijegal hingga terjungkal. Bukan sekali dua kali pemain mengerang sambil memegang erat tulang kering karena kesakitan. Tapi usai wasit meniup peluit panjang diakhir pertandingan, kedua tim saling berjabat tangan, berpelukan dan bertukar kaos yang jelas-jelas berbau keringat. Semua sadar di akhir pertandingan selalu ada yang kalah dan menang.

“Tentu saja itu bukan pertandingan sepakbola di Indonesia, dimana ada beberapa pertandingan hanya disaksikan polisi tanpa penonton. Sepakbola kita sering lebih mirip pertunjukan pencak silat atau demonstrasi yang berakhir dengan bakar-bakar ban”, kata Mas Romo.

“Menurut saya fairplay bukan hanya perlu di bidang sport, melainkan dalam semua hal. Dan nampaknya karena rendahnya fairplay atau sportivitas itulah yang membuat bangsa ini tidak bangkit-bangkit dari keterpurukan, meskipun kita punya slogan probangkit misalnya”, sahut Juned.

“Betul, bahkan yang paling menyedihkan perilaku tidak sportif bahkan menjangkit ke dunia akademis, dunia pendidikan kita”, sambung Sabri, “Contohnya baru-baru ini seorang teman, awardingnya dicabut gara-gara intrik atas dasar ketidaksenangan ‘kolega’ lainnya”.

“Kok bisa ya, padahal dalam dunia akademis kan ukurannya kapasitas dan kompetensi. Kelayakan seseorang diukur lewat tes atau ujian. Bukan senang atau tidak senang atas dasar nafsu primitive yang membedakan orang kita dan bukan orang kita. Kalau yang boleh maju, boleh pintar hanya orang yang se-agama dengan kita, se-suku dengan kita, se-angkatan dengan kita, bakal jadi apa negeri ini coba?”, keluh Juned.

“Itulah yang disebut dengan bias birokrasi. Organ atau struktur yang seharusnya mempermudah atau memperlancar urusan malah sering berlaku sebaliknya. Nah tidak ada sector kehidupan di negeri ini yang lepas dari birokrasi yang sayangnya lebih berwatak menindas daripada melayani”, kata Mas Romo. “Struktur ini kerap menandai orang atau kelompok tertentu yang dipandang kritis, menyerang atau meragukannya. Dan siapa yang berani melakukan itu bakal dihambat kepentingannya apabila memerlukan tangan birokrasi untuk mencapainya”.

“Iya, ingat jaman petisi 30 dulu. Seorang pembantu rektor dari universitas swasta ternama bisa terpental dari kedudukannya gara-gara ikut menandatangani nota peringatan untuk Presiden Suharto. Meskipun bekerja di institusi swasta, toh tangan birokrasi mampu memaksa institusi itu menendang keluar dari lingkungannya”, sambung Juned.

“Sungguh memprihatinkan andai benar bahwa “politicking” sudah merasuk dalam dunia pendidikan, dunia akademis yang menekankan obyektifitas dan penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan, ahklak serta moralitas. Apa artinya pencapaian jika itu dicapai dengan otak palsu, kotor karena dipenuhi oleh prasangka dan dorongan primitive untuk membunuh “orang lain” yang ingin dan memenuhi syarat untuk berkembang, mekar dan hendak mendedikasikan dirinya untuk kemajuan generasi mendatang”, tanya Mas Romo penuh kegalauan.

Usai sudah harapan bahwa pendidikan mampu membebaskan bangsa dari keterpurukan andai “selera” masih menguasai hingga menjelma menjadi “birokrasi pengetahuan”. Mesin birokrasi yang dijalankan oleh otak-otak palsu menyebabkan kegagalan dalam menata hubungan, system dan aksi serta wacana dalam membangun sumberdaya manusia. Padahal pendidikan adalah pembebasan dari belenggu nafsu-nafsi primitive untuk membangun peluang kehidupan yang semakin demokratis, terbuka agar kehidupan bersama samakin baik tertata. “Tanpa pencapaian tujuan itu, maka tak lebih kita bagaikan pelari yang melaju kencang tanpa tujuan, masuk dalam pusaran lingkaran setan”, pungkas Mas Romo.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum