Be Your Self, Do It Now
Jadilah diri sendiri dan kerjakan
mulai saat ini juga. Pesan yang berisi semangat untuk menjadi yang ditujukan
pada diri sendiri itu tertulis dalam selembar kertas yang kemudian ditempel
pada dinding dekat meja belajar seorang teman. Masih ada pesan lain tapi saya
tak terlalu ingat.
Menjadi diri sendiri adalah tema
penting dalam sessi-sessi pengembangan diri. Intinya mau mengingatkan bahwa
setiap orang unik, mempunyai kekhasan yang tak dipunyai oleh orang lain,
mempunyai penanda yang bisa menjadi pembeda dan seterusnya.
Sewaktu mengikuti pendidikan
rohani (spiritualitas) di salah satu tarekat religius sessi awal yang harus
saya ikuti adalah Who Am I. Dalam sessi ini saya diajak berproses untuk mengenali
diri saya dan bagaimana saya mengambarkan diri saya sendiri. Proses pengenalan
diri dilakukan dengan mengulang kembali perjalanan hidup (to journey my life).
Apa yang saya ingat dalam rentang waktu tertentu, kapan saya mulai menyadari
‘keberadaan’ diri.
Perjalanan yang akan memberikan
peta tentang apa yang saya suka dan tidak saya suka, apa saja yang mempengaruhi
hidup saya entah itu orang, peristiwa, buku, film dan apapun. Apa yang tertanam
paling dalam dalam diri saya, hal-hal baik maupun hal-hal yang menganggu. Soal
hal-hal baik itu tidak jadi masalah, tapi banyak ‘batu karang’ sebenarnya
tersimpan dalam diri kita yang menghambat ‘aktualisasi diri’. Batu karang bisa
berupa trauma, ketidakpuasan, dendam dan kebencian, yang terus menganggu.
Hal-hal dan perasaan buruk
disebut batu karang karena telah mengeras dalam diri kita, menuntun perilaku
dan sikap kita atas sesuatu, menganggu dan kadang menyakitkan. Maka kita perlu
berdamai dengannya. Tidak ada peristiwa atau kejadian di masa lalu yang tidak
mengenakkan akan hilang dari benak kita. Hard disk dalam diri kita tidak bisa
di – erase atau di reset terkecuali kita ingin kehilangan semua ingatan.
Bagian terpenting dari menjadi
diri sendiri adalah berdamai dengan masa lalu. Menerima dengan tangan terbuka segenap
pengalaman entah yang mengenakkan atau yang tidak di masa yang lalu. Kita tetap
akan ingat bahwa di masa lalu misalnya kita pernah benar-benar dipermalukan,
tapi ingatan itu hari ini tak akan membuat
hati kita panas mendidih saat bertemu dengan orang yang terlibat
didalamnya. Kita di masa lalu mungkin pernah bersalah pada orang tertentu,
namun kini tak lagi membuat kita menghindar bertemu dengannya.
Kembali pada persoalan menjadi
diri sendiri, banyak orang salah sangka atau bahkan menjadi dilemahkan. Menjadi
diri sendiri atas salah satu cara adalah mengenal diri apa adanya. Banyak orang
menemukan dirinya lemah, tidak berkualitas, sehingga menjadi diri sendiri
berarti terima nasib, ya sudah begini saja, toh saya tidak berbakat apa-apa.
Padahal menerima diri apa adanya adalah titik berangkat, bukan melemah.
Misalnya karena saya pendek maka saya tak akan bisa main basket. Karena kecil
saya tak akan bisa pemimpin dan seterusnya.
Menerima diri apa adanya sebagai
titik berangkat adalah sebuah kesadaran akan adanya ruang terbatas dalam diri
kita yang tidak bisa kita ubah. Namun di balik itu ada sebuah potensi yang kita
bisa gali. Karena tidak dikarunia suara bawaan yang merdu, maka agar bisa
menyanyi dengan baik saya mesti belajar notasi adna berlatih vokal dengan
rajin. Dan seterusnya.
Menerima diri adalah langkah
penting sebab banyak orang terhambat kemajuan hidupnya, tak mampu menjadi yang
terbaik karena menemukan dirinya ‘kurang’ dan terus menyesalinya sambil
berandai-andai kalau saja ini dan itu. Hidup menjadi orang yang terus menerus
mengeluh. Wajahnya yang mungkin saja ganteng atau cantik menjadi buram karena
memasang topeng muka susah.
Hari ini menjadi diri sendiri
bukanlah persoalan yang mudah. Sebab kita hidup dalam jaman dimana citra terus
diciptakan. Standar soal ini dan itu ada dalam segala sesuatu. Kita menjadi
imagi dari jaman, lingkungan pergaulan, tempat kerja dan apapun yang melingkupi
kita. Tak heran jika kemudian sebagaian besar dari kita hidup menurut trends,
ikut arus, mengalir saja berdasar apa yang sedang terjadi di sekitar kita.
Entahlah, teman saya itu sudah
menjadi dirinya sendiri atau belum. Namun yang patut saya kagumi adalah dia
menulis perintah pada dirinya sendiri, menyadari bahwa menjadi diri sendiri
adalah proses yang terus menerus harus dilakukan. Dan kesadaran itulah yang
terpenting agar kita tidak ikut arus, terseret atau bahkan tenggelam dalam
pusarannya.
Pondok Wiraguna, 8 September 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar