Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (8)

Kamis, 06 September 2012


Bola Tak Lagi Bundar

Beberapa minggu terakhir ini saya mulai membaca koran lagi setelah lebih dari sebulan, koran yang dilempat oleh loper tertumpuk rapi tanpa dibaca. Nafsu saya untuk membaca koran muncul setelah liga eropa kembali bergulir. Liga eropa memang primadona dalam dunia sepakbola, benua dengan penduduk yang barangkali lebih kecil dari benua-benua lainnya itu dikaruniai kelebihan mengatur sepakbolanya menjadi industri. Industri yang mampu menjadi tolok ukur prestasi sepak bola, dimana pesepakbola dari benua-benua lain belum dianggap berprestasi mondial apabila tidak menunjukkan kiprah hebatnya disana.

Meskipun sepakbola adalah olahraga terpopuler di negeri ini, sayang prestasinya amat minim. Upaya untuk mensejajarkan diri dengan persepakbolaan mondial sudah jauh-jauh dilakukan. Dulu PSSI mengirim pemuda-pemuda untuk belajar sepakbola lewat tim bertajuk garuda, lalu ada juga tim primavera yang belajar di Italia. Yeyen Tumena dan Kurniawan adalah sosok yang lahir dari program itu.  Entah kenapa, figur sepakbola berkwalitas internasional tak juga lahir.

Program itu terus dilanjutkan namun kini fokusnya lebih memilih Amerika Latin sebagai lokasi pembelajaran. Hasilnya, masih perlu di tunggu. Dan rupanya semangat untuk dengan cepat (fast track) mencapai prestasi mondial begitu tinggi hingga ditempuh jalan naturalisasi. Muncullah pemain-pemain keturunan Indonesia dari negeri Eropa. Naturalisasi ini sempat menjadi angin segar, ada kegairahan baru. Irfan Bachdim adalah salah satu pemain yang dielu-elukan. Tapi kini mungkin tak ada lagi yang mengingatnya, atau bahkan ada yang merasa telah salah ikut-ikut mengaguminya dulu. Maklum bukan prestasi di dunia sepak bola yang ditunjukkan olehnya, melainkan justru produktif dalam membintangi iklan dan jadi pembicaraan di Infotaintment.

Sewaktu berjalan dari Waisai Tourism Centre ke kantor Coremap II di Raja Ampat. Teman jalan kaki saat itu yang adalah anak muda Raja Ampat, menunjuk spanduk Irfan Bachdim yang mengiklankan minuman sambil berkata “Kalau 17 Agustusan, kita bisa menemukan banyak orang yang main bola lebih baik dari dia disini”. Saya hanya diam saja tidak menolak dan tak mengamini pernyataannya, tapi saya tahu bahwa dia hendak mengatakan bahwa pemain naturalisasi tak lebih baik dari anak-anak pribumi. Dan soal urusan bola, Papua jangan ditanya. Setiap ada pertandingan pasti kampung sepi, bapak, ibu, nenek, kakek, adik, kakak semua berkumpul di pinggir lapangan menyaksikan.
Ketika negeri-negeri mulai bangkit, dunia persepakbolaan di Indonesia bahkan semakin surut. PSSI sebagai induk organisasi sepakbola terus menerus didera persoalan. PSSI tak mampu mencegah munculnya kompetisi baru yang memunculkan dualisme dalam dunia persepakbolaan di Indonesia. 

Alih-alih menonton pertunjukan dan permainan manis di lapangan, kita malahan dikenyangkan dengan berita silat lidah antar pengurus dan yang merasa lebih berhak jadi pengurus. Dan konon karena yang menjadi ‘Tuhan’ PSSI adalah FIFA maka hanya yang mulia FIFA-lah yang bisa turut campur untuk menyelesaikan masalahnya.

Perkubuan dalam dunia sepakbola Indonesia tidak hanya terjadi di tingkat nasional. Imbasnya justru terjadi sampai ke daerah-daerah. Sebab masing-masing gerbong menarik pengikut atau pendukung yang notabene ada di daerah-daerah. Beruntung supporter atau pecinta sepakbola Indonesia cukup solid, meski sesekali terlepas karena bentrok antar supporter masih terjadi di sana-sini. Karena ada dua kompetisi maka muncul tarik ulur mau ikut yang mana, alhasil ada klub-klub yang terpecah, pengurus saling pecat, atau bahkan satu nama didaftarkan oleh dua kubu.

Diluar semua kekisruhan yang tentu saja menghambat perkembangan dunia sepakbola Indonesia. Semua pihak yang berseteru saling mengklaim diri sebagai orang yang mencintai sepakbola. Bahkan ada yang berani bersumpah andai diiris kulitnya akan keluar butir-butir darah berbola-bola. Tapi aneh bin ajaib semua yang mengaku mencintai bola dan menyerahkan hidupnya untuk bola tak mampu mencari jalan pemecahan. Seakan-akan cinta bola itu hanya terjadi kalau menjadi pengurus atau penguasa PSSI dan klub-klub.

Bagi komunitas GIBOL (gila bola) situasi persepakbolaan yang carut marut berlarat-larat membuat mereka frustasi. Beruntunglah kini stasiun televisi berlomba-lomba menyiarkan liga sepakbola Eropa yang mampu mengobati (untuk sementara) kecintaan dan kerinduan pada prestasi sepakbola Indonesia. Sungguh aneh rasanya, disaat banyak klub-klub luarnegeri menarik simpati para pengila bola Indonesia, justru para petinggi sepakbola Indonesia abai pada perasaan para pendukungnya.

Padahal jika para pendukung bola menyanyikan lagu “Garuda di Dadaku” merinding rasanya, tiba-tiba semangat nasionalisme seakan bangkit. Sepakbola nampaknya menjadi benteng terakhir yang mampu menopang dan memompa semangat nasionalisme. Sayang sekali lagi, semangat ini hanya dianggap lalu hingga menjadi nyanyian semu.

Pastinya klub-klub luar negeri tahu, bahwa bola begitu dicintai di Indonesia, ada peluang besar untuk memberi kanal atas rasa itu. Buktinya jelas karena banyak fans club sepakbola liga eropa tumbuh disini. Bahkan satu club bisa mempunyai dua fans club yang berbeda. Niat untuk menjadi pesepakbola juga besar dan itu juga dilirik oleh club-club eropa dengan berlomba-lomba mendirikan sekolah sepakbola di Indonesia.

Saking sibuknya para pengurus persepakbolaan pada urusannya sendiri, mereka tak lagi punya waktu dan pikiran untuk khawatir terhadap serbuan club-club ke luarnegeri, bahkan malah ikut menikmati mungkin. Kalau sudah begini, benarlah kata orang kalo bola memang tidak bundar.

Pondok Wiraguna, 6 September 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum