Merayakan Perbedaan
Dalam sebuah diskusi, sebut saja seorang tokoh muda yang dikenal produktif dalam menghasilkan buku dengan topik yang tidak banyak digeluti orang lain mengungkapkan keberatan atas premis bahwa konflik di Indonesia dilatarbelakangi oleh perbedaan. Menurutnya perbedaan seharusnya tidak disoal, karena perbedaan itu fitrah. Sampai disini penjelasannya betul, bahwa setiap manusia berbeda dan perbedaan itu bawaan alias alamiah dan kemudian juga dilengkapi dengan perbedaan-perbedaan yang diperoleh karena eksistensinya di dunia.
Yang menjadi persoalan justru adalah sikap atau perilaku dalam menghadapi perbedaan. Ada watak dasar manusia untuk menghapus semua perbedaan, melakukan peleburan, persatuan. Seolah dengan bersatu maka akan diperoleh kekuatan besar.
Dari sisi imajiner niat ini bisa diterima namun dalam realitasnya tak mungkin untuk diwujudkan. Bahkan Tuhan yang kita yakini satu dalam fakta ternyata tidak tunggal, terbukti yang meyakini Tuhan yang satu saling berkelahi sendiri, meyakini Tuhannya sebagai yang paling benar.
Satu dunia satu pemimpin, Satu dunia satu bangsa dan Satu dunia satu agama misalnya adalah obsesi yang terbukti gagal sepanjang sejarah manusia, namun sampai hari ini masih banyak yang meyakini bahwa itu bisa diwujudkan. Beberapa berjuang untuk berusaha terus mewujudkannya dan perjuangan malah mencerai beraikan, sayang keyakinan yang sudah tertanam di tulang sumsum jadi meski gagal tetap saja pendiriannya tak berubah.
Tunjukkan agama mana yang satu di dunia ini?. Sebutannya mungkin satu Kristen misalnya, tapi variannya pasti banyak, demikian juga Budha, Hindu dan juga Islam.
Setiap agama mempunyai aliran-aliran besar, ada mazhab-mazhab utama dan juga tarekat-tarekat tertentu. Belum lagi jika ditambah dengan organisasi yang berbasis agama, pasti agama menjadi lebih berwarna. Dengan demikian meski agama kerap mendiskripsi diri sebagai ‘satu’ dalam kenyataannya ternyata ‘beragam’.
Dan sebetulnya keragaman itu tidak bermasalah sepanjang tidak ada kepentingan politik, ekonomi, kultural dan kekuasaan masuk didalamnya. Keragaman adalah keniscayaan namun menjadi persoalan ketika mulai muncul persaingan, memperebutkan pengikut, pengaruh dan sebagainya.
Dan disitulah mulai muncul intoleransi atas keberagaman.
Semangat untuk menjadi satu adalah semangat klaim dan tafsir sepihak. Kerap kita tidak sadar bahwa teologi atau ajaran iman lahir dalam konteks baik budaya maupun politik tertentu. Dan konteks itu tak mungkin atau mustahil bisa diterapkan dimanapun. Adalah simplifikasi kalau sebuah kelompok menuduh kelompok lain sesat dan kemudian meminta yang sesat meninggalkan keyakinan. Tentu tidak semudah itu, coba saja permintaan itu dibalik, bersediakah kita dengan serta merta merubah keyakinan?. Perubahan keyakinan bukan semata soal teologi, ada banyak soal lain terkait didalamnya.
Saya ingat sebuah peringatan yang diberikan oleh dosen sewaktu kuliah dulu, contradiction in actu.
Kita kerap jatuh dalam laku yang berlawanan, mau menyatukan tapi membeda-bedakan misalnya. Mau melahirkan dunia yang lebih baik tapi dengan pemaksaan, kekerasan, terror yang justru membuat warga atau masyarakat menjadi tidak nyaman.
Ketika semua agama mengajarkan ‘tidak boleh ada paksaan’, kenapa kita harus melarang ini dan itu pada orang lain sehingga tidak bisa menjalankan kepercayaannya.
Bukankah hambatan-hambatan itu secara tidak langsung adalah untuk membuat orang tidak nyaman dalam kepercayaannya hingga kemudian putus asa dan mungkin mengalah sehingga masuk dalam sistem kepercayaan kita?.
Kita hampir tidak pernah belajar bahkan dari diri kita sendiri yang punya slogan berbangsa “Bhineka Tunggal Ika”, slogan yang mirip dengan USA yang bunyinya “Pluribus Ut Unum”. Di jaman Sukarno dan Suharto tekanannya pada Persatuan, Ika dan cenderung memberangus Bhineka, hasilnya adalah resistensi masyarakat.
Orang merasa terpaksa melakukan sesuatu, seperti took-toko harus dinamai dengan bahasa Indonesia, hasilnya Swett jadi Suwit, aneh dan tak jelas maknanya. Atau nama-nama yang berbau Thionghoa harus diganti menjadi nama Indonesia. Hingga lucu, teman-teman saya yang berwajah Chen Lung bernama Gunawan, Mulyadi, Suryadi dan Sri Mulyani serta Evy Setyowati.
Persatuan memang penting tapi bukanlah menjadi satu saja. Persatuan yang hakiki justru terjadi karena kita menerima perbedaan dengan kesadaran akan pentingnya kerjasama antar yang berbeda demi kepentingan bersama.
Persatuan bukan peleburan yang justru akan berakhir dengan hasil yang semu.
Adalah salah memang melihat perbedaan sebagai sumber perpecahan, sebab dunia, ekosistem kita justru membuktikan bahwa perbedaan, berbagai macam unsur justru bekerja saling bahu membahu, mengisi dan membuat bumi bisa ditinggali. Apa indahnya hutan Papua jika isinya hanya pohon merbau, apa uniknya hutan Kalimantan jika hanya Ulin saja pepohonannya.
Maka mari rayakan perbedaan.
Pondok Wiraguna, 5 September 2012
@yustinus_esha
Orang boleh pandai setinggi langit, namun kalau tidak menulis maka akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah (Pram)
Pages
Label:
Kolom
Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (7)
Borneo Menulis
Kamis, 06 September 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Cari Blog Ini
Sekolah dan Bengkel Menulis Naladwipa
Merupakan hasil kerjasama Naladwipa Institute, Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Samarinda dan Desantara Foundation. Kegiatan ini diikuti oleh anak-anak muda untuk mengasah wawasan, kepekaan dan ketajaman untuk melihat apa yang terjadi di kesekitarannya.
Menulis Adalah Panggilan Jiwa
Blog ini merupakan wahana bagi peserta sekolah menulis Naladwipa dan Komkep Kasri untuk mempublikasikan tulisannya. Namun tetap terbuka bagi siapapun yang hendak mengirimkan tulisan juga. Silahkan masukkan tulisan ke badan email dan kirim ke borneo.menulis@gmail.com
Tulisan akan ditata sedemikian rupa tanpa merubah isi dan subtansinya.
Tulisan akan ditata sedemikian rupa tanpa merubah isi dan subtansinya.
Popular Posts
-
Antara Antri IPAD dan Bensin Ketika masih duduk di bangku sekolah, libur kenaikan kelas adalah sebuah kegembiraan yang tidak terkira. Sebu...
-
Daun-daun masih basah, karena tadi sore hujan baru usai menyirami kampung yang berada di tepi sungai Kelian. Kini malam berganti terang pur...
-
Hujan rintik-rintik ditemani senja sedang merayap meraih malam di saat saya memasuki pintu gerbang desa Kutai Lama Kecamatan Anggana Kutai ...
-
Masihkan orang berpikir bahwa tato adalah penanda bagi mahkluk yang cenderung kriminal dan tindik (piercing) adalah peradaban massa silam?. ...
-
Berita merupakan produk aktivitas jurnalistik atas dasar informasi yang berdasar pada fakta. Jika sang jurnalis hadir atau berada dalam sebu...
-
Empat bulan lalu Ardi bersama keluarganya pindah rumah, ke tempat tinggal yang kini adalah miliknya sendiri. Bertahun-tahun Ardi, Esta istr...
-
Media memegang peran penting dalam dinamika sosio kultural di masyarakat. Di tengah iklim yang menindas, media bisa menjadi corong dari peng...
-
Resep apa yang digunakan oleh seseorang sehingga mampu melahirkan tulisan yang menawan. Sederhana saja, ramuan jitu dalam menulis hanya satu...
-
Istilah LSM sebenarnya contradictio in terminis atau korupsi makna. Sebagai sebuah institusi yang dinamai dengan Lembaga Swadaya Masyarakat...
-
Kemacetan tak lagi milik kota-kota metropolitan macam Jakarta, Bandung, Surabaya atau Medan. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang kin...
Ayo Menulis
Jika anda percaya bahwa kata-kata mampu menggerakkan perubahan maka mulailah menulis. Semua pantas ditulis dan perlu untuk dibagikan.
Daftar Link
Partisipan
Arsip Blog
- 06/26 - 07/03 (3)
- 07/03 - 07/10 (3)
- 07/10 - 07/17 (6)
- 07/17 - 07/24 (6)
- 07/24 - 07/31 (12)
- 07/31 - 08/07 (3)
- 08/14 - 08/21 (2)
- 08/28 - 09/04 (2)
- 09/04 - 09/11 (3)
- 10/02 - 10/09 (11)
- 09/02 - 09/09 (10)
- 09/09 - 09/16 (4)
- 09/16 - 09/23 (12)
- 09/23 - 09/30 (8)
- 09/30 - 10/07 (12)
- 10/07 - 10/14 (8)
- 10/14 - 10/21 (10)
- 10/28 - 11/04 (9)
- 11/04 - 11/11 (9)
- 11/11 - 11/18 (10)
- 11/18 - 11/25 (8)
- 11/25 - 12/02 (6)
- 12/02 - 12/09 (3)
- 12/09 - 12/16 (3)
- 12/30 - 01/06 (1)
- 01/06 - 01/13 (5)
Kunjungan
BORNEO MENULIS
0 komentar:
Posting Komentar