Belajar Mendengarkan

Rabu, 05 Oktober 2011


Bahasa menunjukkan bangsa begitu kata pepatah. Pesannya jelas bahwa sebuah bangsa akan dianggap beradab, berbudaya tinggi apabila mampu bertutur kata dengan baik. Baik artinya kalimatnya tertata rapi, diucapkan dengan intonasi yang terjaga dan memperhatikan tata krama. Tuntutan untuk bertutur kata secara baik dan benar juga semakin terasa apabila seseorang naik jabatan atau naik kelas sosialnya. Semakin tinggi jabatan dan kelas sosialnya, tutur katanya harus semakin lembut, menyejukkan dan tidak membuat orang lain naik pitam.

Maka tak heran, siapapun yang dalam tingkatan tertentu tak mampu mempraktekkannya bakal jadi bahan gunjingan atau tertawaan di belakang punggungnya. “Pejabat kok bicaranya ngawur, grusah-grusuh nda pakai dipikir dahulu”, atau “Gelarnya sih profesor doktor tapi kok ngomongnya kayak pedagang asongan, nda pantas sama sekali” dan masih banyak lagi gerutuan atau bahkan sumpah serapah lainnya.

Ngomong-ngomong soal bertutur kata ini, beberapa hari yang lalu Hasan Anshori berkunjung ke rumah Mas Romo untuk meminta masukkan. Hasan yang kini sudah menduduki pos jabatan di kantor Bupati merasa penting untuk belajar, mencari tip dan trik bicara dengan baik dan benar. Mas Romo dipilihnya karena sejak jaman mahasiswa dulu dikenal sebagai publik speaker, yang mampu menyihir para pendengarnya karena pilihan kata yang tepat dan diramu dalam kalimat yang memikat.
“Sekarang saya ini sudah sering tampil di hadapan publik, sedikit-sedikit wartawan datang untuk melakukan wawancara. Nah biar semakin meyakinkan maka saya datang ke sini untuk berguru, menyegarkan ingatan tentang merangkai kata pada Mas Romo”, begitu kata Hasan saat menjawab pertanyaan Mas Romo yang merasa heran atas kedatangan Hasan.

Mas Romo merasa tersanjung atas maksud dan kedatangan Hasan teman lamanya itu. Namun dalam hati sebenarnya merasa tersandung. Bagi Mas Romo syarat pertama dan utama dalam komunikasi yang baik dan benar adalah kesediaan untuk mendengar dan merasa setara dengan orang yang menjadi lawan bicaranya. Dan di republik ini, amatlah jarang menemukan pejabat (entah rendah atau tinggi) yang sudi dan gemar mendengarkan. Apalagi yang merasa setara dengan bawahan atau masyarakat yang dilayaninya, pasti semakin sulit lagi untuk ditemukan.

Tentu saja Mas Romo tak enak hati menolak permintaan temannya untuk berbagi tips dan trik berkomunikasi secara efektif. “Komunikasi pada dasarnya sebuah proses dari kita untuk menulis raport kepercayaan dan hormat dari orang lain”, kata Mas Romo mengawali penjelasannya. “Maka jangan tergesa-gesa menanggapi sesuatu atau cepat-cepat mengeluarkan pendapat biar dianggap kompeten. Banyak orang kehilangan rasa hormat dan kepercayaan dari orang lain karena terlalu cepat bicara, terlalu mudah membuang kata-kata, tanpa dipikirkan terlebih dahulu apa konsekwensi dari kata-katanya itu”, lanjut Mas Romo.

Hasan menyimak dengan sungguh-sungguh apa yang dikatakan oleh Mas Romo. Dalam hati dia membenarkan betapa sering dirinya berbicara dahulu baru dipikir kemudian. Kalau kemudian menimbulkan gejolak toh bisa diralat atau ngeles dengan mengatakan bahwa orang lain salah memahami apa yang dikatakannya.

“Jadi tidak perlu kita memakai kata-kata yang tinggi untuk menunjukkan betapa kita punya jabatan atau tingkat pendidikan yang jauh diatas rata-rata. Pesan yang benar tidak ditentukan oleh apa jabatan kita dan sampai mana kita sekolah”, ujar Mas Romo mulai mengeluarkan sentilan halus. “Sampeyan tentu memilih bicara sederhana tapi dihormati, daripada tinggi dan penuh istilah canggih tapi malah dibenci atau bahkan dicibir”, lanjut Mas Romo sambil melempar pilihan pada Hasan.

“Tentu saya pilih yang pertama, tapi itu bukan berarti saya gila hormat ya Mas Romo”, sahut Hasan cepat.

“Tantangan buat orang-orang yang punya kedudukan seperti sampeyan sekarang ini semakin berat. Sebab masyarakat semakin bebas berbicara, masyarakat semakin berani menuntut bahkan tak ragu-ragu untuk menunjukkan kemarahannya. Maka jika berlaku tiba saat tiba akal akan sangat berbahaya”, tandas Mas Romo perlahan.

“jadi sebenarnya tak perlu saya memberikan tip dan trik untuk sampeyan, sebab sampeyan ini pejabat bukan pengkotbah atau motivator. Yang penting bicara saja apa adanya, jujur saja serta sabar menghadapi apa yang dikatakan orang banyak. Sebutan pejabat itu hanya berlaku dalam organisasi pemerintah, tapi berhadapan dengan masyarakat sampeyan ini sesungguhnya adalah pelayan. Ingat sebaik apapun yang sampeyan katakan, masyarakatlah yang paling tahu bahwa itu benar atau salah”, ujar Mas Romo.

Hasan hanya terdiam tak memberi tanggapan.

“Silahkan saja sampeyan mau percaya atau tidak. Yang pasti jabatan itu bukan kedudukan yang abadi, jika sudah sampai batasnya maka sampeyan akan kembali menjadi masyarakat biasa. Dan disitulah sampeyan akan menuai hasilnya, apakah semua akan berakhir dengan baik atau tidak”, tukas Mas Romo mengakhiri rentetan nasehatnya.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum