Ciyuusss ....Miapah Cih?.
Untuk mampu berkata-kata dengan
jelas setiap anak mesti belajar mengkoordinasikan antara telinga dan mulut agar
mengeluarkan bunyi yang sinkron atas kata yang dimaksud. Ada anak-anak yang
mampu langsung mengeluarkan kalimat-kalimat yang jelas, tapi kebanyakan tidak.
Selalu saja ada kata-kata tertentu yang tidak genap ucapannya. Misalnya susu
dikatakan dengan cucu, nyunyu dan seterusnya. Bahkan terkadang jauh sekali,
saya ingat anak saya tidak pernah berhasil menyebut selimut. Dia selalu
mengatakan ‘biyuk’ ketika meminta selimut.
Kata-kata seperti mamam untuk
makan, pakpung untuk mandi, alan-alan untuk jalan, grung-grung untuk motor
adalah kata yang muncul dari karya dan gaya bicara anak-anak kecil. Mereka yang
usianya udah lebih dari 5 tahun biasanya akan dimarahi oleh orang tuanya
apabila masih berkata dengan pilihan kata seperti itu.
Namun senyatanya perkembangan
kata tidak selalu terkait dengan usia. Kini di media sosial mulai muncul jenis
kata-kata yang seolah menunjukkan para penggunanya tengah mengalami regresi.
Sekurang-kurangnya ini terlihat dalam pilihan kata ketika sedang ‘berkicau’.
Contohnya kata ciyus, awalnya
saya bingung soal apa maksud kata ini. Terbayang di benak saya ini adalah gaya bahasa
anak alay dan lebay untuk mengatakan see
you soon. Tapi setelah saya perhatikan konteksnya nampak bukan itu yang
dimaksud. Setelah mulai banyak yang memakai akhirnya saya tahu kalau ciyus itu
adalah penganti kata serius. Lalu ada lagi kata miapah, yang konon meringkas
kata demi apa.
Sebenarnya seru juga melihat
perkembangan kata di twitter atau media sosial lainnya. Tapi khusus untuk
twitter, ringkas meringkas kata memang penting mengingat ada batas jumlah kata
untuk satu kali kicauan. Batasan ini yang kemudian membuat banyak orang yang
kreatif mencipta kata baru agar timeline tak penuh dengan singkatan yang
biasa-biasa saja.
Masalahnya jika kemudian bahasa
kicauan ini dibawa ke bahasa percakapan vis a vis, percakapan tatap muka.
Betapa orang yang tidak masuk warga twitland akan terkejut-kejut mendengar gaya
bicara dengan bahasa twitter. Saya sendiri pernah merasakan pengalaman
terganggu oleh sahutan-sahutan dengan memakai gaya di twitter. Bagi saya
rasanya aneh bin ajaib kalau dalam percakapan tatap muka seseorang memakai gaya
bicara layaknya di timeline.
Mungkin saya terlalu dunggu untuk
ikut perkembangan dunia cakap bercakap, tapi saya masih belum dunggu untuk
melihat betapa orang terganggu konsetrasi juga suasana hatinya kala berbicara
serius kemudian ada yang menyahut “terus
gue harus bilang wow gitu”. Pembicaraan terus berhenti, sepertinya
gara-gara sahutan model begitu seseorang itu langsung hilang nafsunya untuk
meneruskan pembicaraan.
Maka menurut saya setiap orang
bukan hanya perlu kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan finansial
belaka melainkan juga kecerdasan oral, kecerdasan dalam berbicara. Bukan asal
main sruduk, seperti me-retweet kicauan orang lain. Atau layaknya memberi
jempol pada status di facebook.
Perbincangan tatap muka selalu
bukan hanya melibatkan ucapan yang terdengar lewat mulut tapi juga ekpresi dan
bahasa tubuh serta konteks hubungan langsung tanpa sekat. Itu akan berbeda
dengan perbincangan di dalam dunia maya yang mana selalu ada batas juga jeda.
Saya tentu saja tidak berhak
melarang siapapun untuk mengatakan ciyus atau miapah pada saya, tapi kalau
boleh saya mohon jangan sekali-kali ucapkan itu kala bertatap muka dengan saya.
Sorry to say dan mohon maaf sebelumnya kalau ada ludah terlontar dari mulut
saya.
Pondok Angkringan, 13 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar