DKI 1 dan 2
Hari ini tanggal 15 Oktober 2012,
pasangan Jokowi – Ahok dilantik secara resmi untuk memimpin Jakarta dalam lima
tahun ke depan. Acara pelantikan ini terasa meriah karena sambutan dari para
pendukung Jokowi dan Ahok yang terus mengantar dan mengawal pasangan ini hingga
resmi menyandang seragam DKI 1 dan 2.
Meski riuh dalam tahapan demi
tahapan, pemilukada DKI bisa dipandang sebagai pemilukada yang damai diantara
pemilukada-pemilukada lainnya. Hampir tidak terdengar kekerasan yang vulgar dan
brutal antar pendukung. Mereka yang kalah juga dengan cepat mengakui
kekalahannya dan balik mendukung atau sekurang-kurangnya menerima dengan rela
kemenangan pasangan lainnya.
Keramaian Pemilukada DKI lebih
diakibatkan oleh pertarungan antar partai dalam mengusung calon-calonnya. PDI
dan Gerindra misalnya mencalonkan orang dari ‘luar’ DKI, dan menyandingkan
pasangan gado-gado dari sisi etnik dan agama. Adalah pantas jika kemudian
kehadiran pasangan ini sedikit menimbulkan ‘keributan’. Dan begitulah normalnya
pemilukada, pokok pertama yang diributkan memang tidak jauh-jauh dari isu etnis
dan agama. Hingga detik kemenangan Jokowi – Ahok memang masih ada yang menyoal
tentang agama, tapi itu tak lebih dari sekedar suara yang harus disuarakan oleh
kelompok tertentu. Kelompok itu harus menyuarakan hal yang demikian karena
kalau tidak maka akan kehilangan citra diri. Jadi sebenarnya isu agama tidak
penting sama sekali, suara yang mempersoalkannya sama sekali tidak mewakili
suara publik Jakarta yang terbukti sangat beradab.
Saya yang bukan warga Jakarta
ikut merasa gembira sekaligus bangga akan pencapaian masyarakat Jakarta dalam
pemilukada gubernur kali ini. Bahwa pada awal-awalnya ada tokoh tertentu yang
merasa mewakili Allah untuk menebar nubuat, itu yang tidak patut ditiru oleh
tokoh lain kalau masih ingin jadi orang terhormat. Kredit yang tinggi tentu
saya berikan kepada Fauzi Bowo, sosok yang sebelumnya dicitrakan sebagai tidak
ramah dan tidak gentlemen. Namun terbukti dia mampu menunjukkan diri sebagai
seorang ‘mantan’ yang terbaik dari antara mantan-mantan pemimpin lainnya.
Fauzi bowo dengan cepat mengakui
kelebihan lawannya dalam pemilukada DKI sesaat setelah berbagai quick count
memenangkan pasangan Jokowi – Ahok. Padahal biasanya pasangan yang kalah sibuk
menangkis bahwa quick count bukanlah cermin perolehan suara yang sesungguhnya. Tapi
Fauzi Bowo tidak demikian, dia mengakui hitungan quick count seraya mengucapkan
terima kasih kepada para pendukungnya. Fauzi sadar dalam setiap kompetisi
selalu ada pemenang, apapun kebaikannya kalau tidak mampu meyakinkan pemilih
maka harus menerima kenyataan itu.
Sejauh saya lihat justru setelah
dinyatakan kalah Fauzi Bowo tampil lebih terbuka, lebih ramah dan mengumbar
senyum. Sama sekali tidak terlontar niat dari dirinya untuk mempersoalkan
kemenangan Jokowi – Ahok. Tim kampanyenya juga langsung menghilang tidak lagi
kelihatan berkoar-koar di media. Padahal lagi-lagi ini biasanya, begitu
calonnya kalah tim kampanye akan maju dan mulai menyusun rencana untuk
mengajukan gugatan ke MK. Ada atau tidak ada bukti nda soal yang penting maju
dan hambat kemenangan calon lainnya.
Saya tidak tahu apakah ini tanda
bahwa kematangan demokrasi telah mulai dicapai. Tapi menurut hemat saya,
Jakarta memang harus memberikan contoh yang baik dalam pertarungan demokrasi.
Partai-partai yang berpusat di Ibukota harus mampu menunjukkan dirinya sebagai
lembaga atau institusi yang secara politik bisa mempengaruhi masyarakat.
Pertama dengan memilih pasangan calon bukan semata-mata karena popularitas
melainkan juga karena kinerjanya selama ini yang mampu menjawab kebutuhan warga
utamanya yang paling lemah. Kedua, partai sebagai mesin politik mampu
mengendalikan konstituennya agar bertindak baik dan benar dalam menghadapi kemenangan
dan juga kekalahan.
Segenap kerusuhan atau kekerasan
yang terjadi di berbagai pemilukada menjadi tanda awas bagi partai-partai untuk
tak sekedar memilih atau mengusung calon yang bisa membeli perahu partai tapi
tak diinginkan oleh konstituennya. Partai lebih memilih calon dengan
pertimbangan kepentingan partai itu sendiri minus kepentingan masyarakat
banyak.
Saya rasa daerah-daerah yang akan
melakukan pemilukada pada tahun depan, harus belajar dari Jakarta. Partai
maupun kelompok lain yang hendak mengusung calon-calonnya agar tidak terjebak
dalam pragmatisme politik sesaat seperti mengembungkan kas partai misalnya.
Pemilukada merupakan investasi dari sebuah partai apabila mampu mengusung dan
memenangkan calon secara baik dan benar. Jika demikian maka di pemilu
legislatif dan presiden 2014 tak lagi perlu khawatir bahwa suaranya akan
menurun.
Pondok Angkringan, 15 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar