Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (58)

Kamis, 18 Oktober 2012


DKI 1 dan 2

Hari ini tanggal 15 Oktober 2012, pasangan Jokowi – Ahok dilantik secara resmi untuk memimpin Jakarta dalam lima tahun ke depan. Acara pelantikan ini terasa meriah karena sambutan dari para pendukung Jokowi dan Ahok yang terus mengantar dan mengawal pasangan ini hingga resmi menyandang seragam DKI 1 dan 2.

Meski riuh dalam tahapan demi tahapan, pemilukada DKI bisa dipandang sebagai pemilukada yang damai diantara pemilukada-pemilukada lainnya. Hampir tidak terdengar kekerasan yang vulgar dan brutal antar pendukung. Mereka yang kalah juga dengan cepat mengakui kekalahannya dan balik mendukung atau sekurang-kurangnya menerima dengan rela kemenangan pasangan lainnya.

Keramaian Pemilukada DKI lebih diakibatkan oleh pertarungan antar partai dalam mengusung calon-calonnya. PDI dan Gerindra misalnya mencalonkan orang dari ‘luar’ DKI, dan menyandingkan pasangan gado-gado dari sisi etnik dan agama. Adalah pantas jika kemudian kehadiran pasangan ini sedikit menimbulkan ‘keributan’. Dan begitulah normalnya pemilukada, pokok pertama yang diributkan memang tidak jauh-jauh dari isu etnis dan agama. Hingga detik kemenangan Jokowi – Ahok memang masih ada yang menyoal tentang agama, tapi itu tak lebih dari sekedar suara yang harus disuarakan oleh kelompok tertentu. Kelompok itu harus menyuarakan hal yang demikian karena kalau tidak maka akan kehilangan citra diri. Jadi sebenarnya isu agama tidak penting sama sekali, suara yang mempersoalkannya sama sekali tidak mewakili suara publik Jakarta yang terbukti sangat beradab.

Saya yang bukan warga Jakarta ikut merasa gembira sekaligus bangga akan pencapaian masyarakat Jakarta dalam pemilukada gubernur kali ini. Bahwa pada awal-awalnya ada tokoh tertentu yang merasa mewakili Allah untuk menebar nubuat, itu yang tidak patut ditiru oleh tokoh lain kalau masih ingin jadi orang terhormat. Kredit yang tinggi tentu saya berikan kepada Fauzi Bowo, sosok yang sebelumnya dicitrakan sebagai tidak ramah dan tidak gentlemen. Namun terbukti dia mampu menunjukkan diri sebagai seorang ‘mantan’ yang terbaik dari antara mantan-mantan pemimpin lainnya.

Fauzi bowo dengan cepat mengakui kelebihan lawannya dalam pemilukada DKI sesaat setelah berbagai quick count memenangkan pasangan Jokowi – Ahok. Padahal biasanya pasangan yang kalah sibuk menangkis bahwa quick count bukanlah cermin perolehan suara yang sesungguhnya. Tapi Fauzi Bowo tidak demikian, dia mengakui hitungan quick count seraya mengucapkan terima kasih kepada para pendukungnya. Fauzi sadar dalam setiap kompetisi selalu ada pemenang, apapun kebaikannya kalau tidak mampu meyakinkan pemilih maka harus menerima kenyataan itu.

Sejauh saya lihat justru setelah dinyatakan kalah Fauzi Bowo tampil lebih terbuka, lebih ramah dan mengumbar senyum. Sama sekali tidak terlontar niat dari dirinya untuk mempersoalkan kemenangan Jokowi – Ahok. Tim kampanyenya juga langsung menghilang tidak lagi kelihatan berkoar-koar di media. Padahal lagi-lagi ini biasanya, begitu calonnya kalah tim kampanye akan maju dan mulai menyusun rencana untuk mengajukan gugatan ke MK. Ada atau tidak ada bukti nda soal yang penting maju dan hambat kemenangan calon lainnya.

Saya tidak tahu apakah ini tanda bahwa kematangan demokrasi telah mulai dicapai. Tapi menurut hemat saya, Jakarta memang harus memberikan contoh yang baik dalam pertarungan demokrasi. Partai-partai yang berpusat di Ibukota harus mampu menunjukkan dirinya sebagai lembaga atau institusi yang secara politik bisa mempengaruhi masyarakat. Pertama dengan memilih pasangan calon bukan semata-mata karena popularitas melainkan juga karena kinerjanya selama ini yang mampu menjawab kebutuhan warga utamanya yang paling lemah. Kedua, partai sebagai mesin politik mampu mengendalikan konstituennya agar bertindak baik dan benar dalam menghadapi kemenangan dan juga kekalahan.

Segenap kerusuhan atau kekerasan yang terjadi di berbagai pemilukada menjadi tanda awas bagi partai-partai untuk tak sekedar memilih atau mengusung calon yang bisa membeli perahu partai tapi tak diinginkan oleh konstituennya. Partai lebih memilih calon dengan pertimbangan kepentingan partai itu sendiri minus kepentingan masyarakat banyak.

Saya rasa daerah-daerah yang akan melakukan pemilukada pada tahun depan, harus belajar dari Jakarta. Partai maupun kelompok lain yang hendak mengusung calon-calonnya agar tidak terjebak dalam pragmatisme politik sesaat seperti mengembungkan kas partai misalnya. Pemilukada merupakan investasi dari sebuah partai apabila mampu mengusung dan memenangkan calon secara baik dan benar. Jika demikian maka di pemilu legislatif dan presiden 2014 tak lagi perlu khawatir bahwa suaranya akan menurun.

Pondok Angkringan, 15 Oktober 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum