Puas Melakukan Kekerasan
Siapapun yang berkelahi, harus
angkat kaki hari itu juga. Begitu peraturan di sebuah sekolah berasrama yang
tak mau mentoleransi perkelahian antar siswanya. Jadi perkelahian apapun
alasannya tak akan diterima. Pilihan berkelahi, mengambil jalan kekerasan lawan
kekerasan adalah pilihan buruk. Jadi pada alasan yang buruk, pembelaan tentang
niat yang baik atau apapun tak bisa diterima.
Sejauh pengalaman saya dulu,
sekolah-sekolah yang kemudian dikenal menjadi sekolah favorit adalah
sekolah-sekolah yang tegas dan konsisten menjalankan peraturan. Sekolah yang
berani menyatakan banyak muridnya tidak naik dan tidak lulus. Tak heran jika
seorang murid yang tidak naik di sekolah itu kemudian pindah ke sekolah lain
maka akan dinaikkan kelasnya.
Tak heran jika kemudian
sekolah-sekolah itu menghasilkan para murid ‘teladan’
walau tanpa melabeli diri sebagai Laboratory School yang hanya memilih-milih
murid yang pintar-pintar. Atau tak memasang plang nama sebagai Rintisan Sekolah
Berstandar Internasional yang kemudian mendewakan bahasa Inggris sebagai
pengantarnya.
Sekolah-sekolah yang bermutu,
sekali lagi adalah sekolah yang dikenal karena kedisiplinan dan ketegasannya.
Bukan karena gedung yang megah atau uang bayaran sekolah yang tinggi. Dengan
demikian siapapun yang masuk sekolah itu akan benar-benar sekolah dan rajin
belajar. Sekolah-sekolah yang demikian ini tidak banyak, namun kemudian menjadi
contoh dan rujukkan bagi sekolah lain untuk berusaha mendekati, menyamai atau
bahkan melampauinya.
Saya mengalami dan merasakan saat
itu “teladan’ adalah kata dan kedudukan yang dipandang penting. Sejak SD hingga
SMP, saya mengenal nama Ida Safitri, anak perempuan yang selalu menjadi murid
teladan mulai dari tingkat SD, SMP dan SMA. Foto Ida Safitri selalu ada dalam
kalender yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Purworejo dan dibagikan ke
sekolah-sekolah. Ida Safitri yang kemudian menjadi murid teladan hingga tingkat
nasional itu kemudian diterima di UGM tanpa tes.
Melihat dinamika pendidikan dasar
(SD, SMU, SMA) pada hari ini, entah apakah kata teladan masih penting atau
tidak. Atau jenis keteladanan apa yang sekarang tumbuh dan berkembang di
tingkatan sekolah maupun murid-muridnya?. Saya sendiri tidak tahu persis apa yang ada
dalam benak anak-anak sekolah saat ini, sebab sudah lama saya meninggalkan
bangku sekolah.
Namun kalau dilihat sekilas, apa
yang disebut sebagai gaya hidup kelihatannya sudah merasuk sampai anak-anak
sekolah di tingkat pendidikan dasar. Anak-anak sekarang lebih cerewet soal apa
yang dipakai atau tidak, disukai atau tidak, ditonton atau tidak, dan lain-lain
dibanding anak-anak di jaman saya kecil.
Saya sendiri memaklumi
perkembangan ini karena referensi anak-anak sekarang jauh lebih banyak dari jaman
saya dulu yang saluran televisinya cuma satu, majalah anak-anak baru ada bobo
dan si kuncung, video belum ada apalagi PS dan internet. Dan tentu saja tidak
usah jauh-jauh telepon saja tak ada. Saya ingat persis saat itu yang ada
teleponnya hanya kantor Kawedanan (pembantu bupati), itupun baru telepon
engkol.
Bandingkan dengan anak-anak
sekarang, sejak sebelum sekolahpun sudah akrab dengan berbagai macam gadget
yang berbasis IT. Native anak-anak saat ini adalah online alias web base.
Sementara saya sebagai orang tuanya bernative sawah dan anak sungai. Tak heran
ketika saya memakai BB, maka anak saya sudah meminta untuk dibelikan tab. Saat
saya tawari tab China semacam IMO atau Mito, dia menolak karena setahu dia yang
disebut tab itu ya Samsung Galaxy tab atau IPAD.
Saya tidak tahu apakah di
sekolah, anak-anak sekarang ini diajari soal kebutuhan primer, sekunder dan
tersier. Atau barangkali memang telah terjadi pergeseran dengan apa yang
disebut kebutuhan, apa yang dulu dianggap tersier kini telah menjadi primer.
Sehingga tak jarang ada yang lebih memilih lapar daripada tidak punya pulsa.
Lebih baik makan seadanya daripada kesana-kemari dengan mobil angkutan umum.
Perubahan seperti ini memang
merisaukan dan perlu penyesuaian. Tapi ada sebuah perubahan yang bagi saya
sangat memprihatinkan. Disaat jaman semakin maju, pendidikan yang seharusnya
makin canggih tapi justru melahirkan perilaku-perilaku barbar. Semakin hari
kejadian tawuran semakin meningkat. Tawuran yang tidak sekedar menggunakan
tangan kosong dan bebatuan tapi juga senjata tajam. Tas sekolah yang semakin
keren, buku yang makin tebal dengan sampul yang makin berkilap serta gambar
dengan pixel atau tingkat ketajaman yang makin tinggi ternyata diselipi dengan
Arit yang seharusnya dipakai untuk memotong rumput.
Entah apa yang ada dalam benak
anak-anak itu sehingga mengotori tasnya yang mahal dengan segala sesuatu yang
dalam kesehariannya jarang atau bahkan tak pernah mereka gunakan. Coba saja,
mana ada anak-anak sekolahan yang sekarang mau menyabit untuk mengumpulkan
rumput bagi ternak ayah atau ibunya?. Pasti tak banyak dan kalaupun ada itu
hanya dilakukan anak-anak di desa, bukan anak perkotaan macam Jakarta.
Persoalan tawuran yang semakin
tinggi intensitasnya, makin rutin dan terjadi serta merta bukan semata
persoalan dunia pendidikan saja. Benar bahwa tawuran dilakukan oleh anak-anak
yang sedang dalam masa belajar, berseragam sekolah, terjadi dalam hari-hari
sekolah. Perilaku seorang atau sekelompok pelajar bukan hanya produk dari
lingkungan sosial melain bertali temali dengan persoalan dan dinamika yang
terjadi di luarnya, di masyarakat, dalam lingkungan sosial.
Kejadian tawuran antara sekolah
yang sama dari waktu ke waktu meski dengan peserta tawuran yang berbeda-beda,
menunjukkan dendam antar sekolah diturunkan turun temurun, dari generasi ke
generasi. Padahal entah apa yang dulunya memicu dendam itu, persoalan pribadi
antar orang, harga diri atau apa?. Dendam yang dipelihara dari ke hari akan
melahirkan kekerasan yang semakin brutal. Lingkaran tradisi dendam, membuat
mereka yang tadinya tak punya urusan lalu masuk dalam sistem itu maka mau tak
mau merasa punya urusan.
Semakin banyak anak yang dengan
suka rela menyerahkan diri dalam ‘tekanan tradisi tawuran’ menunjukkan bahwa
semakin banyak anak-anak yang lemah secara kepribadian, takut mandiri,
kehilangan target untuk membangun masa depannya yang masih panjang. Anak-anak
lebih menyerahkan dirinya untuk ikut arus, ramai dalam tindakan-tindakan yang
tidak didasari oleh pemikiran akan masa depan. Ruang waktu ke depan yang
dijangkau oleh anak-anak kian pendek. Anak-anak sekarang bukanlah anak yang
tahan diam dalam sepi, cepat bosan, sedikit-sedikit bilang bete.
Pada sisi lain tekanan sosial
untuk menjadi “good boy dan nice girls’ semakin lemah. Lingkungan tak lagi
peduli, kebertetanggaan semakin lemah. Antara keluarga yang berdekatan tak lagi
saling mengenal dan mau ikut campur urusan orang lain. Tak ada lagi yang berani
menegur kala anak-anak di jam sekolah bergerombol duduk-duduk di ujung jembatan
atau di tempat lainnya.
Dan jika kembali ke soal
keteladanan, anak-anak sekarang sulit mencari teladan, tokoh panutan. Mereka
lebih mengagumi sosok-sosok yang kerap keluar di layar televisi dan layar
lebar, sosok selebritas yang nampaknya bahagia, penuh senyum dan riang gembira
dalam lirik dan nada. Tokoh-tokoh publik tak lagi mereka kagumi, karena terlalu
banyak contoh yang menunjukkan mereka tak bisa dipercaya. terlalu banyak contoh
nasehat dan khotbah bagus tapi tak dilaksanakan sendiri oleh yang mengatakannya.
Saya sempat berpikir,
jangan-jangan semakin rajinnya anak-anak tawuran merupakan pertanda bahwa
bangsa ini sakitnya mulai kelihatan. Bangsa ini kehilangan arah ke masa depan
yang lebih baik. Coba, apa yang ada dalam benak anak-anak yang tawuran itu, apa
yang mereka perjuangkan, apa yang coba mereka perebutkan?. Kemenangan atau
kebanggaan?. Kalau itu, kemenangan apa dan kebanggaan macam apa?.
Saya tak tahu, tapi ada satu hal
yang saya berharap dengan sangat dalam yaitu semoga mereka tidak melakukan itu
untuk mendapat kepuasan. Puas karena telah melakukan kekerasan, puas karena
membuat lawannya yang adalah rekan segenerasinya menderita atau bahkan mati.
Pondok Wiraguna, 2 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar