Sekali Berarti Habis Itu Mati alias Bom Bunuh Diri

Rabu, 05 Oktober 2011


Huda, nama panggilan dari Nur Huda Ismail menulis sebuah buku dengan judul TEMANKU TERORIS? Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda. Mantan spesial corespondent untuk harian The Washington Post biro Asia Tenggara itu memang pernah belajar di pondok pesantren Ngruki. Liputan bom Bali dan penelusuran sesudahnya membuat dirinya bertemu dengan Fadlullah Hasan. Fadlullah yang ditahan oleh polisi atas tuduhan terorisme itu adalah kakak kelasnya sewaktu di Ngruki.

Lewat bukunya Huda tidak berpretensi memperdebatkan apa dan siapa terorisme melainkan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam dirinya. Betapa tidak Fadlullah yang dikenalnya bukanlah orang yang gemar berbuat kekerasan, penampilannya jauh dari itu. Saat Huda merasa tidak nyaman dan ingin meninggalkan pesatren, Fadlullah yang menemani dan menyemangati agar bisa terus bertahan.

Mas Romo memang belum seperti Huda yang pintar menulis dan melahirkan banyak buku. Tapi mengalami kegelisahan yang sama, lewat jejaring social media dirinya menerima kabar, pesan dan juga gambar tentang ledakan bom di depan pintu Gereja Bethel Indonesia Kepunton Solo. Konon bom itu adalah bom bunuh diri.

“Mas Romo, apakah ini ada kaitan dengan upaya memancing kerusuhan lanjutan setelah gagal di Ambon”, tanya Mardi sambil tak lupa mengabarkan bahwa baru-baru ini ada juga ledakan bom di pasar Mahardika Ambon.

“Ya, bisa saja kita berspekulasi tentang hal itu. Mereka gagal di Ambon lalu mengalihkan sasaran ke Solo. Solo memang mempunyai sejarah sebagai pemantik kerusuhan di Jawa Tengah. Dulu kerusuhan Anti Cina kerap diawali dari kota itu dan kemudian merembet ke kota lain. Maka sering ada istilah Joglo Semar, Yogja, Solo dan Semarang. Ini adalah axis kunci di Jawa Tengah. Menguncang ketiga kota ini cukup untuk menimbulkan instabilitas”, jawab Mas Romo.

Namun kemudian Mas Romo mengingatkan agar tidak terjebak dalam analisis semacam itu, analisis pengalihan isu dan sebagainya. “Taruhannya terlalu berat jika peristiwa semacam ini hanya disebut sebagai pengalihan isu”, ujar Mas Romo.

“Iya Mas Romo, lebih baik kita berfokus pada ideologi kekerasan yang tak luntur-luntur dari negeri ini. Bom bunuh diri menjadi pesan bahwa pilihan atau jalan kekerasan masih subur di lingkungan kita dan terus dipelihara”, sahut Mardi.

Mas Romo mengamini apa yang dikatakan Mardi. Kekerasan masih menjadi sebuah pilihan untuk mencapai tujuan. Dan dengan bungkus sistem kepercayaan atau religi, jalan kekerasan mendapat legitimasi, pelaku merasa mereka melakukan tugas kemartiran. Darahnya mewangi, jiwanya segera bersanding dengan Allah di surga dengan dianugerahi pendamping nan cantik jelita.

“Secara eksistensial, setiap orang ingin hidupnya berarti terutama berarti bagi Kerajaan Allah. Ini menjadi pilihan bagi orang-orang yang gagal atau sulit membangun makna hidup lewat bidang kehidupan pada umumnya. Pilihan berarti melalui jalan Allah adalah pilihan yang termudah”, ujar Mas Romo.

“Tapi kalau pilihan sekalipun dianggap baik namun dengan cara yang salah, bukankah itu tidak benar Mas Romo”, sergah Mardi.

“Itu adalah perspektif kita yang mempunyai pikiran berlawanan dengan mereka. Andai mereka berpikir seperti kita maka tak ada pembom bunuh diri. Perspektif, pola pikir atau bahkan iman seperti ini yang menjadi tantangan bagi kita untuk mencegahnya. Jika tidak maka ledakan bom atau dengan pola lainnya akan terus terjadi, bagai lingkaran setan yang sulit diurai mana ujung pangkalnya”, terang Mas Romo.

“Tapi kan tetap saja tindakan seperti itu tak bisa dibenarkan”, sahut Mardi.

“Tentu saja, tak ada satupun ajaran baik agama maupun kebudayaan yang menerima pilihan kekerasan seperti itu. Tapi dalam sistem ajaran agama manapun masih saja ada kelompok yang beriman dengan cara matematika, terjebak dalam hedonisme religius, memburu nikmat Allah apapun caranya”, kata Mas Romo.

“Maksudnya apa Mas Romo”, tanya Mardi nampak kebingungan.

“Kira menjalankan apa yang dianggap sebagai perintah Allah dengan harapan dapat pahala. Nikmat kehidupan di surga, dipenuhi segalanya bahkan dikerumuni bidadari yang cantik jelita. Ini kan beriman hitung-hitungan, matematika. Atau kalau dalam ilmu politik disebut sebagai politik transaksional, kita melakukan apa dan kemudian dapat apa. Kalau cara beriman seperti ini masih terus hidup ya kekerasan yang berbau atau dibumbui agama masih akan terus terjadi”, ujar Mas Romo panjang lebar.

Dalam hati Mardi membenarkan penjelasan Mas Romo. Dirinyapun sering berlaku demikian, menjalankan ibadah dengan harapan mendapat tiket free pass ke surga. Tiba-tiba dia teringat pesan singkat yang dikirimkan Belih Sugi sahabatnya sesaat setelah bom Bali meledak. Ahimsa satya sarvaprani hitangkarah (Setialah di jalan nir kekerasan, sehingga semua mahluk bahagia). Mulai hari ini Mardi berjanji akan mendaraskannya sebagai doa.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural networker’s

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum