Kemiskinan Vs Modernitas
Seorang bapak di Gunung Kidul
terjun ke gua vertikal untuk mengakhiri hidupnya. Jasadnya ditemukan oleh kru
film yang tengah melakukan shooting di dasar gua. Usut punya usut bapak itu
mengakhiri hidupnya karena putus asa karena tak mampu memenuhi permintaan
anaknya. Sang anak minta dibelikan motor dan hp.
Gunung Kidul sejauh saya ingat
dan kenal adalah daerah yang sering menderita kekeringan. Tanahnya keras,
karena sebagian besar adalah batu karang sehingga hanya jenis tanaman tertentu
saja yang sanggup hidup disana. Fakta tentang kesulitan air dan perjuangan
warga untuk mendapatkannya direkam dengan baik dalam film semi dokumenter
berjudul Guyang yang diproduksi oleh Bingkai Yogyakarta.
Sewaktu mengikuti Kelas
Pendidikan Atas (KPA) di Kolese Petrus Canisius Mertoyudan, saya dan
teman-teman seangkatan berkemah di pantai Sundak, salah satu pantai yang ada di Gunung Kidul.
Pantainya memang eksotis, karena tebingnya tinggi-tinggi dan dinding tebing itu
membentuk gua-gua karena benturan ombak laut Kidul yang terkenal ganas. Konon
dibagian-bagian tertentu tebing itu ada aliran air tawar yang jernih karena
tersaring oleh bebatuan. Di bawah tanah yang tandus di Gunung Kidul tersimpan
alur sungai jernih namun jauh dibawah sana.
Melihat profil alam Gunung Kidul
maka dengan segera kita akan tahu betapa sulitnya perjuangan orang-orang
setempat untuk mencari air, baik untuk kebutuhan keluarga maupun ternaknya. Di
beberapa tempat ada jombor atau situ, tempat menampung air hujan yang kemudian
bisa dimanfaatkan untuk mencuci dan memandikan ternak selama beberapa waktu.
Air di situ lama kelamaan akan menguap dan semakin kotor, tapi tak ada pilihan
lain sampai kemudian kering sampai tanahnya terbelah-belah.
Apa yang tergambar diatas adalah
kondisi geografi daerah yang disebut sebagai Gunung Kidul. Daerah yang meski
gersang namun kehidupan masyarakatnya tidak dengan sendirinya juga gersang.
Anak-anak Gunung Kidul tentu saja sama dengan anak-anak di tempat lain, gemar
menonton Smash dan juga Cheribelle. Mereka doyan juga memakai gadget yang
terbaru dan pingin bergaya keliling kampung dengan mengendari motor matic.
Dulu, sebagai mana yang saya
alami. Kehidupan dan keinginan anak-anak di desa dengan anak di kota akan
berbeda. Saya yang adalah anak desa, jauh ketinggalan pengetahuan tentang
games. Karena tidak tahu maka saya tak ingin. Tapi kondisi itu jauh berbeda
dengan anak-anak di masa ini. Siaran televisi bisa diterima dimana-mana,
salurannya juga banyak. Internet juga masuk hingga ke desa-desa, maka
online-pun bisa dilakukan dari tengah sawah, kebun dan atas bukit. Jadi gap
atau jarak pengetahuan antara anak desa dan anak kota tak lagi berbeda jauh.
Jarak antara anak kota dan anak
desa kini terpangkas oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Meski mungkin tidak bisa menonton secara langsung boyband manggung, anak-anak
di desa tetap saja bisa mengelu-elukannya lewat streaming di youtube,
berhubungan melalui twitter dan fanspage di facebook.
Pengetahuan yang setara tentu
saja menghasilkan keinginan yang hampir sama. Sebagaimana anak-anak kota, anak
desapun bisa menggilai gadget, pingin punya ini dan itu. Keinginan yang mungkin
tidak dipahami dan dimengerti oleh orang tua mereka yang gaptek. Pasti orang
tua di kampung pusing mendengar istilah android, touchscreen, keypad, bbm,
whatapps dan seterusnya.
Soal lain dulu di jaman saya
kecil, sebagai anak desa bahagia sekali jika orang tua membelikan sepeda.
Sepeda jengki, merek phoenix buatan China. Tapi sekarang ini tentu saja bukan
sepeda lagi ukurannya melainkan sepeda motor dan bukan sembarang motor
melainkan yang matic. Sayang yang namanya keinginan itu tak memilih-milih untuk
hinggap. Siapa saja tak peduli kaya atau miskin sama-sama bisa punya keinginan
yang sejenis.
Dahulu ada istilah ‘pungguk merindukan bulan’ yang kurang
lebih berarti orang nggak mampu merindukan sesuatu yang diluar kemampuannya.
Tapi sekarang ini tak berlaku lagi, sebab penjual memberikan jalan dan pilihan
yang membuat orang bisa mencicil pelan-pelan. Penjual tahu kalau semua harus
dibayar cash tak bakal banyak barang yang terjual. Sulit menunggu orang
menabung dahulu hingga kemudian cukup untuk membeli apa yang diinginkan.
Kasus yang terjadi di Gunung
Kidul ibarat pepatah adalah anak polah bapak kepradah. Polah anak membuat orang
tua tak sanggup menahan beban. Barangkali bapak itu amat menyayangi anaknya dan
merasa selama ini belum mampu memberi kebahagiaan padanya. Maka ketika anak
meminta sesuatu dan bapaknya tak tahu harus memenuhi dengan cara apa dirinya
begitu putus asa. Tidak ada banyak pilihan yang mampu membuatnya memenuhi
keinginan anaknya. Pilihan satu-satunya adalah tidak lagi mendengarkan
permintaan anaknya dengan mengakhiri hidupnya sendiri.
Persoalan bapak yang tak mampu
memenuhi permintaan anaknya, bukanlah persoalan pribadi melainkan persoalan
bangsa ini. Kita mungkin memang gagal untuk memberikan pendidikan yang mampu
membuat anak-anak mengukur kekuatan dan kemampuan orang tuanya untuk memenuhi
keinginannya. Pendidikan kita telah gagal menciptakan generasi yang merasa
percaya diri dan berarti bukan karena motor dan hp.
Pondok Angkringan, 12 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar