Dari Bung ke Bang
Lelaki di Ambon akan dipanggil
Bung dalam pergaulan sehari-hari. Demikian pula dengan perempuan yang akan
dipanggil dengan sebutan Usi. Kebiasaan
itu kemudian berubah setelah konflik Ambon. Kini di kelompok Muslim, laki-laki
dipanggil dengan Bang dan perempuan dipanggil dengan Caca. Begitulah cerita
dari seorang kawan yang kini menjadi Ketua MUI di Kota Ambon. Cerita ini tentu
saja sebuah cerita keprihatinan, betapa setelah proses perdamaian di Ambon, justru
menghasilkan segregasi yang kian mengental antara kelompok non muslim dan
muslim. Tentu saja yang disebut dengan non muslim itu identik dengan kristen.
Kabar gembiranya kesadaran atau refleksi bahwa perdamaian di Ambon belum tuntas atau bahkan menyimpan bara yang kelak bisa meletupkan konflik kembali tidak muncul hanya dalam diri Pak Kyai muda ini saja. Ada rekan-rekannya dari kelompok agama lainnya yang juga mempunyai kesadaran yang sama dan saling bahu membahu untuk tetap meneruskan langkah menuju perdamaian Ambon yang substantif.
Konflik memang bisa berhenti atau
mengalami jeda dan kemudian dianggap sebagai damai dengan cara memisahkan,
memberi batas atau sekat. Keadaan damai karena segregasi, resikonya jika
kelompok ini berada dalam satu wilayah administratif maka semua hal mesti
dibagi. Alhasil dalam pemilihan ketua daerah misalnya, jika walikotanya berasal
dari kelompok A maka wakilnya mesti dari kelompok B. Jika periode ini dipimpin
oleh kelompok A maka periode berikutnya dipimpin oleh kelompok B.
Mungkin tidak terlalu menjadi
soal jika kedudukan itu bisa dibagi dua, tapi bagaimana dengan jabatan-jabatan
lain yang tidak selalu bisa dibagi adil dan merata . Misalnya jika anggota
DPRD-nya berjumlah 35, nah bagaimana membaginya. Kerumitan tentu saja tidak
saja berada dalam gedung DPRD melainkan juga di dalam tubuh partai, terutama
pada partai-partai yang non sektarian.
Saya ingat cerita yang sama meski
tidak dilatari oleh konflik. Saat Gorontalo menjadi bagian dari Sulawesi Utara,
ada semacam kesepakatan bahwa kalau gubernurnya kristen maka wakilnya harus
muslim dan begitu sebaliknya. Atau kalau tidak, misalnya gubernur dan wakilnya
adalah kristen maka ketua DPRD-nya harus muslim. Hal ini berlaku pula untuk
pemilihan komisi-komisi yang dibentuk di daerah seperti KPU dan lain-lainya.
Setiap kali proses dimulai selalu ada perbincangan tentang kuota, berapa
kristen berapa muslim.
Kuota seperti itu seolah-olah
adalah jalan termudah untuk mengatasi atau mencegah terjadinya benturan antar
kelompok. Mungkin benar tapi hanya untuk sementara. Toh dalam realitasnya
komunitas muslim dan komunitas kristen bukanlah entitas yang tunggal. Didalam
masing-masing kelompok itu ada faksi-faksi yang juga berpotensi menimbulkan
friksi tertentu. Dan sesungguhnya jabatan, kedudukan dan keanggotaan dalam
lembaga-lembaga kepemerintahan tidak didesain berdasarkan kuota melainkan
berdasarkan kompetensi dari yang mendudukinya (the right man on the right
place). Maka model kuota-kuota-an ini dalam jangka panjang justru menyingkirkan
mereka-mereka yang seharusnya duduk atau tepat berada dalam kursi tertentu
tidak bisa mendudukinya karena tidak ada kuota untuk dirinya.
Maka tidak salah jika kemudian
rekan saya di Ambon menjadi begitu gelisah. Perdamaian di Ambon belum
menyatukan kelompok yang bertikai kembali hidup bersama, membangun kehidupan
bersama, bahu membahu sehingga keadaan makin baik. Bagaimana kehidupan dan perdamaian yang
hakiki akan tercapai kalau mereka yang berada di tempat yang sama ternyata
tidak bersama-sama ‘meng-ada’. Orang di Ambon barangkali hidup bersama, tapi
tidak dalam kebersamaan.
Namun Ambon tidak kekurangan
“provokator perdamaian” baik dari kelompok kristen maupun muslim yang bekerja
bersama-sama, bahu membahu mengembalikan Ambon kembali jadi Ambon Manise. Hanya
saja perlu waktu dan energi yang besar untuk membuat semua orang Ambon kembali
menyanyikan lagu “Katong Samua Basudara”.
Pondok Angkringan, 14 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar