Bola Tak Lagi Bundar
Beberapa minggu terakhir ini saya
mulai membaca koran lagi setelah lebih dari sebulan, koran yang dilempat oleh
loper tertumpuk rapi tanpa dibaca. Nafsu saya untuk membaca koran muncul
setelah liga eropa kembali bergulir. Liga eropa memang primadona dalam dunia
sepakbola, benua dengan penduduk yang barangkali lebih kecil dari benua-benua
lainnya itu dikaruniai kelebihan mengatur sepakbolanya menjadi industri.
Industri yang mampu menjadi tolok ukur prestasi sepak bola, dimana pesepakbola
dari benua-benua lain belum dianggap berprestasi mondial apabila tidak
menunjukkan kiprah hebatnya disana.
Meskipun sepakbola adalah
olahraga terpopuler di negeri ini, sayang prestasinya amat minim. Upaya untuk
mensejajarkan diri dengan persepakbolaan mondial sudah jauh-jauh dilakukan.
Dulu PSSI mengirim pemuda-pemuda untuk belajar sepakbola lewat tim bertajuk
garuda, lalu ada juga tim primavera yang belajar di Italia. Yeyen Tumena dan
Kurniawan adalah sosok yang lahir dari program itu. Entah kenapa, figur sepakbola berkwalitas
internasional tak juga lahir.
Program itu terus dilanjutkan
namun kini fokusnya lebih memilih Amerika Latin sebagai lokasi pembelajaran.
Hasilnya, masih perlu di tunggu. Dan rupanya semangat untuk dengan cepat (fast
track) mencapai prestasi mondial begitu tinggi hingga ditempuh jalan
naturalisasi. Muncullah pemain-pemain keturunan Indonesia dari negeri Eropa.
Naturalisasi ini sempat menjadi angin segar, ada kegairahan baru. Irfan Bachdim
adalah salah satu pemain yang dielu-elukan. Tapi kini mungkin tak ada lagi yang
mengingatnya, atau bahkan ada yang merasa telah salah ikut-ikut mengaguminya
dulu. Maklum bukan prestasi di dunia sepak bola yang ditunjukkan olehnya,
melainkan justru produktif dalam membintangi iklan dan jadi pembicaraan di
Infotaintment.
Sewaktu berjalan dari Waisai
Tourism Centre ke kantor Coremap II di Raja Ampat. Teman jalan kaki saat itu
yang adalah anak muda Raja Ampat, menunjuk spanduk Irfan Bachdim yang
mengiklankan minuman sambil berkata “Kalau
17 Agustusan, kita bisa menemukan banyak orang yang main bola lebih baik dari
dia disini”. Saya hanya diam saja tidak menolak dan tak mengamini
pernyataannya, tapi saya tahu bahwa dia hendak mengatakan bahwa pemain
naturalisasi tak lebih baik dari anak-anak pribumi. Dan soal urusan bola, Papua
jangan ditanya. Setiap ada pertandingan pasti kampung sepi, bapak, ibu, nenek,
kakek, adik, kakak semua berkumpul di pinggir lapangan menyaksikan.
Ketika negeri-negeri mulai
bangkit, dunia persepakbolaan di Indonesia bahkan semakin surut. PSSI sebagai
induk organisasi sepakbola terus menerus didera persoalan. PSSI tak mampu
mencegah munculnya kompetisi baru yang memunculkan dualisme dalam dunia
persepakbolaan di Indonesia.
Alih-alih menonton pertunjukan dan permainan manis
di lapangan, kita malahan dikenyangkan dengan berita silat lidah antar pengurus
dan yang merasa lebih berhak jadi pengurus. Dan konon karena yang menjadi
‘Tuhan’ PSSI adalah FIFA maka hanya yang mulia FIFA-lah yang bisa turut campur untuk
menyelesaikan masalahnya.
Perkubuan dalam dunia sepakbola
Indonesia tidak hanya terjadi di tingkat nasional. Imbasnya justru terjadi
sampai ke daerah-daerah. Sebab masing-masing gerbong menarik pengikut atau
pendukung yang notabene ada di daerah-daerah. Beruntung supporter atau pecinta
sepakbola Indonesia cukup solid, meski sesekali terlepas karena bentrok antar
supporter masih terjadi di sana-sini. Karena ada dua kompetisi maka muncul
tarik ulur mau ikut yang mana, alhasil ada klub-klub yang terpecah, pengurus
saling pecat, atau bahkan satu nama didaftarkan oleh dua kubu.
Diluar semua kekisruhan yang
tentu saja menghambat perkembangan dunia sepakbola Indonesia. Semua pihak yang
berseteru saling mengklaim diri sebagai orang yang mencintai sepakbola. Bahkan
ada yang berani bersumpah andai diiris kulitnya akan keluar butir-butir darah
berbola-bola. Tapi aneh bin ajaib semua yang mengaku mencintai bola dan
menyerahkan hidupnya untuk bola tak mampu mencari jalan pemecahan. Seakan-akan
cinta bola itu hanya terjadi kalau menjadi pengurus atau penguasa PSSI dan
klub-klub.
Bagi komunitas GIBOL (gila bola)
situasi persepakbolaan yang carut marut berlarat-larat membuat mereka frustasi.
Beruntunglah kini stasiun televisi berlomba-lomba menyiarkan liga sepakbola Eropa
yang mampu mengobati (untuk sementara) kecintaan dan kerinduan pada prestasi
sepakbola Indonesia. Sungguh aneh rasanya, disaat banyak klub-klub luarnegeri
menarik simpati para pengila bola Indonesia, justru para petinggi sepakbola
Indonesia abai pada perasaan para pendukungnya.
Padahal jika para pendukung bola
menyanyikan lagu “Garuda di Dadaku” merinding rasanya, tiba-tiba semangat
nasionalisme seakan bangkit. Sepakbola nampaknya menjadi benteng terakhir yang
mampu menopang dan memompa semangat nasionalisme. Sayang sekali lagi, semangat
ini hanya dianggap lalu hingga menjadi nyanyian semu.
Pastinya klub-klub luar negeri
tahu, bahwa bola begitu dicintai di Indonesia, ada peluang besar untuk memberi
kanal atas rasa itu. Buktinya jelas karena banyak fans club sepakbola liga
eropa tumbuh disini. Bahkan satu club bisa mempunyai dua fans club yang
berbeda. Niat untuk menjadi pesepakbola juga besar dan itu juga dilirik oleh
club-club eropa dengan berlomba-lomba mendirikan sekolah sepakbola di
Indonesia.
Saking sibuknya para pengurus
persepakbolaan pada urusannya sendiri, mereka tak lagi punya waktu dan pikiran
untuk khawatir terhadap serbuan club-club ke luarnegeri, bahkan malah ikut
menikmati mungkin. Kalau sudah begini, benarlah kata orang kalo bola memang tidak
bundar.
Pondok Wiraguna, 6 September 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar